Pembangunan Hotel yang Melupakan Budaya

Grand Quality adalah salah satu hotel yang mengadopsi arsitektur Jawa.
Grand Quality adalah salah satu hotel yang mengadopsi arsitektur Jawa.

oleh Lamia Putri

Menurut kebijakan pemerintah Yogyakarta, semua kegiatan dan produk pariwisata harus dilaksanakan dengan basis budaya. Hotel sebagai produk pariwisata pun diharapkan bisa menampilkan budaya itu. Namun, pembangunan hotel-hotel melupakannya, dan pariwisata Yogya pun semakin jauh dari budayanya.

Melewati kawasan Kotabaru, pengguna jalan akan mendapat suguhan pemandangan bangunan bercorak arsitektur Belanda. Di zaman kolonial, kawasan ini memang dirancang sebagai perumahan warga Belanda. Setelah melewati Kotabaru menuju Malioboro, di kawasan Ketandan, pemandangan dengan bangunan-bangunan berarsitektur Cina akan terlihat. Selain dua kawasan itu, arsitektur Jawa menjadi ciri bangunan di daerah Keraton dan Kotagede.

Sebagai bagian dari rancang tata kota, tiga gaya bangunan itu kemudian dijadikan dasar pembagian zona pembangunan hotel. “Ketiga corak arsitektur tersebut adalah corak bangunan yang diakui di Yogyakarta, dan menjadi zonasi kawasan pembangunan hotel,” kata Sigit Setiadi, Bagian P3 Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta.

Hal tersebut diatur dalam Peraturan Daerah Yogyakarta tentang Kepariwistaan No. 1/2012, dan khususnya diberlakukan bagi hotel.

Menurut Destha Titi Rahaja, Peneliti Pusat Studi Pariwisata (Puspar) UGM, hotel adalah bagian penting dari industri wisata. “Hotel adalah karya cipta dari perilaku kebudayan di Yogyakarta,” kata Destha. Namun, sejauh ini, hotel-hotel belum mewujudkan semangat tersebut.

“Hotel Tentrem itu namanya memang Jawa sekali. Tapi arsitektur bangunannya sangat Eropa,” kata Destha menanggapi corak bangunan Hotel Tentrem.
“Hotel Tentrem itu namanya memang Jawa sekali. Tapi arsitektur bangunannya sangat Eropa,” kata Destha menanggapi corak bangunan Hotel Tentrem.

 

Inna Garuda, salah satu hotel tertua di Yogyakarta, memiliki corak Belanda yang kentara.
Inna Garuda, salah satu hotel tertua di Yogyakarta, memiliki corak Belanda yang kentara.
Gaya Jawa pada Grand Quality Hotel dimunculkan dengan keberadaan gamelan di lobinya.
Gaya Jawa pada Grand Quality Hotel dimunculkan dengan keberadaan gamelan di lobinya.

Persoalan lain adalah belum adanya regulasi yang mengatur arsitektur secara lebih mendetail, kata Destha. Pembagian zona itu hanya mengatur kontur kewilayahan yang terkait dengan corak arsitektur setempat.

Menanggapi pembangunan hotel tanpa regulasi arsitektur yang jelas, Yoyok Wahyu Subroto, Pengelola Program Magister Arsitektur Pariwisata, berpendapat,  beberapa wilayah memiliki nilai-nilai historis yang harus dilindungi. Contohnya adalah Kota Baru, Kota Gede, Kecamatan Pakualaman, dan beberapa titik yang lain. Cara pelestariannya adalah dengan tidak membuka peluang berdirinya bangunan-bangunan yang tidak selaras dengan gaya yang ada di sana. Misalnya, tidak boleh ada gedung yang lebih tinggi daripada Keraton di sekitarnya. “Boleh ada investasi, boleh ada pembangunan tapi mencerminkan nuansa yang sama,” kata Yoyok.

Made Pande Kutanegara, Dosen Antropologi UGM, mengatakan, Yogyakarta harusnya memiliki desain khusus karena merupakan kota wisata. Dampak yang terjadi saat ini adalah banyaknya lahan yang dikuasai investor. Sehingga pariwisata yang berkembang di Yogyakarta adalah MICE (Meeting Intensive Conference Event) di pusat kota saja. Padahal, perkembangan pariwisata di Yogyakarta dapat dilebarkan ke arah selatan seperti Kulon Progo dan Gunung Kidul.

Maraknya hotel dengan konsep MICE menegaskan bahwa hotel-hotel di Yogyakarta tidak serius mengakomodasi keberadaan budaya lokal. Menurut Destha, sekarang hanya aspek eknomi yang dipertimbangkan. Padahal pembangunan pariwista, khususnya hotel, membutuhkan tiga pilar yakni lingkungan, komunitas sosial, dan kemudian aspek ekonomi. Dalam praktiknya, pembangunan hotel sejauh ini tidak melebur dalam basis budaya yang telah menjadi rencana kerja Yogyakarta. Pembangunan hotel terlalu mengejar devisa tanpa melibatkan dua pilar sebelumnya.

Menurut Yoyok, pembangunan harus melibatkan masyarakatnya. Misalnya, kata Yoyok, manajer hotel harus bergabung dengan kegiatan Rukun Tetangga. Bisnis industri hotel di bidang pangan juga dapat bekerjasama dengan ibu-ibu warga setempat. Pemerintah perlu membuat aturan yang tegas tentang ini, sehingga pembangunan hotel juga berarti pembangunan masyarakat sekitar.

Made melihat bahwa kegiatan dan perilaku masyarakat Yogyakarta bisa menjadi daya tarik besar bagi turis. Menurutnya, bentuk pariwisata yang berkelanjutan adalah menjadikan perilaku asli sebagai daya tarik pariwisata. “Saya berharap pemerintah jangan hanya mencari keuntungan ekonomi saja. Namun juga menghidupkan kegiatan sehari-sehari sebagai budaya lokal sebagai tontonan. Bagi turis, hal tersebut menarik,” katanya.

—-

Artikel ini juga diunggah di Tersapa.com.