Sekolah Semangat Tuli: Ketika Tangan Berbicara Lebih Banyak

Para peserta dan pengajar Sekolah Semangat Tuli dalam acara pembukaan kelas bahasa isyarat dari Deaf Art Community (17/9).

oleh: Alifah Mutia S

Orang tuli dapat melakukan semua hal, kecuali mendengar. Gerakan tangan menjadi media komunikasi mereka dengan orang lain. Dengan mempelajari bahasa isyarat, orang dengar telah ikut menciptakan lingkungan inklusif bagi mereka.

Sekolah Semangat Tuli adalah kelas bahasa isyarat bagi orang-orang dengar yang ingin belajar berkomunikasi dengan orang tuli. Sebagai program rutin Deaf Art Community, kelas tahun ini dibuka pada 17 September 2017 di Pondok Pemuda Ambarbinangun, Kasihan, Bantul.

Deaf Art Community (DAC) adalah satu-satunya komunitas warga tunarungu di Yogyakarta yang berdiri pada 28 Desember 2004. Komunitas ini dikelola oleh pengurus yang semuanya adalah tunarungu. Mereka sudah menyelenggarakan kelas bahasa isyarat seperti itu sejak 1 April 2011.

Untuk kelas tahun ini, sebanyak 86 dari 140 peserta yang mendaftar dari berbagai latar belakang hadir dalam acara pembukaan siang itu, salah satunya Stefanus Ming, pengurus komunitas tuli di Semarang yang khusus datang ke Bantul untuk mengikuti kursus ini.

“Bahasa Isyarat saya sudah paham. Tetapi saya perlu banyak belajar tentang ekspresi wajah ketika berbicara, karena itu salah satu poin penting,” kata Stefanus (17/9).

Kelas tahun ini akan terdiri dari 10 kali pertemuan dan dimulai pada 25 September 2017 dengan durasi belajar selama 90 menit di setiap pertemuan. Seluruh staf pengajar merupakan warga tunarungu dengan rentang usia 20-30 tahun, mereka adalah Lia, Roby, Riski, Zakka, Diki, Dafi, Chandra, Anggi, Dwi, dan Indra.

Bekerja sama dengan Rumah Kreatif Jogja (RKJ), Gerakan untuk Kesejahteraan Tuli Indonesia (Gerkatin), dan Pusat Layanan Juru Bahasa Isyarat (PLJ), Deaf Art Community kali ini menyelenggarakan kelas bahasa isyarat yang lebih besar untuk menjawab antusiasme masyarakat umum yang semakin meningkat untuk mengenal dan belajar tentang budaya tuli. “Sekarang ada banyak warga yang mau belajar bahasa isyarat, jadi ya kita adakan kelas seperti ini”, ujar Arief Wicaksono, salah satu pengurus DAC (19/9).

Penjelasan mengenai budaya tuli oleh Anggi, salah satu pengajar Sekolah Semangat Tuli (17/9). Pemahaman tentang budaya tuli penting bagi peserta kelas bahasa isyarat agar nantinya tidak terjadi kesalahpahaman ketika berkomunikasi dengan tunarugu.

Selain membuka kelas Sekolah Semangat Tuli, Deaf Art Community ini terus mengajak orang-orang tuli untuk terus berkembang di tengah keterbatasan yang ada melalui berbagai kegiatan di bidang seni, sehingga dapat menjadi inspirasi bagi orang lain. Hingga saat ini, DAC masih aktif menggelar pertunjukan ataupun diundang dalam berbagai kegiatan untuk mementaskan berbagai kesenian seperti teater, musik, menari, puisi isyarat, melukis, hingga kerajinan tangan.

Berbagai informasi terkait kegiatan yang telah maupun akan segera dilaksanakan diunggah melalui akun instagram resmi Deaf Art Community bernama @dacjogja

Menempati sebuah rumah di Jalan Langenarjan Lor 16A, Panembahan, Keraton, Yogyakarta sebagai sekretariat, Deaf Art Community sangat terbuka bagi siapapun yang ingin bergabung, baik sekedar ingin tahu maupun terjun menjadi sukarelawan.

“Siapapun boleh jadi sukarelawan, tidak ada syarat atau prosedur khusus. Ya tinggal gabung aja di kegiatan kami. Siswa kelas bahasa isyarat itu sudah bisa disebut sebagai sukarelawan juga,” jelas Sari, salah satu sukarelawan yang telah bergabung dengan DAC selama satu tahun (17/9).

Selain instagram, masyarakat juga dapat mengikuti kabar terbaru seputar kegiatan Deaf Art Community (DAC) melalui akun facebook resmi di @DeafArtCommunity.