Pasar Inis, Bersyukur di Tengah Pandemi

Oleh: Sarah Widi Ardhani

Sebagai bentuk rasa syukur atas hasil panen, para pedagang dan petani di Pasar Inis menggelar hajatan bertajuk “Membumi untuk melangit, matur nuwun Gusti”. Hajatan tersebut diisi oleh beberapa rangkaian acara, termasuk bentuk tradisi setempat dan pertunjukan.

Pasar Inis adalah pasar kuliner tradisional yang terletak di Desa Brondongrejo, Purworejo. Terletak di tengah persawahan, pasar ini buka setiap hari Minggu pukul 5 pagi. Rangkaian acara hajatan yang dilaksanakan pada tanggal 27 September 2020 tersebut diawali dengan Bedhol Bumi. Bedhol Bumi merupakan arak-arakan oleh para petani yang membawa hasil tani. Para petani berbaris dari tepian sawah kemudian berjalan menuju tengah sawah melalui pematang sawah. Kemudian, dilanjutkan dengan prosesi berdoa bersama diikuti dengan pertunjukan tari. Yang menarik adalah, adanya prosesi rebutan ancakan di mana para warga berebut untuk mengambil beragam hasil tani yang dibawa oleh para petani tadi.

Prosesi Bedhol Bumi oleh para petani dengan membawa hasil tani sebagai bagian dari tradisi hajatan di Pasar Inis (27/9).

Tidak hanya saat prosesi rebutan ancakan, antusiasme para warga sekaligus pengunjung juga ditunjukkan saat mengikuti senam bersama di sawah. Saat senam akan berlangsung, para penjual pun diwajibkan untuk berhenti melayani pembelian sehingga para penjual dan pengunjung dapat mengikuti senam bersama.

“Berjualan itu bagus, kelamaan berjualan juga tidak sehat. Makanya saya suruh bangun untuk senam. Uang itu penting, tapi hidup terlalu memikirkan uang terus juga salah,” kata Purnomo Rianto (39), pengelola Pasar Inis.

Selain prosesi hajatan dan pertunjukan, di sana juga diadakan berbagai lomba yang dapat diikuti oleh para warga maupun pengunjung. Beberapa lombanya diantaranya adalah lomba mendandani orang-orangan sawah yang diikuti oleh kalangan ibu-ibu, lomba mengejar bebek dan lomba mengejar layangan yang banyak diikuti oleh anak-anak.

Purnomo menyampaikan bahwa rangkaian acara dilaksanakan secara mengalir saja, apa adanya dan non formal. Dari situlah justru terlihat sikap kekerabatan para warga desa. Selain itu, kebanyakan dari pengunjung sendiri merupakan pelanggan sehingga mereka sudah merasa dekat dengan suasana di Pasar Inis.

Pasar Inis sendiri sudah beberapa kali mengadakan hajatan. Hajatan bisa diadakan hingga tiga bulan sekali, atau bahkan setiap bulan tergantung pada kalender para petani. Agenda kegiatan di Pasar Inis selalu berkaitan dengan situasi para petani karena sawah di sekitar Pasar Inis merupakan milik para petani.

Menyikapi situasi pandemi, Pasar Inis pun menerapkan protokol kesehatan dan bersikap tegas terhadap pengunjung yang tidak mematuhinya. Sebelum masuk, pengunjung akan diperiksa suhu tubuh oleh petugas dan pengunjung diwajibkan menggunakan masker. Di dekat pintu masuk pun juga disediakan tempat cuci tangan. Para penjual dan pengisi acara juga patuh memakai masker dan face shield. “Di sini juga berani untuk nerapin protokol kesehatan, jadi orang-orang yang mau wisata kayak udah merasa aman, dibandingkan objek wisata lain yang kurang tegas,” kata Bastian (21), salah satu pelanggan Pasar Inis.

Purnomo sendiri mengungkapkan bahwa hajatan ini lebih mengajak orang-orang untuk tidak sambat atau mengeluh. Banyak masyarakat yang terdampak akibat pandemi, terlebih di sektor ekonomi. Dengan masih diberi nikmat panen di tengah pandemi ini, mereka kemudian melakukan syukuran. Terlebih masih banyaknya pengunjung yang berdatangan dan melarisi berbagai kuliner yang ditawarkan di Pasar Inis. “Alhamdulillah di saat seperti ini udah pada habis dagangannya,” kata Sulis (46), salah satu pedagang di Pasar Inis.

Kegiatan jual beli kuliner tradisional di Pasar Inis (27/9)

“Ketika yang lain berkeluh kesah, kami tidak. Di sini kami punya kebun Inis yang ditanami berbagai sayuran. Ketika masa di rumah saja, warga masih dapat panen sendiri,” kata Purnomo. Purnomo juga menyatakan harapannya agar Pasar Inis bisa turun-temurun dan dapat menularkan kebaikan bagi semua orang.

Catatan redaksi: Pada masa pandemi, banyak mahasiswa Dikom UGM yang menjadi jurnalis Warga Jogja tidak berada di Yogyakarta. Ini adalah salah satu liputan yang mengangkat cerita dari kota tempat mereka tinggal saat ini, daerah asal mereka.