Lebih dari Bantuan Hukum, LBH Yogyakarta Melawan Ketidakadilan

Wilayah kerja LBH Yogyakarta mencakup seluruh wilayah Provinsi DIY dan beberapa daerah di Jawa Tengah (03/09).

oleh: Nadia Intan Fajarlie

Tak hanya mengawal berbagai kasus hukum bagi warga yang tidak mampu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta juga menjalankan program-program yang menumbuhkan kesadaran hukum bagi warga di DIY dan sekitarnya.

Selain malayani bantuan hukum, lembaga yang dijamin oleh UU No 16 tahun 2011 ini juga menggelar berbagai aksi menyuarakan sikap atas isu demokrasi dan HAM.

“LBH Yogyakarta menjalankan beberapa program, seperti sekolah hukum untuk paralegal, Karya Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu) untuk mahasiswa, dan pendidikan hukum bagi warga secara umum maupun kelompok warga yang terdampak perkara hukum,” kata Yogi Zul Fadhli, Direktur LBH Yogyakarta.

Salah satu perkara yang dikawal oleh LBH Yogyakarta adalah pencemaran udara akibat Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Kabupaten Cilacap. Sejak Juli 2019, LBH Yogyakarta turut mengawal perkara yang dihadapi masyarakat Dusun Winong, Desa Slarang, Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.

Warga terdampak debu batubara dari PLTU Sumber Segara Primadaya (S2P) Cilacap tersebut menuntut Pemerintah  Kabupaten  Cilacap untuk mengkaji ulang Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) dari PT S2P selaku pengelola PLTU.

Pencemaran lingkungan yang menyebabkan setidaknya 150 warga menderita penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) itu membuat 200 warga melancarkan aksi pada 30 September 2019. LBH Yogyakarta juga bergabung dalam aksi ini bersama dengan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Tengah.

Yogi mengatakan bahwa organisasinya akan terus mengawal kasus tersebut hingga tuntas. Sebab, menurutnya, sudah menjadi tugas LBH Yogyakarta mengawal perkara-perkara struktural yang mengakibatkan kerugian pada rakyat tidak mampu.

“Kategori masyarakat tidak mampu di LBH Yogyakarta bukan hanya diukur secara ekonomi, namun juga secara sosial, politik, hukum, dan budaya,” kata Yogi. Ini karena berdirinya LBH di bawah naungan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) tidak lepas dari konteks tatanan politik pada masa Orde Baru.

Tatanan politik masa pemerintahan Presiden Soeharto, menurut Yogi, menghasilkan kebijakan-kebijakan yang menimbulkan berbagai ketimpangan. Tak hanya ketimpangan ekonomi, namun juga ketimpangan peran dalam masyarakat, jelas Yogi.

“Alih-alih memberi perlindungan pada hak asasi manusia (HAM), yang terjadi malah bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, demokrasi, dan negara hukum,” kata Yogi.

Yogi mengatakan bahwa LBH Yogyakarta membuka kesempatan bagi masyarakat yang ingin membantu kinerja LBH Yogyakarta dengan berdonasi melalui nomor rekening di laman resminya atau membeli produk yang ditawarkan di akun Instagram @sobatkeadilan (03/09)

Ada dua jenis perkara yang ditangani oleh LBH Yogyakarta. Pertama, perkara-perkara struktural. Maksudnya perkara yang “memiskinkan” suatu pihak dari atas ke bawah. Misalnya perkara yang terjadi pada warga Winong di Jawa Tengah. Kedua, perkara privat, misalnya kasus perceraian, waris, penganiayaan, dan sebagainya.

“LBH Yogyakarta membantu semua perkara, kecuali pelaku tindak pidana korupsi, narkoba, kekerasan dalam rumah tangga, dan pelanggaran HAM,” kata Yogi.

LBH Yogyakarta menyasar seluruh elemen masyarakat hingga ke wilayah-wilayah pelosok di DIY dan sekitarnya. Namun keterbatasan sumber daya manusia, menurut Yogi, menjadi tantangan yang mendorong LBH Yogyakarta untuk membentuk paralegal. Mereka merupakan masyarakat sipil dari suatu komunitas atau daerah yang memperoleh pendidikan hukum melalui program sekolah paralegal di kantor LBH Yogyakarta. Dengan begitu, bantuan hukum diharapkan dapat menjangkau wilayah yang lebih luas.

Masyarakat dapat meminta bantuan hukum di LBH Yogyakarta dengan datang langsung ke Jalan Benowo, Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta, DIY, karena LBH Yogyakarta tidak melayani bantuan secara online.

Salah satu warga yang mendapat bantuan hukum dari LBH Yogyakarta adalah Ervani Emy Handayani, seorang warga di Bangunjiwo, Kasihan, Bantul. Ia mengatakan, LBH Yogyakarta tidak hanya membantunya di dalam persidangan, namun juga di lingkungan tempat tinggalnya ketika ia divonis melanggar pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Transaksi Elektronik (UU ITE) pada tahun 2015.

“LBH Yogyakarta memberi pengertian kepada masyarakat sekitar tempat tinggal saya bahwa orang yang dipenjara belum tentu bersalah, “ kata Ervani.

Menurut Ketua Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia, Eko Riyadi, LBH Yogyakarta sudah optimal memberikan dukungan bantuan hukum kepada masyarakat dan telah menjadi rujukan utama bagi masyarakat marjinal di DIY. Ia menambahkan, LBH perlu berkolaborasi dengan organisasi masyarakat sipil yang lain.

“Dukungan dari berbagai elemen dengan basis sosial yang beragam akan sangat membantu kerja-kerja LBH Yogyakarta,” kata Eko.