Girl Up UGM: Ruang Aman untuk Mahasiswa Perempuan dan Minoritas Gender

Girl Up UGM di Longmarch International Women’s Day (IWD) Yogyakarta (8/3) (Sumber: dokumentasi Girl Up UGM)

Girl Up Universitas Gadjah Mada (UGM) didirikan pada April 2019 dengan beranggotakan mahasiswa-mahasiswa dari Universitas Gadjah Mada. Klub ini berakar dari keresahan atas kurangnya ruang aman bagi mahasiswa perempuan dan minoritas gender di kampus, untuk menyuarakan kepentingan dan tuntutan mereka. Girl Up UGM bergerak dalam bidang kesetaraan gender dengan mengadvokasikan isu-isu gender, orientasi seksual, ras, dan banyak lainnya. 

Pada 1998, United Nations (UN) membentuk sebuah organisasi bernama UN Foundation. Organisasi ini bertujuan untuk membantu United Nations dalam menghubungkan pekerjaan mereka dengan orang-orang lain, untuk  membantu mereka menyelesaikan berbagai isu. Seperti perubahan iklim, kesehatan global, perdamaian dan keamanan, serta pemberdayaan perempuan.

Girl Up menjadi inisiasi UN Foundation  untuk membantu mendukung  badan-badan UN yang berfokus pada remaja perempuan. Girl Up mengajak remaja perempuan untuk menjadi pendorong bagi kesetaraan gender dan perubahan sosial. Didirikan pada 2010, sekarang Girl Up telah memiliki klub-klub yang tersebar hampir di 125 negara. Termasuk Girl Up Indonesia, yang menaungi 15 klub di berbagai daerah, seperti Girl Up UGM.

Veronica, perwakilan dari Girl Up UGM menceritakan tentang bagaimana Girl Up UGM bervisi untuk menjadi ruang aman yang inklusif  bagi berbagai identitas. Mulai dari gender, orientasi seksual, ras, agama, etnis, status sosio ekonomi, kemampuan fisik, dan sebagainya, untuk bekerja sama mewujudkan keadilan gender.

Ia juga menjelaskan tentang bagaimana Girl Up UGM tidak hanya mengangkat isu kesetaraan gender saja, tapi juga menekankan pada interseksionalitas isu. Girl Up UGM menyadari akan adanya lapisan penindasan yang dialami oleh seorang individu atau kelompok akibat tumpang tindih identitas karena gender, kelas, ras, disabilitas, agama, dan lain-lain. Mereka berusaha untuk mengedepankan komunitas-komunitas dan membawa isu-isu akar rumput.

“Sebagai sebuah organisasi yang mewadahi mahasiswa, kami selalu berusaha untuk mengamplifikasi suara-suara komunitas yang kami advokasikan dan belajar dari mereka alih-alih mengedukasi atau speak over komunitas-komunitas ini,” jelas Veronica.

Pentingnya interseksionalitas dalam gerakan dan advokasi kesetaraan gender juga didukung oleh Mashita Fandia, dosen Departemen Ilmu Komunikasi UGM, yang banyak membahas tentang isu-isu gender. Menurutnya, wajib hukumnya untuk melihat isu gender, isu kesetaraan gender, isu feminisme, dan isu seksualitas dalam bingkai interseksionalitas. Apalagi dalam konteks masyarakat indonesia. Menurutnya, interseksionalitas membantu untuk melihat persoalan gender tidak hanya dari kacamata biner antara laki-laki dan perempuan, tapi juga melihat kompleksitas yang ada di dalam isu gender itu sendiri. Tidak hanya dari jenis kelamin saja, tapi juga melihat isu-isu gender dari agama, suku, ras, demografi, dan usia.

“Kalau kita melihatnya dari kacamata interseksionalitas, itu memungkinkan kita untuk melihat isu gender ini secara lebih komprehensif,” jelas Mashita.

Tidak hanya sebagai nilai, Girl Up UGM juga mengaplikasikan interseksionalitas ke kegiatan-kegiatan mereka. Pada Juni kemarin misalnya, Girl Up UGM mengadakan penggalangan dana dan membuka kanal donasi berupa buku dan alat tulis bagi anak-anak di distrik Yaro, Papua. 

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Girl Up UGM (@girlup.ugm)

Kegiatan-kegiatan advokasi Girl Up UGM, selama pandemi ini, kebanyakan dijalankan secara daring. Melalui webinar, Instagram live, podcast, klub buku daring, dan sebagainya. Mereka baru saja mengakhiri rangkaian acara “Domestic Violence Awareness Month Campaign” dimana rangkaian kegiatannya terdiri dari penggalangan dana dan webinar.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Girl Up UGM (@girlup.ugm)

Advokasi melalui media sosial dapat menjadi berpengaruh terhadap gerakan kesetaraan gender. Mashita menjelaskan bahwa peran remaja dan anak muda signifikan terhadap gerakan kesetaraan gender. Terutama, saat kampanye isunya dilakukan melalui media digital. Di mana remaja dan anak muda merupakan pengguna native. Karena mereka lebih akrab dan paham dengan bagaimana media digital bekerja. Namun, substansi dari konten yang mereka sebarkan di media sosial harus diperhatikan.

“Karena isu kesetaraan gender kan isu yang kompleks terutama di Indonesia, apalagi dengan kondisi sosio kultural yang begini,” jelas Mashita.

Girl Up UGM juga sadar akan tantangan ini. Sifat organisasi yang mengampanyekan isu-isu gender, orientasi seksual, ras, dan lain-lainnya menuntut Girl Up UGM untuk sensitif terhadap dinamika sosio kultural masyarakat Indonesia.

Mengapa para mahasiswa tertarik dengan Girl Up? Salah satu anggota Girl Up UGM, Nabila, bercerita tentang alasannya memutuskan bergabung dengan organisasi ini.  Ketertarikannya dengan kesetaraan gender mendorongnya untuk mencari platform untuk belajar lebih banyak tentang isu tersebut. Girl Up UGM pun menjadi jawabannya. Girl Up UGM memberikan wadah untuk menuangkan ketertarikannya terhadap isu-isu gender ke dalam proyek yang bisa memberikan manfaat kepada masyarakat. Ia juga merasa bahwa Girl Up UGM memberikan ruang aman kepadanya, di mana ia bisa mengutarakan pendapat tentang isu-isu feminisme dan kesetaraan gender yang tidak didapatkan di tempat lainnya.

“Ketika aku masuk ke Girl Up UGM, aku kayak menemukan keluarga yang bisa aku ajak berbagi tentang concern terkait isu kesetaraan gender, melatih aku berorganisasi, dan memberikan kesempatan untuk aku to do something for the community,” tutur Nabila.