Akibat Protes Warga, Angkasa Pura Hentikan Pembebasan Lahan

Para warga menolak penggusuran lahan untuk bandara Kulon Progo di depan Kantor Pengadilan Tata Usaha Negara DIY, Senin (18/4). (Sumber: Tirto.id.)

oleh: Nivita Saldyni Adiibah

Yogyakarta – Dalam sepekan terakhir, salah satu isu di Yogyakarta yang paling mengundang polemik adalah penggusuran warga Kulon Progo untuk pembangunan Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA).

Penggusuran ini dilakukan mulai 27 November, dan mengalami puncak kericuhan pada Senin (4/12) dan Selasa (5/12), yang merupakan batas akhir dari PT Angkasa Pura (AP) I kepada warga di lima desa untuk meninggalkan rumah. Saat itu, puluhan warga menolak pindah dan memprotes keras penggusuran.

Akibat penolakan warga dan konsinyasi ganti rugi di pengadilan yang belum selesai, Angkasa Pura I menghentikan untuk sementara proses pembebasan lahan.

Puluhan warga itu tergabung dalam Paguyuban Warga Pemolak Penggusuran–Kulon Progo (PWPP-KP). Aksi protes dan penolakan sudah mereka lakukan sejak awal tahun, dan semakin ramai saat AP I mulai merobohkan puluhan rumah warga dan pohon-pohon di Desa Glagah dan Desa Palihan, Kecamatan Temon, Kulon Progo pada 27 November.

Berdasarkan keterangan PWPP-KP, pihak AP I bersama dengan PT Pembangunan Perumahan (PT-PP), dan PT Surya Karya Setiabudi (PT-SKS) mendatangi beberapa rumah warga yang menolak penggusuran sekitar pukul 09.00 WIB. Mereka dikawal 400 personel Satpol PP, aparat kepolisian, dan militer.

PWPP-KP mengatakan, tim gabungan itu melakukan penggusuran secara paksa dengan menggunakan alat berat.

Pemutusan aliran listrik untuk Desa Palihan juga dilakukan oleh PLN Kulon Progo. Hal ini dikonfirmasi oleh Ombudsman DIY yang melakukan investigasi di PT PLN. Ombudsman DIY mengatakan telah terjadi penindakan PLN atas permintaan AP I terhadap rumah-rumah yang masuk dalam area pembangunan bandara. Selain alasan kepemilikan tanah atau lahan oleh Angkasa Pura, PLN mengatakan, pemutusan listrik pada 27 November – 4 Desember ini juga untuk penanganan aset milik PLN.

(Video diambil dari akun instagram @merawatjogja)

 

Sementara itu, Hermanto mengatakan, pada Selasa (5/12), telah terjadi insiden kekerasan yang melibatkan warga, aktivis, dan polisi yang mengakibatkan penangkapan 15 aktivis. Aktivis ini, kebanyakan mahasiswa, adalah non-penduduk desa yang tergabung dalam PWPP-KP.

Kapolres Kulon Progo, AKBP Irfan Rifai, mengatakan 15 aktivis ini diamankan dengan alasan “memprovokasi” warga tanpa prosedur (izin) dan menghalang-halangi AP I dalam pembebasan lahan.

Menurut warga dan aktivis yang ditangkap, mereka mendapatkan perlakuan yang kasar dari para aparat. Fajar Ahmadi, warga penolak bandara, mengatakan bahwa saat kejadian pihaknya dipepet dan dipancing aparat untuk melakukan tindak anarkis. Hingga akhirnya ia terdorong ke depan.

“Saat itu saya terdorong ke depan, saya dicekik dari belakang oleh aparat, diseret dan ditendang di bagian betis. Saya merasakan ada yang menghantam kepala belakang. Saya tidak tahu persis itu memukul menggunakan tangan atau kayu,” kata Fajar. Meski begitu, ia berkata dirinya tak akan mundur dari tanah dan rumahnya.

Keterangan tak hanya datang dari Fajar, namun juga dari para aktivis yang bukan warga Kulon Progo, termasuk mahasiswa yang bergerak atas undangan di media sosial. Salah satunya adalah Syarif Hidayat (22), yang mengatakan,”Saya dipukul beberapa kali di hidung dan mulut saya berdarah,” seperti diberitakan surat kabar Kompas (7/12).

Selain itu, para aktivis juga membantah bahwa mereka memprovokasi. Heronimus Heron, Koordinator Pantauan Lapangan Aliansi Tolak Bandara Kulon Progo, mengatakan, ”Saat kami datang, warga memang menolak. Pemutusan listrik dan penggusuran itu nyata. Kami datang untuk membela warga,” katanya dalam surat kabar JawaPos (7/12).

Diberitakan surat kabar Kompas (7/12) AKBP Irfan Rifai mengatakan, pihaknya tidak melakukan tindakan pemukulan. “Kami punya bukti rekaman video dokumentasi. Aktivis yang terluka bukan terkena pukulan petugas, melainkan terkena benturan kamera saat terjadi kericuhan. Namun saya tidak tahu itu kamera dokumentasi aktivis atau media,” katanya.


Pro dan kontra warga di media sosial.

Menanggapi isu penangkapan aktivis oleh aparat kepolisian, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan,“Urusannya opo mahasiswa? Wong itu (rumah yang digusur) sudah dibayar (ganti rugi), sudah kosong. Dihancurin kan boleh.” Begitu juga saat menanggapi nasib para warga yang menolak dan tidak menerima ganti rugi, Sultan hanya mengatakan,”Lah wong di pengadilan. Di pengadilan kan. Mereka harus berurusan dengan pengadilan,” katanya.

Data terakhir dari AP I mengatakan bahwa sekitar 33 rumah masih berdiri di lahan Bandara Kulon Progo. Sebagian besar milik warga penolakan. “Kami tidak merobohkan rumah-rumah yang masih dihuni,” kata Sujiasto, Manajer Proyek Pembangunan NYIA. Berdasarkan surat kabar Kompas (7/12), pemberhentian sementara dilakukan sembari menunggu sejumlah rumah yang masih dalam proses konsinyasi ganti rugi di pengadilan dan sekaligus mengupayakan langkah persuasif kepada warga yang tidak ingin pindah.

Penolakan keras oleh warga yang tergabung dalam PWPP-KP dilatarbelakangi oleh beberapa alasan, hal ini dilontarkan oleh Fajar. Ia mengatakan bahwa proses jual-beli dengan sistem konsinyasi dirasa menyalahi aturan karena tidak ada kesepakatan dari warga. Ia mengaku hingga saat ini dirinya belum pernah menyetujui penjualan lahannya, termasuk pengukuran nilai tanah dan bangunan serta tanaman oleh tim appraisal.

Selain itu, sejumlah warga memang tidak berniat pindah sama sekali, karena alasan sudah nyaman hidup di sana dengan mata pencaharian dan komunitasnya.

Riawan Tjandra, Pakar Hukum Administrasi Negara dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta, berpendapat bahwa konflik Bandara Kulon Progo berkaitan dengan kontestasi akses lahan di DIY. Pemicu utama adalah semakin sempitnya lahan untuk pertanian karena proses alih fungsi yang masif.

Riawan juga mengatakan, perencanaan proyek bandara berlangsung tanpa proses dialog dan partisipasi yang memuaskan bagi semua warga. “Kata kuncinya harus diselesaikan dengan dialog. Tak bisa dari kaca mata hukum saja,” katanya.

(Artikel kurasi oleh: Nivita Saldyni Adiibah)