Mencoba Dawet Goreng, Makanan Langka nan Unik Khas Purworejo

Dawet goreng khas Purworejo diracik dengan bumbu khusus yang menjadikan rasanya khas dan unik, Selasa, (22/9).

Oleh: Ashar Khoirurrozi

Sekilas terdengar aneh ketika mendengar nama dawet goreng. Namun inilah bisnis makanan unik yang ditekuni oleh Suwarni (47) warga Desa Pandanrejo, Kaligesing, Purworejo, Jawa Tengah. Bisnis ini diwariskan turun temurun sejak tahun 1941. Sampai saat ini, dawet goreng masih lestari menjadi kuliner khas Kaligesing.

Dawet goreng hanya bisa ditemukan di daerah Pandanrejo, Kaligesing, Purworejo. Inilah yang menjadikan dawet goreng langka. Terlebih lagi dalam memasarkan dagangannya, Suwarni hanya bisa pada hari pasaran jawa Legi dan Pon. Hal ini dikarenakan masyarakat Kaligesing masih mempercayai adat nenek moyang yang menyatakan bahwa Legi dan Pon adalah hari baik dalam kalender Jawa. Suwarni (47) menjelaskan bahwa dawet goreng Kaligesing ada di Pasar Pandanrejo, Kaligesing. Setiap hari pasaran Jawa yakni legi dan pon pada pukul 04.00 sampai dengan 07.00 WIB. Namun tidak sampai pukul 07.00 biasanya dagangan sudah habis terjual. “Kalau orang desa kan pasarannya pagi mas. Jam 07.00 saja sudah habis biasanya,” terang Suwarni (47).

Nama dawet goreng bukan berarti dawet yang digoreng. Bumbu dan pelengkapnya lah yang digoreng sehingga dinamai dawet goreng. “Dawet ini bumbunya digoreng. Lain dari yang lain, sehingga dinamakan dawet goreng,” tutur Suwarni saat diwawancarai pada Selasa, (22/9). “Namanya yang unik ini yang akhirnya membuat orang penasaran,” imbuhnya.

Bumbu dawet goreng terdiri dari sambal dan bawang merah. Sedangkan sebagai pelengkapnya ada tahu dipotong kecil-kecil lalu digoreng dan tauge. Bumbu dan pelengkap inilah yang membuat dawet goreng berbeda dari dawet biasanya. Lombok yang digunakan untuk sambalnya pun bukan sembarang lombok. “Ini lomboknya harus lombok desa. Rasanya tidak terlalu pedas, warnanya menarik, dan wanginya khas,” kata Suwarni.

Cara membuat dawet goreng relatif mudah. Cendol dibuat dengan adonan tepung pati ganyong. Menurut Suwarni, jika susah mendapatkan tepung pati ganyong maka bisa diganti dengan tepung pati gelang. Alasan digunakannya tepung pati ganyong adalah teksturnya yang lembut dan menjadikan rasa cendol menjadi manis. Namun kini pati ganyong sulit didapat di pasaran. “Pati ganyong langka, ya saya membuat dengan pati gelang sebagai pengganti. teksturnya tetap lembut tetapi tidak manis seperti pati ganyong,” kata Suwarni.

Nira digunakan untuk membuat juruh atau pemanis pada dawet goreng. Cara membuatnya yaitu dengan memanaskan nira sampai mendidih, lalu dicampur dengan gula aren. Aduk-aduk terus hingga gula aren mencair dan bercampur dengan nira. Campuran inilah yang membuat juruh dawet goreng manisnya pas di lidah. Lalu biarkan juruh dingin, barulah juruh siap disiramkan ke dawet goreng.

Tauge yang telah direbus menjadi pelengkap bersama dengan tahu kecil-kecil yang digoreng. Pelengkap ini menjadi topping pada dawet goreng. Sedangkan sambal dan bawang merah goreng menjadi bumbunya. Perpaduan rasa manis, pedas, gurih, dan asin yang dihasilkan, menjadikan dawet goreng unik rasanya. “Rasanya aneh tapi enak. Namanya juga membuatku penasaran dan banyak orang yang belum tahu,” ucap Heni (20) saat membeli dawet goreng pada Selasa, (22/9). Heni berharap dawet goreng lebih gencar memperkenalkan produknya kepada masyarakat luas. Dengan begitu dawet goreng dapat eksis di tengah masyarakat.

 

Tampilan cantik dawet goreng yang telah siap dihidangkan.

Satu mangkuk dawet goreng dihargai dua ribu rupiah. Namun bisa kurang atau lebih, tergantung permintaan pembeli. Sekali berjualan di pasar, Suwarni dapat menjual lebih dari lima puluh mangkuk. Meskipun selalu laris, Suwarni pun kerap menemukan hambatan dan tantangan. “Covid ini yang menjadi hambatan bagi saya. Saya tidak berjualan selama 1,5 bulan karena pasar ditutup,” jelas Suwarni. Ia juga tidak menerima pesanan dawet goreng untuk acara-acara, karena banyaknya acara yang diundur maupun ditiadakan. Dengan demikian Suwarni tidak mendapatkan uang hasil penjualan.

Selain masalah akibat pandemi, hal lain yang menjadi masalah adalah plagiasi terhadap makanan khas Kaligesing ini. “Masih sering ditemukan para peniru dawet ini. Saya sebenarnya tidak apa-apa, tapi saya menyesalkan mereka yang mengaku asli Kaligesing dan membuat nama dawet goreng menjadi jelek,” terang Suwarni. Itulah tantangan bagi Suwarni sebagai penjual dawet goreng yang asli. Dawet goreng yang seharusnya diakui menjadi milik Kaligesing, Purworejo terkadang masih diakui daerah lain.

Suwarni berharap dawet goreng ke depannya dapat dilibatkan dalam lapak-lapak yang ada di tempat wisata Purworejo. Ia juga berharap pandemi Covid-19 segera usai, agar dagangannya dapat ramai kembali saat di pasar maupun pesanan untuk acara hajatan.

Catatan redaksi: Pada masa pandemic, mahasiswa Dikom UGM yang menjadi jurnalis warga jogja tidak berada di Yogyakarta. Ini adalah salah satu liputan yang mengangkat cerita dari kota mereka tinggal saat ini, daerah asal mereka.