Berdiskusi Lintas Tema di Nyong Kopi Tegal

Ngopi Santri dan Ngopi Kemisan mempertemukan berbagai organisasi di Kabupaten Tegal untuk saling bertukar pikiran sekaligus menjalin silaturami. Beberapa organisasi yang pernah diundang antara lain HMI, GMNI, KAMMI, dan IMM. (Sumber: Nyong Kopi)

Oleh: Nuha Khairunnisa

Berdiri sejak Maret 2020, kedai Nyong Kopi menghadirkan budaya berdialektika melalui agenda diskusi mingguan. Dengan mempertemukan berbagai kepentingan mulai elite politik, organisasi, hingga warga, berbagai keresahan dan masukan mendapat tempat untuk didengar.

Kedai Nyong Kopi di Procot, Slawi, Kabupaten Tegal biasa dipadati pengunjung setiap Selasa dan Kamis sore. Mereka datang ke kedai yang terletak di teras rumah ini untuk mengikuti diskusi rutin bertajuk Ngopi Santri dan Ngopi Kemisan.

Ide mendirikan Nyong Kopi bermula dari kegemaran M. Fathurrohman (38) dan kawan-kawannya di organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) minum kopi sambil mengobrol sampai larut. Dengan membuka kedai kopi sendiri, ia berharap dapat lebih leluasa beraktivitas karena tidak harus menumpang di kedai orang lain.

Awalnya, Fatur berencana mengadakan diskusi di Nyong Kopi sekali dalam sebulan. Namun, situasi pandemi Covid-19 yang membuat lesu pelaku bisnis membuatnya harus memikirkan strategi untuk menarik lebih banyak pelanggan. Ia akhirnya mengadakan dua agenda diskusi dengan tema berbeda setiap pekan, Ngopi Santri tiap Selasa yang membahas tema keagamaan dan Ngopi Kemisan tiap Kamis dengan tema umum.

Di luar alasan bisnis, Fatur dan kawan-kawan resah akan rendahnya minat baca dan diskusi masyarakat, terutama anggota di organisasinya. Kondisi serupa juga dijumpai di banyak organisasi lain di Kabupaten Tegal. “Sebenarnya banyak diskusi di organisasi-organisasi, tapi partisipasi anggotanya masih kurang,” jelasnya pada Jumat (2/10).

Diskusi yang mempertemukan kepentingan pemangku kebijakan dengan masyarakat menjadi ciri Ngopi Kemisan. Isu yang banyak diangkat seputar pemerintahan di Kabupaten Tegal, sehingga narasumber yang dihadirkan kebanyakan berasal dari pemerintah daerah dan dinas terkait.

Perbincangan di Ngopi Kemisan biasanya tidak lantas berhenti selepas acara. Ngopi Kemisan edisi “Peran Pemerintah dalam Nguri-uri Budaya Tegal” dengan pembicara dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, misalnya, berlanjut ke pembahasan tentang pembentukan Peraturan Daerah (Perda) Kebudayaan di Komisi IV DPRD. Kabupaten Tegal sampai sekarang memang belum memiliki perda yang mengatur kebudayaan secara khusus.

Ngopi Santri yang fokus mengkaji kitab kuning juga mendapat tempat tersendiri di kalangan pengunjung, terutama yang tertarik memperdalam ilmu keagamaan. “Saya rasa diskusi semacam ini penting untuk saling berbagi pengetahuan dan menambah wawasan. Konsep ngaji yang dilakukan di kedai kopi terasa segar dan modern,” ungkap salah seorang pengunjung, Akhmad Wihandi (23) saat diwawancara secara terpisah pada Minggu (4/10).

Seorang pelanggan berkonsultasi dengan praktisi hukum Bambang Asmoyo (43) pada Jumat (2/10). Selain diskusi, Nyong Kopi juga menyediakan konsultasi hukum gratis setiap Jumat.

Kegiatan diskusi rupanya efektif meningkatkan jumlah pengunjung Nyong Kopi sekitar lima kali lipat dari hari biasanya. Sebanyak 60-70 pengunjung biasa memenuhi kedai saat diskusi berlangsung, terutama saat Ngopi Kemisan.

“Biasanya para pembicara membawa massa untuk hadir di acara diskusi, sehingga peserta diskusi selalu membeludak. Kami bahkan pernah sampai kehabisan gelas,” tutur Zakaria (24), pengelola Nyong Kopi.

Banyaknya peserta dengan tempat yang terbatas membuat pengelola Nyong Kopi tidak dapat menerapkan protokol jaga jarak secara maksimal. Namun, pengelola berupaya menyediakan penyanitasi tangan di setiap meja serta masker gratis untuk pengunjung.

Dengan mengusung agenda diskusi rutin sebagai ciri khas Nyong Kopi, Zakaria mengaku tidak menjumpai kesulitan dalam bersaing dengan kedai kopi lain. “Sejak awal kami memang tidak punya target khusus, melihat acara diskusi yang ramai saja rasanya sudah cukup. Ke depannya pun kami akan mempertahankan diskusi-diskusi ini dulu, belum ada rencana lain,” pungkasnya.

Catatan redaksi: Pada masa pandemi, banyak mahasiswa Dikom UGM yang menjadi jurnalis Warga Jogja tidak berada di Yogyakarta. Ini adalah salah satu liputan yang mengangkat cerita dari kota tempat mereka tinggal saat ini, daerah asal mereka.