Tumpang Koyor “Mbah Sabar”: Kukuh di Antara Kuliner Modern

oleh: Alvita Lucky Putri Suwardi

Salatiga, WARGAJOGJA.net – Di tengah gempuran makanan modern dengan aneka macam bentuknya, tumpang koyor tetap memiliki tempat khusus di hati masyarakat Salatiga.

Tumpang koyor merupakan kuliner khas Salatiga yang biasa dimakan di pagi hari sebagai sarapan. Di Salatiga banyak penjual tumpang koyor, tidak hanya yang berjualan di kios tetap tetapi juga yang berjualan di warung kecil atau depan rumah, khususnya pada pagi hari. Namun, salah satu kios tumpang koyor yang tetap eksis setelah puluhan tahun berdiri dan ramai pelanggan sampai sekarang adalah Tumpang Koyor “Mbah Sabar”.

Pelanggan Tumpang Koyor “Mbah Sabar” kebanyakan berasal dari kalangan usia dewasa. Salah satunya adalah Adi (30), warga asli Salatiga penggemar tumpang. Adi menjadi pelanggan Mbah Sabar setelah menikah beberapa tahun lalu karena dirinya gemar berwisata kuliner dengan istrinya. “Yang bikin balik terus kesini ya karena tumpang koyor di sini unik dan punya ciri khas. Koyornya empuk, nggak kaya tempat lain yang kadang alot banget sampai nggak bisa dikunyah,” Ujar Adi, (29/09).

Berbeda dengan Adi, Ahmad (27) menjadi pelanggan Mbah Sabar setelah diajak makan bersama kawannya di kios. Namun demikian, alasan keduanya menjadi pelanggan tetap Tumpang Koyor “Mbah Sabar” sama-sama karena cita rasanya yang nikmat dan khas. Alasan yang sama tersebut menjadikan mereka sebagai pelanggan yang cukup rutin mengunjungi kios Mbah Sabar setiap akhir pekan.
Selain karena cita rasa, menurut Adi maupun Ahmad harga tumpang koyor di kios Mbah Sabar cenderung lebih murah dan sebanding dengan kualitas yang diberikan dibandingkan dengan kios-kios tumpang koyor yang lain. Seporsi nasi tumpang koyor di kios Mbah Sabar dibanderol dengan harga mulai dari Rp10.000,00.

Sejak berdiri pada 1975, lokasi Tumpang Koyor “Mbah Sabar” terus berpindah-pindah sampai akhirnya menetap di Jl. Ahmad Yani, Salatiga pada 2005. Lokasi tersebut tidak begitu jauh dari pusat kota, sehingga mudah diakses oleh pelanggan. Kios tersebut cukup sederhana, namun selalu cukup untuk menampung pelanggan-pelanggan yang terus berdatangan untuk membungkus makanan maupun makan di tempat.

Tumpang Koyor “Mbah Sabar” yang didirikanoleh Mbah Sabar kini dikelola oleh Sri Waliyem (64), anak dari Mbah Sabar. Selama puluhan tahun, kios tersebut memang selalu ramai oleh pelanggan. Kios tersebut memiliki omzet sekitar Rp2 juta pada hari biasa dan Rp3 juta pada hari ramai.

“Dari dulu, pas Mbah (Sabar) masih ada dan saya masih gadis, saya yang meracik bumbu tumpangnya, saya yang masak. Jadi, rasanya bisa tetap sama karena saya sudah memasaknya selama puluhan tahun setiap hari.” Kata Sri Waliyem, (29/09) tentang bagaimana ia menjaga kualitas dan citarasa tumpang koyor kiosnya. Menurut Sri Waliyem, yang menjadikan kios tersebut tetap ramai setelah puluhan tahun adalah karena kualitas dan citarasa tumpang koyor yang selalu dijaga, sehingga tetap memiliki penggemar tersendiri di tengah perkembangan kuliner modern. Selain itu, pemasaran dari mulut ke mulut juga membantu usaha tersebut ramai kembali.

Foto: Sri Waliyem (64) melayani pelanggan setiap hari mulai dari 05.30 sampai dagangan habis. Pada hari ramai, khususnya akhir pekan, biasanya kios sudah tutup pada 10.30, (04/10).

Untuk ke depannya, Sri Waliyem menuturkan bahwa ia ingin membesarkan usahanya dengan pindah ke kios yang lebih nyaman bagi pelanggan serta membuka cabang. Namun, belum ada modal untuk mewujudkan harapannya. Apalagi, kondisi pandemi sangat memberikan dampak pada penjualan Tumpang Koyor “Mbah Sabar”. Penjualan menjadi menurun daripada sebelum pandemi. Selama pandemi, kios ini menjadi lebih sepi, hari ramai rata-rata pada akhir pekan karena kebanyakan pelanggannya merupakan warga baru selesai olahraga pagi.

Catatan redaksi: Pada masa pandemi, banyak mahasiswa Dikom UGM yang menjadi jurnalis Warga Jogja tidak berada di Yogyakarta. Ini adalah salah satu liputan yang mengangkat cerita dari kota tempat mereka tinggal saat ini, daerah asal mereka.