Cintai Museum dan Cagar Budaya dengan Malamuseum

Oleh: Dyah Ayu Pitaloka

Malamuseum mengedukasi pentingnya wisata sejarah dan cagar budaya dengan memberikan alternatif pilihan program komunitas

Malamuseum merupakan komunitas yang bergerak di bidang sejarah museum dan cagar budaya. Komunitas yang berdiri pada 2012 ini berupaya mengajak masyarakat mencintai tempat bersejarah. Salah satu kegiatannya dengan wisata edukasi berkunjung ke museum saat malam hari.

Malamuseum bermula dari program kreativitas mahasiswa bidang kewirausahaan atau PKM dengan nama Yogyakarta Night at The Museum. Program ini digagas oleh lima orang mahasiswa Universitas Gadjah Mada dengan konsep wisata edukasi mengunjungi museum pada malam hari.  Saat itu, program masih berorientasi pada keuntungan karena bergerak di bidang kewirausahaan.

Yogyakarta Night at The Museums perdana dilaksanakan pada 17 Maret 2012. “Peminat terhitung banyak karena belum pernah ada kunjungan museum saat malam hari di Yogyakarta. Kuota peserta sampai penuh bahkan ada daftar tunggu,” kata Erwin, salah satu pendiri Malamuseum ketika ditemui Jum’at (11/3) di Museum De Mata.

Ketika program Dikti selesai tahun 2013, program ini sempat mengalami kendala biaya dan sumber daya manusia. Erwin, satu pendiri yang masih bertahan kemudian merekrut teman-teman dekat dan membentuk komunitas yang bersifat non-profit atau nirlaba. Pada awal 2017, nama Yogyakarta Night at The Museums berganti menjadi Malamuseum karena adanya kepengurusan badan hukum dan akta pendirian, yang mengharuskan nama komunitas menggunakan bahasa Indonesia.

Komunitas Malamuseum mempunyai tiga program utama, yaitu jelajah malam di museum (Amazing Race Night at The Museum) sejak 2012 untuk mahasiswa; Kids in The Museum  sejak 2015 untuk anak-anak usia enam sampai sepuluh tahun; dan Kelas Heritage sejak 2016 untuk umum. Malamuseum juga mengambil isu-isu konservasi cagar budaya karena museum dan cagar budaya tidak dapat dipisahkan.

Anggota Malamuseum adalah relawan yang bergabung melalui rekrutmen terbuka. Pada rekrutmen kedua tahun 2018, relawan Malamuseum mencapai 40 orang. Erwin mengatakan, awalnya relawan bergabung melalui rekrutmen tertutup dan terbatas teman dekat. “Kami baru membuka rekrutmen secara terbuka itu tahun 2016. Maksudnya, kami tidak hanya menerima teman-teman dari jurusan Ilmu Sejarah UGM, tetapi juga berbagai jurusan bahkan universitas,” katanya.

Malamuseum hanya menerima kalangan mahasiswa sebagai relawan karena dianggap mempunyai waktu luang, daya kreativitas yang tinggi, dan mampu menjadi penggerak di masyarakat. Relawan yang tergabung menjadi anggota kemudian dibagi ke dalam tiga divisi sesuai program komunitas.

Walaupun dua dari tiga program utama dilaksanakan pada pagi hari, yaitu Kids in The Museum dan Heritage Class, kata malam pada nama komunitas tetap dipertahankan karena berawal dari kegiatan malam hari di museum.

“Nama Malamuseum itu membuat orang tertarik. Nanti ketika mereka tahu ada program yang lain, mereka bisa ikut,” kata Erwin. Selain program utama, Malamuseum juga mengadakan  pemutaran film, dikusi film, diskusi kebudayaan, dan workshop.

Pendanaan komunitas umumnya berasal dari donasi anggota untuk kegiatan-kegiatan yang tidak disponsori. Misalnya, dalam Heritage Class, biaya donasi yang dikelola anggota digunakan untuk keperluan akomodasi peserta, seperti materi, makanan, dan tiket museum.

Program Kelas Heritage mengajak peserta untuk mengenal budaya Bali dan menjaga artefak Bali di Museum Sonobudoyo

Program Malamuseum selalu rutin diadakan setiap bulan, namun tidak harus program yang sama. Misalnya Kelas Heritage pada 18 Maret dengan tema budaya Bali dalam rangka Nyepi dan diselenggarakan di Museum Sonobudoyo. Lalu Kids in The Museum pada 25 Maret mengangkat tema hewan-hewan imajinatif di Museum Sonobudoyo. Sebagian besar kegiatan Malamuseum dilaksanakan di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya.

“Kami sudah bekerjasama dengan lembaga pemerintah, baik museum maupun cagar budaya. Beberapa di antaranya Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY, Balai Pelestarian Cagar Budaya Jateng, Balai Konservasi Borobudur, dan Balai Arkeologi Yogyakarta untuk cagar budaya. Selain itu, kami juga berkoordinasi dengan instansi Pemda DIY seperti Dinas Kebudayaan Provinsi, Dinas Kebudayaan Kabupaten/Kota Sleman dan Kota Jogja, serta Dinas Pariwisata DIY,” kata Erwin.

Hernawan, salah satu relawan, mengatakan bahwa pengalaman di Malamuseum memberikan banyak ilmu dan juga teman baru. “Pengalaman paling menarik dan berkesan yaitu ketika jelajah Mataram Islam dari Kotagede, Kerto, Pleret, Surakarta, Mangkunegaran, Imogiri, Keraton Jogja, hingga Pakualaman,” katanya.

Sementara itu, Nizmi, peserta kegiatan Malamuseum, mengaku suka dengan konsep kegiatan Malamuseum yang tidak membosankan dan kepedulian terhadap sejarah.

“Konsep kegiatan menarik, penyampaian informasi sejarah yang biasanya identik dengan kata kuno dikemas dengan metode bercerita yang tidak membosankan. Selain itu, komunitas ini juga menunjukkan bahwa masih ada anak muda yang peduli untuk melestarikan sejarah,” kata Nizmi.

Sekretariat komunitas Malamuseum kini berada di Museum Sandi, Kotabaru. Segala bentuk kegiatan dan informasi dapat diakses melalui media sosial Instagram, Twitter, Facebook, dan Line Malamuseum.

(Editor : Zhafira M.I.P)