Lika-liku Eksistensi Arang: Harga Rendah dan Persaingan yang Ketat

Suparmi (68) sedang memilah arang utuh yang akan dijual di Pasar Legi, Surakarta, Minggu (15/11). (WargaJogja/Salma Amany)

Oleh: Salma Amany Firdaus

Pada awal tahun 2000, arang masih menjadi salah satu bahan bakar populer selain minyak tanah. Tapi saat ini, arang sudah tergeser jauh oleh LPG 3 kg, terlebih dengan harga yang masih disubsidi oleh pemerintah.

Bertahan dengan harga Rp 4.000-5.000,- rupiah per kilo hingga saat ini. Kenaikan harga arang tiap tahun sebenarnya cukup rendah, apabila dibandingkan kenaikan harga kebutuhan lain, seperti sembako hingga gas.

Suparmi (68) sudah berdagang arang selama hampir 20 tahun di Pasar Legi, Surakarta. Ia memilih arang sebagai dagangannya, karena arang dianggap lebih mudah dikelola dibandingkan ketika ia menjual komoditas seperti sayur dan beras.

Saat berjualan arang, ia tidak pernah menemui masalah pada proses distribusi dari pemasok maupun penyimpanan. Arang cukup disimpan di tempat yang kering dan tidak terkena hujan, selanjutnya arang dapat bertahan lama pada suhu ruang. Stok arang tidak perlu diganti lagi sampai persediaan benar-benar menipis atau habis.

Arang yang ia sediakan dipasok langsung dari daerah Kedung Ombo, Grobogan. “Sebenarnya ada beberapa jenis arang, ada arang pohon jati, mahoni, dan akasia. Kualitas terbaik dimiliki arang dari pohon asam karena itu yang paling panas dan tahan lama. Namun biasanya arang tidak dijual terpisah sesuai jenisnya, arang yang beredar di pasaran merupakan hasil campuran aneka jenis arang tadi,” terang Suparmi.

Awal mulanya, Suparmi hanya menjual satu karung arang berukuran 30 kg. Seiring waktu dagangannya meningkat hingga 100 karung per bulan pada masa puncaknya, yaitu tahun 2005.

Namun, sejak adanya bantuan LPG 3 kg yang dikenalkan pada 2007 oleh pemerintah, penjualan arang menurun drastis hingga 30%. Penurunan penjualan ini berlanjut hingga menjadi 50 karung per bulan sejak 2018 hingga 2020, terlebih pada saat pandemi dengan ia hanya dapat menjual sekitar 20 karung per bulannya. Omset dari Rp 2-2,5 juta menurun hingga Rp 1,5 juta rupiah saja per bulan pada 2020.

“Sangat sulit menjual arang di masa kini. Hanya pada saat menjelang hari raya, terutama Idul Adha penjualan bisa mencapai 2 kali lipat dari biasanya. Masyarakat sekarang juga jarang yang memiliki hajatan karena pandemi,  biasanya arang digunakan saat hajatan karena murah dan panasnya awet,” kata Suparmi.

“Konsumen arang sebenarnya beragam, dari pedagang sate, wedangan, roti, produsen teh, pupuk, hingga untuk keperluan sanitasi. Selain sebagai bahan bakar, arang juga bisa menghilangkan bau tidak sedap. Cukup ditaburkan saja, baunya akan hilang,” terang Suparmi.

Menurut Suparmi, di masa kini arang masih bisa bersaing. Faktor keamanan serta bobotnya yang ringan menjadi keunggulan utamanya. “Saat memasak dengan arang memang lebih lama dari gas. Namun, bisa ditinggal, apabila terlupa tidak akan menyebabkan kebakaran,” jelas Suparmi.

“Pedagang pengguna arang, seperti sate juga masih banyak. Pedagang keliling, seperti tahu kupat juga masih memilih arang,” tambahnya.

Tantangan terbesar kini, menurutnya bukan hanya dari hadirnya gas saja. Pola masyarakat juga sudah berubah. “Seperti saat ini, para pedagang bakso tidak lagi membeli arang di pasar. Kebanyakan sudah disewakan arang dengan gerobaknya oleh pemilik usaha. Produsen arang dari pusatnya kini juga pintar. Arang sudah dikemas kecil-kecil dan langsung diantar ke tukang sayur di kampung-kampung,” jelas Suparmi.

“Masyarakat saat ini tidak perlu lagi jauh-jauh ke pasar. Harga di tukang sayur itu juga murah, sebab langsung dari pusatnya,” tambah Suparmi.

Kondisi pedagang arang pasar, seperti Suparmi ini pada kenyataannya memang berbanding terbalik dengan pesaingnya. Utin Suprihatin (58) salah satu pedagang sayur di kampung Bayan, Kadipiro, Surakarta, mengatakan bahwa sehari ia bisa menjual 15-20 bungkus arang. Harganya pun sama, yaitu 5000,- per bungkus.

“Arangnya dikirim langsung dari Kedung Ombo seharga 4000,- rupiah per bungkusnya. Omset dari arang bisa sekitar 2 juta rupiah per bulannya. Pembeli arang biasanya juga sekalian membeli kebutuhan lain,” kata Utin.

Gerobak wedangan memiliki desain khusus untuk meletakkan tungku pembakar arang, dapat digunakan sebagai pemanas air sekaligus pembakar makanan, Rabu (18/11). (WargaJogja/Salma Amany)

Salah satu pengguna arang, Siswanto (65) yang memiliki usaha wedangan, mengatakan bahwa arang sudah menjadi ciri khas wedangan itu sendiri. “Arang membuat minuman dan makanan yang ada bisa selalu disajikan dalam keadaan panas. Makanan juga jadi ada rasa gosong-gosong-nya jadi lebih mantap,” kata Siswanto.

 

Ika (30) memberi kipasan pada arang agar bara api cepat membesar. Sementara, ketika tidak digunakan, arang dapat dibiarkan begitu saja, Rabu (18/11). (WargaJogja/Salma Amany)

Ika (30) seorang pedagang bakso bakar, juga masih setia menggunakan arang. Seminggu ia bisa menghabiskan 25 kg arang. Menu seperti bakso, sosis, scallop bakar kan makanan kekinian¸ bila dibakar menggunakan arang rasanya jadi lebih autentik,” kata Ika.

Arang juga ia rasa lebih hemat dari pembakar modern dengan gas. “Aroma yang dihasilkan dari bakaran arang dan gas juga berbeda, lebih sedap dari arang,” tambah Ika.

Catatan redaksi: Pada masa pandemi, banyak mahasiswa Dikom UGM yang menjadi jurnalis Warga Jogja tidak berada di Yogyakarta. Ini adalah salah satu liputan yang mengangkat cerita dari kota tempat mereka tinggal saat ini, daerah asal mereka.