Sentra Kopi Sudimoro: Mati Suri Hingga Hidup Kembali

Sudimoro yang menjadi sentra kopi di Malang turut merasakan dampak pandemi.

Oleh: Salsabila Adiba

Wabah Covid-19  menjadi pukulan telak bagi para pelaku usaha. Salah satunya usaha kedai kopi di kawasan Sudimoro, Malang. Jalan tempat berkumpulnya sekitar 60 kedai kopi itu sempat mati suri di saat awal pandemi.

Awal Maret, Presiden Jokowi mengumumkan bahwa Covid-19 terkonfirmasi untuk pertama kalinya di Indonesia. Sesaat setelah pengumuman presiden, segera diberlakukan berbagai kebijakan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Tak terkecuali dengan Kota Malang. Malang menjadi salah satu kota yang menerapkan kebijakan PSBB pada awal pandemi. Kebijakan ini tentunya secara otomatis melumpuhkan berbagai sektor, salah satunya sektor ekonomi.

Sudimoro yang menjadi sentra kedai kopi di Kota Malang, merasakan betul akibat adanya pandemi ini. Salah satunya terjadi pada Kopi Sawah. Angga (25) selaku pemilik Kopi Sawah menuturkan bahwa Covid-19 membuat kemunduran dalam segi bisnis. Hal ini terjadi karena masyarakat yang tidak memiliki keberanian untuk keluar rumah, menyusul kebijakan PSBB yang diberlakukan di Malang. Selain Kopi Sawah, Jali Merah, sebagai salah satu kedai kopi yang cukup ikonik di Sudimoro juga turut merasakan dampak Covid-19. Rizal selaku pemilik Jali Merah mengatakan bahwa  dia terpaksa harus menutup kedainya selama 3 bulan sejak bulan April. Diakui oleh kedua pemilik kedai kopi ini, penutupan kedai tentu saja berakibat pada menurunnya omset.

Jali Merah adalah salah satu kedai kopi di Sudimoro yang harus tutup sementara karena Covid-19.

Berbeda halnya dengan Jali Merah,  Angga memutuskan untuk menutup Kopi Sawah hanya selama dua minggu saja saat PSBB sedang berlangsung.

“Setelah PSBB selesai, kami memutuskan untuk membuka kedai kembali. Namun dengan catatan, jam operasional kedai akan lebih banyak berkurang daripada biasanya, seperti anjuran dari pemerintah. Saya juga mengistirahatkan beberapa karyawan untuk tetap bertahan,” tutur Angga.

Hal ini juga dilakukan oleh beberapa kedai kopi yang lain. Mereka memutuskan untuk tetap membuka kedai meski wabah Covid-19 masih sangat meradang, khususnya di Kota Malang. Pembukaan kembali kedai setelah masa PSBB diharapkan mampu membawa keuntungan kembali bagi para pemilik usaha, namun ternyata yang terjadi malah sebaliknya. Karena masyarakat belum berani untuk banyak beraktivitas di luar rumah, maka kegiatan ngopi pun menjadi berkurang sehingga Sudimoro menjadi mati suri alias sepi pengunjung.

Tentunya ini menjadi tantangan tersendiri bagi para pemilik kedai kopi. Mereka dituntut untuk bertahan di tengah berbagai keterbatasan.

Di awal era normal baru, banyak kedai kopi yang sudah memutuskan untuk beroperasi kembali. Tentunya pengoperasian ini mengikuti protokol kesehatan yang telah dianjurkan oleh pemerintah Kota Malang. Dimulai dari pemberian fasilitas untuk mencuci tangan di depan kedai, pembatasan sosial pada tempat duduk kedai, hingga  penyediaan hand sanitizer yang diletakkan di dalam area kedai. Selain itu, jam operasional hanya sebatas dari pukul jam 12.00 sampai pukul 20.00 saja.

Sejak diberlakukannya era normal baru, saat ini Sudimoro telah menjadi kawasan yang ramai kembali seperti sedia kala saat sebelum ada pandemi. Tidak ada lagi pembatasan jam operasional yang diberlakukan. Apalagi di waktu malam Minggu, hampir seluruh kedai penuh sesak oleh pengunjung hingga mengakibatkan kemacetan di sepanjang Jalan Sudimoro. Hal ini tentunya sangat disayangkan karena melihat fakta bahwa Covid-19 belum benar-benar berakhir.

Saat ini Sudimoro sudah kembali ramai seperti sedia kala.

Rizal selaku pemilik Jali Merah, mengaku bahwa sebetulnya ia memiliki konflik batin dalam dirinya. Ia memiliki kekhawatiran akan penyebaran Corona, tetapi sebagai pelaku usaha ia berada dalam posisi dilema. “Terkadang saya ingin mengingatkan customer untuk memakai masker dan menjaga jarak, tetapi merekanya sendiri yang memang acuh tak acuh terhadap protokol kesehatan,” ungkap Rizal.

Hal ini juga diamini oleh Dika (21), salah satu warga Malang yang sering mengunjungi Sudimoro untuk sekadar ngopi bersama teman-temannya. Ia mengatakan bahwa ia sebenarnya juga masih takut apabila terpapar virus dari orang lain. “Sebetulnya saya juga masih khawatir apabila tertular virus dari pengunjung yang lain, tetapi saya juga bingung, masa diajak teman ngopi saya menolak, kesannya kan kolot banget ya,” kata Dika.

Terbukti sendiri di kawasan Sudimoro, bahwa semakin kesini, pengunjung semakin abai terhadap protokol kesehatan yang telah dianjurkan pemerintah. Duduk berdesakan dan tanpa menggunakan masker sudah menjadi pemandangan yang umum. Ini lah yang kemudian membuat dilema para pelaku usaha untuk membuka atau menutup usahanya. Apabila membuka kedainya, resiko penyebaran virus menjadi lebih besar, namun apabila memilih untuk tutup, maka tidak akan ada pemasukan, sementara masih banyak kebutuhan yang harus dipenuhi.