Pasar Sehat Berdaulat

Ninik, salah seorang penjual, hanya berjualan di Pasar Milas lantaran tinggal di daerah selatan Jogja. Ia berjualan nasi, mi, pasta, serta beberapa jajanan, semuanya menggunakan bahan lokal dan organik.
Ninik, salah seorang penjual, hanya berjualan di Pasar Milas lantaran tinggal di daerah Yogya selatan. Ia berjualan nasi, mi, pasta, serta beberapa jajanan, semuanya menggunakan bahan lokal dan organik.

Oleh Alya Nurbaiti

Ada mimpi besar di balik giatnya aktivitas di Pasar Milas dan Pasar Sehat Demangan, dua pasar yang menjual produk lokal organik di Yogyakarta. Keduanya menjadi bagian dari jejaring pangan lokal, sebuah sistem yang mendukung terwujudnya kedaulatan pangan. Dalam upaya para pegiatnya mewujudkan mimpi itu, terciptalah praktik-praktik yang sarat nilai, lebih dari sekadar transaksi produk.

Awalnya, pada 2010 sejumlah produsen organik berjualan di Milas, restoran vegetarian di daerah Prawirotaman. Empat tahun kemudian, muncul Pasar Sehat Letusee di halaman Hotel Amelia, Jalan Mrican Baru. Pasar ini lalu pindah lokasi ke RM Demangan di Jalan Demangan baru, berganti nama menjadi Pasar Sehat Demangan. Pasar Milas dan Pasar Sehat Demangan tergabung dalam komunitas Pasar Sehat Jogja (sebelumnya bernama Pojog/Pasar Organik Jogja), yang terdiri dari sekitar 25 penjual.

“Kami ingin menyehatkan semua elemen masyarakat. Oleh karena itu, kami mengadakan pasar sehat yang bisa dinikmati semua kalangan,” ujar Prima Hesta (34), Ketua Komunitas Pasar Sehat Jogja. Hesta juga mengatakan bahwa pasar sehat adalah wadah untuk mempertemukan produsen lokal langsung dengan konsumen. Di sinilah pasar sehat berperan sebagai “simpul” pada jejaring pangan lokal. Dengan cara ini, tidak ada perantara atau rantai distribusi yang panjang, sehingga harga barang tidak melonjak bagi konsumen. Menurut Dhana (30), salah seorang penjual dari Jogja Organic, harga produk organik yang dijual di pasar sehat lebih murah 30 hingga 50 persen dari harga produk organik di pasaran.

Meskipun demikian, sebagian masyarakat masih belum tergerak untuk menggunakan produk organik karena menilai produk organik relatif mahal dibandingkan dengan produk non-organik. Hermitianta Prasetya/Mimit (30), pegiat pangan lokal dari JIPANG (Jejaring Pangan Lokal) berpendapat bahwa mindset demikian merupakan hasil budaya industri yang menilai barang hanya dari nominalnya, murah atau mahal. Padahal, parameter yang digunakan adalah kesejahteraan, bukan profit.

Masyarakat terbiasa berbelanja di supermarket, tanpa ada tawar menawar, sementara harga ditentukan oleh “pasar”, lalu keuntungan diperoleh pihak ketiga, bukan produsen atau konsumen. “Kapitalis mengambil keuntungan dari ketidaktahuan banyak orang. Sayangnya, orang-orang memilih tidak tahu. Karena ingin mudahnya, kita tidak peduli transaksi itu merugikan siapa atau menguntungkan siapa,” ujar Mimit.

Pasar Milas sendiri diadakan setiap hari Rabu dan Sabtu pukul 10.00-13.00 WIB, sedangkan Pasar Sehat Demangan pada hari Jumat pukul 16.00-19.00 WIB. Beberapa penjual ada yang hanya berjualan di Milas atau Demangan saja untuk alasan kesanggupan waktu dan keterjangkauan tempat.

Produk yang dijual di antaranya adalah sayuran, roti vegan, keju, kefir, yoghurt, kombucha, jajanan pasar, jajanan fusion, beras, tempe, aneka sembako organik, hingga bibit. “Kami juga menjalankan quality control untuk menjamin bahwa produk yang dijual di pasar kami memang organik dan lokal. Jika ada yang hendak bergabung dengan komunitas, harus benar-benar dicek,” ujar Hesta. Hal ini dilakukan karena komunitas telah berkomitmen untuk menyajikan pangan sehat dengan cara yang sehat pula.

Jajanan fusion berbahan baku tepung-tepungan lokal dagangan Hesta, Ketua Komunitas Pasar Sehat Demangan.
Jajanan fusion berbahan baku tepung-tepungan lokal dagangan Hesta, Ketua Komunitas Pasar Sehat Demangan.

Dari segi pengunjung, kedua pasar sama-sama memiliki pengunjung yang beragam. Menurut Hesta, mulanya pengunjung hanyalah ibu-ibu yang ingin membeli sayur, tetapi sekarang semakin banyak pembeli dari kalangan mahasiswa, serta karyawan yang pulang kantor. Tujuan masing-masing pengunjung pun beragam. Kiki, misalnya, baru pertama kali berkunjung ke Pasar Sehat Demangan. Akan tetapi, tujuannya hanya satu, yaitu mencoba roti dari Kebun Roti. Ia merasa penasaran setelah melihat unggahan foto beberapa temannya di Instagram tentang roti vegan yang gluten-free dari Kebun Roti.

Sourdough loaf, salah satu varian roti yang dijual oleh Kebun Roti. Roti ini menggunakan ragi alami yang dibuat sendiri, serta bebas susu dan telur, sehingga dapat dikonsumsi oleh konsumen yang intoleran laktosa.
Sourdough loaf, salah satu varian roti yang dijual oleh Kebun Roti. Roti ini menggunakan ragi alami yang dibuat sendiri, serta bebas susu dan telur, sehingga dapat dikonsumsi oleh konsumen yang intoleran laktosa.
Vendor di Pasar Sehat Demangan dengan pembeli paling membludak adalah Kebun Roti. Oleh karena itu, tahun ini Kebun Roti memberlakukan sistem nomor antrean. Beberapa pengunjung terlihat duduk menunggu nomor gilirannya tiba pada Jumat (1/4).
Vendor di Pasar Sehat Demangan dengan pembeli paling membludak adalah Kebun Roti. Oleh karena itu, tahun ini Kebun Roti memberlakukan sistem nomor antrean. Beberapa pengunjung terlihat duduk menunggu nomor gilirannya tiba pada Jumat (1/4).
Asti sudah cukup lama berbelanja di Pasar Sehat Demangan. Ia juga sudah hafal bahwa penjual tidak menyediakan kantong plastik, sehingga ia membawa wadah sendiri untuk roti yang hendak dibawanya pulang.
Asti sudah cukup lama berbelanja di Pasar Sehat Demangan. Ia juga sudah hafal bahwa penjual tidak menyediakan kantong plastik, sehingga ia membawa wadah sendiri untuk roti yang hendak dibawanya pulang.

Meski tak dapat dipungkiri banyak pengunjung baru yang tertarik melalui media sosial, Tsalas (37) mengaku tidak secara spesifik menggunakan media sosial sebagai alat promosi. “The best marketing ever itu getok tular. Cerita dari mulut ke mulut. Kebanyakan iklan visual berbohong, tetapi kalau getok tular, ya ngapain bohong orang tidak dibayar. Itupun lebih sustain, bertahan dan berkelanjutan,” ujar produsen Bumi Langit tersebut. Menurutnya, informasi-informasi yang disebarkan melalui media sosial dimaksudkan untuk sekadar memudahkan konsumen. Selain itu, khusus fanpage digunakan sebagai ajang silaturahim dengan konsumen.

“Percaya saja, kalau kita berbuat kebaikan dan istiqomah, nanti kebaikan lain yang mencari kita. Dulu kami diawali dua sampai empat orang, ke sana-sini, pindah-pindah, kehujanan, sepi, pulang bawa dagangan utuh, ya itu bagian dari berproses. Kalau sekarang jualan kami habis ya itu hukumnya berbuat baik, bukan karena iklan,” lanjut Tsalas.

Pasar sehat ingin mengembalikan kesejahteraan pada produsen dan konsumen melalui fair trade atau perdagangan yang adil. Keadilan tercipta ketika penjual dan pembeli “tahu sama tahu” kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pembeli bisa tahu dari mana asal produk yang ia konsumsi atau bagaimana proses pembuatannya. Selama ini, banyak bahan-bahan yang tidak diketahui pembeli dalam kemasan-kemasan produk industri. Ketika pembeli tidak mengetahui apa yang ia konsumsi, ia sebenarnya gambling tentang kesehatannya.

Di sisi lain, penjual juga bisa menjelaskan bahwa harga yang ditawarkan sebanding dengan kerja kerasnya menghasilkan produk. Ketika keduanya berdialog, keduanya akan mendapatkan pemahaman tentang sudut pandang satu sama lain. Selanjutnya, yang terjadi adalah proses tawar menawar hingga tercapai ijab qabul. “Tawar menawar pun tidak melulu soal harga. Kalau di supermarket, produk organik biasanya sudah dikemas dalam jumlah tertentu. Di sini, butuh tomat satu, mau beli satu saja? Boleh,” jelas Dhana.

“Dengan berdialog juga kami jadi akrab dengan pembeli. Selain itu, penjelasan dari kami bisa menjadi wahana edukasi,” ujar Cicil (43), penjual tempe Tjah Dampit. Cicil sendiri menggunakan kedelai dan kacang lokal untuk produk tempenya.

Interaksi pejual-pembeli di pasar sehat tidak hanya sebatas “apa” dan “berapa harga” sebuah produk. Nita dari Mazaraat Artisan Cheese sedang menjelaskan manfaat Kefir, perbedaan Kefir dengan Yoghurt, proses pembuatan Kefir, serta karakteristik bibit Kefir.
Interaksi pejual-pembeli di pasar sehat tidak hanya sebatas “apa” dan “berapa harga” sebuah produk. Nita dari Mazaraat Artisan Cheese sedang menjelaskan manfaat Kefir, perbedaan Kefir dengan Yoghurt, proses pembuatan Kefir, serta karakteristik bibit Kefir.

Asri, salah seorang pengunjung Pasar Sehat Demangan setuju bahwa hubungan antara penjual dan pembeli di pasar sehat terbilang dekat. Bahkan, tidak hanya antara penjual dengan pembeli, tetapi kedekatan juga bisa terjalin antarsesama pembeli. “Terutama pelanggan yang sudah lama. Saya melihat sejak pertengahan 2015 semakin banyak pengunjung baru. Sebelumnya yang beli ya orangnya itu lagi itu lagi, kami sampai hafal sesama pembeli,” ujarnya saat ditemui di RM Demangan pada Jumat (1/4).

Dengan nilai lebih yang dapat dirasakan langsung oleh konsumen, Mimit memandang pasar sehat mampu menjadi salah satu kiat untuk meningkatkan kesadaran warga, khususnya anak muda, bahwa ada alternatif sistem pangan yang lebih adil. Dari segi produksi pangan, Dhana pun sepakat untuk lebih banyak melibatkan anak muda. “Memang mimpi kami adalah semua orang bisa bertani organik, otomatis harga akan turun. Tetapi mengajak petani senior untuk bertani organik itu berat. Mereka sudah terbiasa dibuat ‘malas’, sedangkan bertani organik butuh ketelatenan,” ujar Dhana.

Biasanya, petani sekali menanam, sekali panen dalam jumlah besar dan langsung dijual. Itulah mengapa dalam tiga, empat bulan pertama sebelum panen, banyak petani yang bekerja sambilan. Sementara itu, bertani organik memungkinkan pendapatan harian, tetapi kebun harus dicek setiap hari, tidak bisa melawan hama dengan satu kali semprotan pestisida.

Selain terbiasa “malas”, petani-petani tersebut juga lebih memilih menjual hasil panen kepada tengkulak, karena melibatkan uang yang besar. “Sementara kalau organik kan sedikit-sedikit, tidak bisa langsung. Walaupun sebetulnya yang ditawarkan adalah beli sedikit tetapi dengan harga satuan lebih tinggi. Petani tetap memilih dibayar dengan uang banyak meski harga satuannya lebih rendah. Mereka juga memikirkan ongkos angkut,” jelas Mimit.

Setidaknya, dengan mengikuti sistem jejaring pangan lokal, salah satunya melalui pasar sehat, mulai ada hubungan langsung antara produsen dan konsumen. Selain itu, membeli pangan dari jarak terdekat berarti juga mengurangi carbon footprint yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor berbahan bakar fosil. Dengan demikian, konsumen turut berkontribusi mengurangi dampak pemanasan global. Ini juga yang menjadi alasan diadakannya pasar sehat di dua tempat. “Penjual dan produk yang dijual di kedua pasar lebih kurang sama. Diferensiasinya ada pada tempat itu sendiri. Pasar Sehat Demangan diperuntukkan warga Jogja Utara, sedangkan Pasar Milas untuk yang berdomisili di wilayah selatan,” ujar Hesta.

Suasana di Pasar Milas, Sabtu (2/4). Pada hari Sabtu, pengunjung pasar kerap kali adalah keluarga yang berakhir pekan.
Suasana di Pasar Milas, Sabtu (2/4). Berbeda dari Rabu, sebagian besar pengunjung pasar pada Sabtu adalah keluarga-keluarga.

Bagi komunitas Pasar Sehat Jogja, pasar dibangun dengan semangat gotong royong dan kesederhanaan, tidak ada target nominal uang yang harus dicapai ataupun persaingan antarpenjual. Apabila ada penjual yang dagangannya belum laku, penjual lain akan beramai-ramai membantu terjualnya dagangan itu. Pasar Sehat Demangan yang sebelumnya bernama Pasar Sehat Letusee rupanya juga lahir dengan dukungan dari Pasar Milas. Steffi (34) dari Letusee (warung makan organik) bersama beberapa penjual Pasar Milas memulainya pada momen Ramadhan. “Kami benar-benar memulainya dari bawah. Dulu, satu hari jajanan cuma laku satu pun pernah, sisanya lantas dimakan bareng-bareng sama teman-teman (penjual),” kenang Steffi sambil tertawa.