Berkreasi Batik Lukis bersama Sanggar Kalpika

Motif topeng adalah motif yang paling banyak diproduksi dan menjadi salah satu ciri khas dari Sanggar Kalpika, yang berlokasi di Dusun Taman, Kelurahan Patehan, Yogyakarta (8/9).

Oleh: Sri Handayani Listyaningtyas

Warna-warni karya seni kaos batik lukis akan memanjakan mata Anda ketika berkunjung ke Sanggar Kalpika. Sanggar kerajinan batik sejak 1970 ini telah turut andil menjadikan kawasan Taman Sari Yogyakarta sebagai destinasi wisata seni di samping wisata sejarahnya.

Sanggar Kalpika (Akal Pemuda Insyaf Katon) terbentuk dari inisiatif para pemuda di kawasan Taman Sari yang ingin bersama-sama belajar dan menghasilkan karya. Mereka bergerak secara swadaya, dan berhasil berkembang hingga sekarang.

Hafiq Basuki selaku pengelola sanggar mengungkapkan, “Sanggar ini awalnya semacam karang taruna untuk menggerakkan teman-teman yang tidak memiliki pekerjaan, lalu berkumpul di Sanggar Kalpika dan menghasilkan karya. Sekian persen dari karya yang laku terjual akan masuk ke kas untuk memenuhi kebutuhan sanggar.”

Pada awal berdirinya, Sanggar Kalpika mengusung konsep seni batik tradisional yang diaplikasikan pada kain menggunakan canting. Kemudian sejak 2013, anggota sanggar berinovasi dengan konsep yang berbeda, yakni kaos batik lukis dengan tetap menggunakan pewarna batik.

Setiap pelukis di Sanggar Kalpika memiliki kebebasan dalam berkreasi, sehingga produk yang dihasilkan pun begitu beragam. Mulai dari gaya aliran kubisme yang terinspirasi dari Pablo Picasso, hingga kontemporer.

Adapun bahan kain yang digunakan sebagai media lukis adalah katun. Tujuannya agar warna dapat diaplikasikan secara maksimal. Mereka juga menggunakan cairan pengunci warna batik agar tidak luntur.

Dengan prosesnya yang manual, pengerjaan kaos batik lukis ini membutuhkan waktu 2-3 hari. Produk yang sudah jadi kemudian dipajang dan dijual seharga 150-200 ribu rupiah. Penjualan juga mereka lakukan via Instagram untuk menjangkau pasar yang lebih luas.

 

Produk tersebut pun berhasil menarik minat beli turis domestik dan asing sehingga khususnya dalam beberapa bulan terakhir, Sanggar Kalpika berhasil memperoleh omzet sebesar 10-13 juta per bulan.

Seiring berjalannya waktu, Sanggar Kalpika berupaya mengembangkan variasi produk seperti topi, tote bag, jaket, celana, hingga selendang. Gaya lukis pun juga turut disesuaikan dengan tren zaman, tanpa menghilangkan nuansa klasik dan aliran seni masing-masing pelukis.

Seperti yang diungkapkan Denis, anggota Sanggar Kalpika, “Kami sebagai seniman memang memiliki idealisme, dan gaya lukis masing-masing. Tapi karena tuntutan kebutuhan, kami berusaha menyesuaikan diri dengan selera pasar.”

Kemudian tanpa melupakan esensi dari sanggar itu sendiri, Sanggar Kalpika kini tetap fokus berperan sebagai tempat pelatihan batik bagi warga sekitar maupun umum. Bahkan turis asing yang penasaran dengan batik pun tertarik untuk belajar di Sanggar Kalpika.

Bang Pul (kiri), seniman asal Aceh datang ke Sanggar Kalpika untuk belajar batik tradisional dari Hafiq (kanan) atas rasa ketertarikan (8/9).

Selain itu, Sanggar Kalpika juga mendapat kepercayaan untuk melatih murid Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogyakarta dalam membatik. Hafiq Basuki pun juga pernah mengajar batik di Salatiga dan Balai Latihan Kerja (BLK) Semarang sebagai tugas dari Departemen Tenaga Kerja dan Dinas Pariwisata.

Untuk ke depannya, Hafiq berharap Sanggar Kalpika akan terus bertahan dan berkembang sebagai upaya untuk melestarikan seni batik, serta mendatangkan manfaat bagi banyak orang.