Kisah Sehadi Mulyono: Menjagal Ribuan Kobra Hingga Ratusan Gigitan Berbisa

Sehadi Mulyono bekerja sebagai penjagal kobra dari 1985 hingga 2012. Hampir tidak ada yang terbuang dari tubuh kobra. Empedu ia jual untuk pengobatan, kulit untuk ekspor, dan dagingnya dibeli oleh pengusaha rumah makan.

Oleh: Muhammad Alzaki Tristi

Sehadi Mulyono (60) kini sudah tidak ditemani ribuan kobra lagi, namun cerita di balik tuntutan ekonomi itu masih berbekas di dalam hidupnya. Ditemui di Desa Gemlangan, Sewon, Bantul, (21/02), ia menceritakan lika-liku bisnisnya menjagal ular kobra.

Sewon, Bantul- Sehadi Mulyono, biasa dipanggil Seger, memulai profesi yang ekstrem ini semenjak tahun 1985. Tuntutan ekonomi menjadi alasan bagi kakek lima cucu ini untuk bergelut di bidang usaha pemotongan ular Kobra. Tidak hanya kobra, berbagai jenis ular (sanca, jali, dan lain sebagainya) juga ikut menjadi pundi-pundi penghasilan bapak yang lebih akrab dengan panggilan Seger ini.

Menjalankan usaha berisiko  membutuhkan kedisiplinan dan ketelatenan. Belajar dari kesalahan adalah cara terbaik bagi Seger untuk berproses. Ratusan kali gigitan dan bisa yang mengalir di darahnya menjadi pengalaman yang tidak dapat ia sembunyikan.

Namun, dari kesalahan itulah ia paham bagaimana mangatasi gigitan ular. “Langsung tekan dan keluarkan darah dari lobang gigitan itu secepat mungkin, sejauh ini belum ada risiko yang parah,” kata Sehadi.

Masa jaya usaha ini adalah tahun 1990-an hingga 2002. Saat itu, Seger dapat memotong  hingga seribu ekor kobra perhari, dan dapat mengumpulkan kulit ular hingga 30.000 lembar. Hasil berdagang itu ia  investasikan dengan membeli tiga tanah dan membangun rumah  yang  saat ini ditinggali oleh tiga orang anak beserta lima cucunya.

Kehidupan mandiri ia jalani semenjak duduk di kelas 5 SD, di saat realitas menuntutnya untuk  belajar menafkahi diri sendiri. Proses menuju dewasa telah banyak memberikannya pengalaman untuk bertahan hidup, namun tidak untuk menjadi seorang penjagal kobra. Bermodalkan niat dan tekad untuk menyambung hidup, pada tahun 1985 ia bertemu dengan Tubus (alm). Seorang keturunan Tionghoayang bekerja sebagai pengumpul empedu kobra.

Perkenalan itu menjadi awal bagi bisnis yang ia tekuni sejak 1985 hingga 2012. Empedu yang terkumpul dijual ke Tubus untuk difungsikan di dunia pengobatan, sedangkan kulit kobra ia jual ke pengeskpor. Hampir tidak ada yang terbuang sia-sia dari tubuh kobra, daging juga ia jual ke pengumpul untuk dipasarkan ke rumah makan, dan jika mendapatkan telur, akan ia simpan dan dijual.

Terus berusaha menekuni hal itu, menjadikannya dikenal banyak orang, hingga didatangi pengumpul ular dari banyak kota di Jawa.

“Untuk menghitung ular dari pemasok, saya dan karyawan melakukannya di malam hari, menghitung satu persatu ekor yang berjumlah ratusan,” kata Sehadi.

“Langsung tekan dan keluarkan darah dari lobang gigitan itu secepat mungkin,” kata Seger menjelaskan cara mengatasi gigitan ular.

Kini, usaha dilanjutkan oleh anak laki-lakinya Nur, yang menyediakan pasokan daging untuk rumah makan khusus daging Kobra di daerah Lempuyangan. Kurangnya permintaan akan kulit ular selepas tahun 2002, keluarga Seger memutuskan untuk tidak menjadikan usaha ini prioritas utama dalam mendapatkan penghasilan. Mereka kini hidup dari hasil berdagang makanan.