Jeritan Para Pedagang Pasar Rakyat Tengah di Masa Pandemi

Lorong utama Pasar Rakyat Tengah Pontianak yang terdiri dari beberapa blok pertokoan, seperti Blok Citarum, Ciliwung, Cisadane dan Cimandiri (26/9).

Oleh: Yogama Wisnu Oktyandito

Pandemi Covid-19 menghantam perekonomian masyarakat Indonesia, tak terkecuali para pedagang di Pasar Rakyat Tengah, Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Pasar yang telah berdiri sejak awal abad 20 ini merupakan salah satu pusat perdagangan terbesar di Kota Pontianak. Akibat pandemi, pasar dengan jumlah pedagang lebih dari tiga ratus lapak ini mengalami dampak secara ekonomi. Mayoritas pedagangnya mengaku mengalami penurunan omzet yang signifikan.

Anna (50), seorang penjual pakaian muslim mengaku mengalami kerugian hingga 70%. “Kalau sebelum pandemi, biasanya bisa dapat 2 juta per hari, sekarang 600 ribu saja,” ujarnya. Ia melanjutkan bahwa saat walaupun kelihatannya sudah normal, kenyataannya masih susah. Pernah dalam sehari tidak ada pengunjung sama sekali.

Menurut Koordinator Keamanan Pasar, Sa’ad Dinata (49), bisa dikatakan saat ini semua pedagang sepi pembeli. “Terkecuali hari Sabtu atau Minggu, pedagang bisa sedikit bernapas lega,” kata Sa’ad.

Banyak pedagang yang mengeluhkan kondisi pandemi saat ini. “Gara-gara pandemi ini, dalam sehari bisa makan saja sudah bersyukur,” ujar M. Panggabean (55), PKL penjaja mainan. Lain halnya dengan Iban (52), penjual pakaian-pakaian bekas. Menurutnya, kesulitan yang saat ini dialami adalah ketersediaan stok barang yang dijual. Sebab, pakaian-pakaian bekas biasanya didatangkan langsung dari Malaysia, di mana saat ini cukup sulit untuk mendatangkan barang dari luar negeri. “Sebenarnya pengunjung ramai yang datang, cuma stok barangnya yang tidak ada. Susah juga kan,” kata Iban.

Banyak cara dilakukan oleh para pedagang di Pasar Rakyat Tengah untuk bertahan hingga saat ini. Anna (50) mengaku untuk bisa bertahan, ia menjalankan sistem shift kepada tiga karyawannya. Namun, ia mengaku tidak berani melakukan PHK kepada karyawannya. “Kalau PHK karyawan nggak pernah, ya saya merasa kasihan karena lagi sama-sama susah,” kata Anna.

Sedangkan M.Panggabean (55) terpaksa seringkali menjual dagangannya dengan harga modal. Menurutnya, saat ini bukan waktunya untuk memikirkan keuntungan yang besar, melainkan harus memikirkan bagaimana memberi makan untuk keluarga hari ini. “Masa sekarang lagi susah sekali. Saya hanya PKL, jadi terpaksa harus jual harga modal saja, daripada tidak bisa beli kebutuhan untuk keluarga di rumah,” kata Panggabean.

Pengunjung pasar berharap pemerintah dapat memberikan perhatian lebih kepada para pedagang. Seorang pengunjung, Toni (32) berpendapat bahwa pemerintah seharusnya memerhatikan pedagang-pedagang kecil dengan tidak membatasi secara berlebihan. Menurut Toni, kalau sampai tidak bisa berjualan ekonomi para pedagang juga tidak akan berjalan. Sementara itu ia menyebut bahwa kompensasi dari pemerintah untuk para pedagang pun tidak ada.

Bilik disinfektan yang terdapat di sisi kiri lorong Pasar Rakyat Tengah digunakan sebagai lahan parkir sepeda motor (26/9).

Terkait protokol kesehatan sendiri, Pasar Rakyat Tengah mulai menerapkannya sejak Juni lalu. Hal ini berdasarkan Surat Edaran Walikota Pontianak tentang Penerapan Protokol Kesehatan pada Sektor Perdagangan dan Jasa. Namun, saat ini penerapannya sudah mulai melemah.

Hal ini terpantau ketika Wargajogja.net berkunjung ke sana (26/9), masih kerap ditemukan orang yang tidak mematuhi protokol kesehatan, khususnya penggunaan masker. Selain itu, adanya satu bilik disinfektan yang tidak dioptimalkan kegunaannya. Bilik tersebut terlihat kosong dan justru digunakan sebagai lahan parkir sepeda motor.

Pada hari yang sama, Wargajogja.net juga melihat beberapa personil dari kepolisian memantau penerapan protokol kesehatan, khususnya penggunaan masker. Setelah mengetahui ada personil, seluruh pedagang dan pengunjung segera mengenakan maskernya.

“Kalau hal itu sudah biasa ya, apalagi orang-orang yang sudah tua. Saat ada polisi ya dipakai, kalau sudah pergi ya dicopot lagi,” kata Sa’ad Dinata (49).

Catatan redaksi: Pada masa pandemi, banyak mahasiswa Dikom UGM yang menjadi jurnalis Warga Jogja tidak berada di Yogyakarta. Ini adalah salah satu liputan yang mengangkat cerita dari kota tempat mereka tinggal saat ini, daerah asal mereka.