Jogja Garuk Sampah, Penggaruk Sampah Visual

Penggarukan sampah visual tali bekas baliho di perempatan Sagan, Sleman, Yogyakarta, Minggu (20/03).
Penggarukan sampah visual tali bekas baliho di perempatan Sagan, Sleman, Yogyakarta, Minggu (20/03).

oleh Kartika Natasha

Selain sampah organik dan non-organik, keberadaan sampah visual di Yogyakarta juga memprihatinkan. Baliho dan poster di pinggir jalan sungguh mengganggu kebersihan dan merusak pemandangan. Jogja Garuk Sampah, gerakan yang sudah lama peduli dengan lingkungan kota, tidak tinggal diam. Pada 21 Februari 2016, aksi mereka mulai menyasar sampah visual.

Menurut Bekti, penanggungjawab Jogja Garuk Sampah, sampah visual merupakan masalah tersendiri bagi Yogyakarta. “Untuk sampah organik atau non-organik di jalanan, telah ada petugas harian yang membersihkannya. Tetapi, sebagai sampah yang paling terlihat, sampah visual justru paling kurang mendapat perhatian,” kata Bekti (18).

Berdiri pada 2015, JGS awalnya adalah wujud kepedulian seorang guru TK, Willian Bike, terhadap sampah di Yogyakarta. Willi, panggilan akrabnya, selalu menyempatkan untuk memungut sampah sebelum dan setelah pulang kerja.

“Dia (Willi) memungut sampah sekitar Nol Kilometer seorang diri. Seperti orang kurang kerjaan kalau bagi saya. Dikarenakan penasaran, saya selalu mengikutinya. Akhirnya pada September 2015, saya mulai bergabung dengan memungut sampah di sekitar Nol Kilometer,” ujar Bekti. Akan tetapi, dikarenakan tuntutan studi, Willi menyerahkan JGS kepada orang kepercayaannya, Bekti.

Mulanya, agenda utama JGS hanya terbatas di daerah wisata sekitar Nol Kilometer. Sampah pungutan pun relatif seperti, puntung rokok, plastik bekas makanan minuman, gelas kaca, serta kertas. Namun, berkat saran dari relawan, aksi pungutan sampah mulai menyasar pada titik-titik perempatan di Yogyakarta setiap Rabu pukul 19:30 WIB. Pun juga Minggu pukul 06:00 WIB di perempatan Sagan (@SlemanGarukSampah). Kebanyakan relawan JGS adalah para mahasiswa, pelajar SMA atau SMP, serta anggota komunitas sosial lain.

Penyasaran tersebut, diupayakan Bekti guna dapat melaksanakan paket combo dalam gerakannya. Yaitu agar semua sampah termasuk sampah visual dapat tergaruk. Bekti menjelaskan bahwa poster dan baliho yang sudah kadaluarsa, tidak memiliki cap, atau yang tidak berada di tempatnya boleh dipungut secara cuma-cuma. Bahkan ketegori sampah visual juga merujuk pada alat pendukungnya seperti paku, kawat, serta tali.

“Saat penggarukan di Sagan, JGS mendapatkan 4 kantong sampah ukuran 120×160 full berisi tali pada satu tiang. Coba saja kalikan dengan beberapa tiang yang ada di Yogyakarta,” kata Bekti sambil tertawa.

Menurut Kedunk, motivator dan penasihat JGS, hal serupa juga terjadi dalam aksi penggarukan di perempatan Demangan. JGS bisa memperoleh delapan kantong sampah, dengan empat di antaranya sampah kertas (poster). Kedunk menjelaskan bahwa pihaknya tidak menyalahkan pemerintah.

“Pertama, pemerintah kekurangan armada. Kemudian, ketika mereka memotong spanduk, mereka hanya memotong luarnya. Masih tertinggal tali yang mengikat tiang-tiang tersebut. Kejadian ini yang menjadi masalah. Sebab akan menumpuk dan terjadi pengeroposan,” ujar Kedunk yang ditemui saat aksi JGS di perempatan Demangan (23/3). Ditakutkan tiang-tiang itu akan roboh dan menimpa warga. Untuk itu, JGS menghimbau warga terlebih penyelenggara event agar sesegera mungkin melepas poster ataupun baliho jika waktu acara telah usai.

Berbagai tanggapan pro dan kontra muncul seiring himbauan JGS kepada masyarakat. Mereka mendapat dukungan dari pemerintah dan warga sekitar. “Gerakan ini sangat bagus karena dapat meningkatkan kesadaran sosial. Melalui kegiatan ini mungkin ke depannya masyarakat menjadi sadar, paling tidak ini telah memberi contoh kepada masyarakat umum,” ujar Lugas (50), penjual makanaan ringan di perempatan Sagan.

Tetapi ada warga yang kontra dengan himbauan tersebut, bahkan hingga melempar batu kepada relawan JGS. “Masyarakat kurang familiar dengan gerakan ini, sehingga mereka merasa canggung. Maka dari itu, cibiran-cibiran kadang muncul,” ujar Bekti menanggapi kejadian pelemparan batu.

Bekti mengungkapkan bahwa sebenarnya masalah utama bagi JGS bukanlah cibiran atau hinaan dari warga, melainkan masalah transportasi. Gerakan JGS belum memiliki alat angkut sampah. Sehingga terkadang JGS masih kesulitan untuk membawa sampah pilahan, apalagi jika jarak Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPSS) terlampau jauh.

“Sementara ini kami mendapatkan bantuan dari komunitas Jogja Plastic Clean Up, yaitu menggunakan tronjot. Sayangnya tronjot masih menyalahi aturan, sebab tronjot merupakan alat angkut manusia,” ujar Bekti

Ke depannya, Bekti beserta relawan JGS berencana memiliki alat transportasi sendiri. “Masalah dana, JGS sudah memiliki dana sebesar 750.000 rupiah dari sumbangan relawan ke rekening Jogja Garuk Sampah sejak November lalu. Niatnya dana itu akan dikumpulkan, guna membuat alat transportasi sendiri,” ujarnya. Selain rekening, JGS juga menyediakan iuran sukarela bagi para relawan. Dana iuran yang terkumpul akan digunakan untuk membeli alat bersih-bersih.

Sesudah memungut dan memilah sampah, Bekti menjelaskan bahwa pihaknya tidak langsung membuangnya ke TPSS. Melainkan memberikannya kepada para pemulung. “Agar gerakan JGS tidak mengurangi atau mengganggu rezeki untuk para pemulung. Pemulung kan rezekinya dari sampah. Jadi, sebisa mungkin JGS akan membantu mereka,” ujarnya. Sehingga setelah memungut, memilah, sedekah sampah, kemudian rekan-rekan JGS baru membuangnya ke TPSS terdekat.

Bekti dan Kedunk berharap agar masyarakat atau komunitas lain dapat terpancing mengikuti gerakan JGS. Sampah setidaknya akan berkurang jika terdapat kerjasama di kedua belah pihak, pemerintah dan masyarakat. “Kami bukanlah orang pengangguran. Banyak dari kami yang masih sekolah, dan memiliki kesibukan lainnya. Saya sendiri masih kelas dua SMA. Akan tetapi kami meluangkan waktu untuk mengajak masyarakat menjaga lingkungan Yogyakarta,” kata Bekti di akhir wawancara.