Polemik Prostitusi Pasar Kembang

Dulu, Jalan Pasar Kembang merupakan sentra pedagang bunga, sebelum pindah ke Jalan Ahmad Jazuli. Sekarang nama Pasar Kembang cukup identik dengan kawasan prostitusi, akibat kegiatan yang terjadi di gang-gang selatan jalan ini.
Dulu, Jalan Pasar Kembang merupakan sentra pedagang bunga, sebelum mereka pindah ke Jalan Ahmad Jazuli. Sekarang nama Pasar Kembang cukup identik dengan kawasan prostitusi, akibat kegiatan yang terjadi di gang-gang selatan jalan ini.

Oleh Yoga Pramudya Wadana

Belum ada program dari Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Kota Yogyakarta terkait penutupan kawasan prostitusi Pasar Kembang. Program Kementerian Sosial yang menargetkan Indonesia bebas prostitusi 2019 belum mampu menyentuh kawasan Pasar Kembang. Kegiatan prostitusi yang masih terjadi di selatan Jalan Pasar Kembang tersebut merupakan lokasi prostitusi, bukan lokalisasi yang menjadi target Kementerian Sosial. Status non-lokalisasi ini menimbulkan polemik tersendiri.

Kepala Dinsosnakertrans Kota Yogyakarat Hadi Muchtar mengatakan, belum ada program dari Dinsosnakertrans terkait penutupan kawasan Sarkem. Pihaknya masih menunggu instruksi dari pemerintah kota maupun pemerintahan pusat terkait penutupan kawasan prostitusi yang terletak di  Sosrowijayan Kulon, Sosromenduran, Gedongtengen.  Program Kementerian Sosial, Indonesia bebas prostitusi 2019, menarget kawasan lokalisasi bukan lokasi prostitusi seperti Pasar Kembang. Terdapat perbedaan antara lokalisasi dan lokasi.

“Lokalisasi merupakan tempat penampungan para pekerja prostitusi, terdapat pembinaan dari pemerintah di dalamnya. Sedangkan lokasi prostitusi merupakan tempat prostitusi yang diakui oleh masyarakat luas, tapi tidak ada pembinaan dari pemerintah. Masyarakat sekitar lebih berperan dalam keberlangsungan kegiatan prostitusi di sana. Sarkem merupakan lokasi prostitusi yang dikenal oleh masyarakat luas,” ujar Hadi, (26/3).

Senada dengan pernyataan Kepala Dinsosnakertrans Kota tersebut, Soetoto, mantan ketua RW Sosrowijayan Kulon, mengatakan bahwa kawasan Sarkem tidak bisa disebut sebagai tempat lokalisasi. Menurutnya, daerah Sosrowijayan Kulon bukanlah daerah yang dikhususkan sebagai tempat prostitusi, lebih dari setengah jumlah warga Sosrowijayan Kulon sama sekali tidak ikut dalam kegiatan prostitusi.

“Penduduk Sosrowijayan Kulon dapat dibagi menjadi dua kelompok masyarakat, yaitu kelompok warga asli dan pendatang yang bisanya berprofesi sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK). Kelompok warga asli masih dibagi menjadi warga penggiat prostitusi dan warga bukan penggiat prostitusi. Kondisi kehidupan antara warga penggiat, bukan penggiat, dan PSK terbilang damai dan harmonis, kami sangat toleran,” ujar Soetoto, yang juga dosen purna tugas Teknik Geologi UGM (30/5).

Sedangkan menurut Staf Pengajar Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM, Nurhadi, lokalisasi adalah tempat khusus untuk menyatukan tempat-tempat prostitusi yang tadinya tersebar supaya mudah dikontrol, sedangkan lokasi prostitusi merupakan tempat prostitusi yang akarnya terdapat di masyarakat. Lokasi memiliki dampak yang cukup besar dalam kehidupan masyarakat (multiplied effect). Aktor di balik lokalisasi pada umumnya terdiri dari pemilik lokalisasi, germo, dan PSK, sedangkan aktor di balik lokasi prostitusi cukup rumit karena peran masyarakat di dalamnya.

Berdasarkan pemaparan Soetoto, terdapat 12 pihak yang berperan dan aktif dalam aktivitas prostitusi di Pasar Kembang, mereka adalah PSK, mucikari, pemilik kamar, konsumen, jongos atau pelayan, keamanan atau bisa disebut “dada”, pacar PSK yang biasa disebut gandengan, pedagang, beberapa oknum aparat, tukang pijat, juru parkir, dan rentenir. Pihak-pihak tersebut terdiri dari warga asli penggiat prostitusi dan pendatang.

Meski berbeda, menurut Nurhadi yang pernah melakukan studi prostitusi di kawasan DIY, pemerintah, dalam hal ini Pemerintah Kota, tetap memiliki kewenangan dan kewajiban untuk mengintervensi lokalisasi prostitusi ataupun lokasi prostitusi seperti Sarkem. Posisi pemerintah dalam kasus prostitusi sudah jelas, pemerintah memandang prostitusi sebagai permasalahan sosial yang harus dihilangkan, Kemensos memasukan Wanita Tuna Susila sebagai salah satu  Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS).

Dari segi hukum, aturan mengenai kegiatan prostitusi di atur dalam Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (KUHP) Pasal 296. Menurut Muhammad Fatahillah Akbar, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana UGM, kegiatan seksual yang komersial dapat dikenakan pidana dengan catatan hanya pihak perantara atau penyalur jasa yang dapat dipidanakan. Berprofesi sebagai mucikari atau pemilik rumah bordil dapat terjerat pidana. Pidana lebih berat diberikan jika memperkerjakan anak di bawah umur karena masuk dalam ranah hukum perlindungan anak.

“Dalam KUHP, pelaku prostitusi dapat dikenakan pidana perzinaan dengan catatan terdapat ikatan perkawinan yang sah secara hukum dan ada aduan dari suami/istri calon tergugat. Jika aktivitas seksual berdasarkan rasa suka sama suka, tidak ada paksaan, ataupun aduan dari suami/istri bersangkutan maka itu legal secara hukum meski tidak ada ikatan perkawinan yang sah. Hukum pelaku prostitusi diatur lebih jauh melalui Peraturan Daerah” papar Akbar yang juga menjabat sebagai Asisten Ketua Departemen Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (1/6).

Akbar menambahkan, Pidana KUHP berlaku di mana saja baik di kawasan lokalisasi maupun kawasan lokasi Pasar Kembang. Pidana ini dapat dapat diproses oleh penegak hukum dengan catatan hanya germo dan pemilik rumah bordil yang dipidanakan, sementara PSK dan konsumen tidak terkena pidana. Menurutnya, pidana tersebut dapat berfungsi ketika ada kemauan dari aparat penegak hukum untuk memproses.

Terakhir, Nurhadi mengatakan, jika memang lokasi Sarkem akan ditertibkan maka ada baiknya pemerintah jangan menggunakan pendekatan general melainkan menggunakan pendekatan assessment (analisis kebutuhan).

Pertama, pendekatan pemerintah harus humanis, yakni melihat PSK sebagai manusia bukan penyakit. Harus dihormati bahwa mereka adalah kaum perempuan yang rawan terhadap pelecehan seksual. Ketika penertiban, aparat yang menertibkan adalah aparat perempuan. Kedua, pemerintah jangan hanya normatif karena faktor pragmatis akan lebih mudah diterima. Menyentuh langsung aspek-aspek latar belakang penggiat prostitusi. Ketiga, pemerintah harus komperhensif menangani semua aktor di balik lokasi prostitusi.