Warga Sukunan: Ubah Sampah Jadi Rupiah

Oleh: Namira Putri

Sukunan telah diresmikan menjadi Desa Wisata Lingkungan sejak 19 Januari 2009. Penduduknya memanfaatkan segala macam sampah rumah tangga dalam kehidupan mereka, termasuk membuat papan penunjuk arah dari tutup botol minuman.

Sleman (10/3)- Sukunan merupakan sebuah desa di Gamping, Sleman, Yogyakarta yang tersohor akan inovasi pengelolaan sampah mandiri. Berbekal kreativitas, warga Sukunan mengubah sampah menjadi produk bernilai guna. Tak hanya meraup pundi-pundi rupiah, mereka juga turut berperan dalam pelestarian lingkungan.          

Kesuksesan Sukunan menjadi panutan desa wisata berbasis pengelolaan sampah tidak didapat secara instan. Awalnya, Sukunan merupakan desa yang kumuh dan terisolir. “Warga sering membakar sampah dan membuang sampah di sungai,” tutur Haryadi, Seksi Kebersihan dan Lingkungan Hidup di Desa Sukunan (10/3).

Hanya sedikit warga yang mau berpartisipasi dalam kegiatan pengelolaan sampah. “Pada 2002, hanya 35 hingga 40 persen dari 296 KK yang tertarik mengikuti aktivitas tersebut,” ungkap Haryadi.

Selain itu, pria tersebut juga menambahkan bahwa terdapat kesulitan dalam menciptakan pola pikir warga yang konsisten. Meski begitu, minat warga Sukunan dalam mengelola sampah terus meningkat. Bahkan tim inti pengelola sampah telah berkembang dari 8 orang menjadi 30 orang.

Perubahan di Desa Sukunan mulai terlihat sejak 1997. Kesadaran sekelompok kecil warga mulai muncul. Mereka akan berkeliling kampung untuk mengambil sampah yang berserakan, hingga berkunjung ke TPS (Tempat Pembuangan Sampah) Piyungan. Perlahan mereka memahami, belajar, hingga akhirnya berhasil mendirikan Bank Sampah pada 2016.

Pembuatan produk olahan sampah dilatarbelakangi oleh kebosanan warga atas sistem pengelolaan sampah yang monoton. “Awalnya, sampah dikelola melalui sistem pengumpulan, pemilahan, dan penjualan kepada pengepul-pengepul sampah,” ungkap Haryadi. Setelah melalui tahap pemilahan, sampah-sampah tersebut akan diproses lebih lanjut oleh unit-unit usaha kerajinan di Desa Sukunan.

Unit Usaha Kerajinan Plastik akan membeli sampah dari warga Sukunan kemudian mengubahnya menjadi tas, dompet, dan berbagai hiasan meja. Harga yang dipatok untuk setiap produk berkisar puluhan ribu rupiah. “Harga tergantung dari tingkat kesulitan dan jenis bungkus yang digunakan,” terang Meta, salah satu anggota Unit Usaha Kerajinan Plastik.

Menurut Meta, omset per bulan yang dihasilkan dari Unit Usaha Kerajinan rata-rata lima juta rupiah. Ketika banyak pesanan, omset bisa mencapai lima belas juta rupiah.

Lain halnya dengan Unit Kerajinan Kain Perca yang mengumpulkan sisa-sisa kain dari penjahit di sekitar Sukunan. Kain-kain tersebut nantinya dijahit menjadi beragam produk seperti tas tangan, tas ransel, dompet, topi, sandal jepit, hingga kotak bingkisan.

“Sepanjang Maret ini memang tidak terlalu banyak pembeli. Tapi waktu musim liburan, yang datang bisa dua sampai tiga rombongan,” tutur Mudji, seorang anggota Unit Kerajinan Kain Perca. Menurut Mudji, tamu yang menyambangi unit mereka tidak hanya berasal dari Jawa dan luar Jawa. “Hampir setiap bulan ada kunjungan dari Malaysia,” ucapnya.

Selain plastik dan kain perca, styrofoam hingga sampah biologis juga dimanfaatkan oleh warga. Styrofoam diubah menjadi batako untuk membangun rumah. “Ada tujuh unit rumah di Sukunan yang dibangun menggunakan batako dari styrofoam,” ujar Haryadi. Lain halnya dengan urin manusia yang diolah menjadi pupuk cair. Pupuk tersebut digunakan untuk mendukung pertumbuhan tanaman hidroponik.

Unit Usaha Bengkel Sampah Desa Sukunan berhasil memproduksi Priolisa, sebuah teknologi yang dapat menghasilkan briket bio-arang dan cairan pengawet kayu. Briket bio-arang terbuat dari sampah organik seperti ranting kayu dan dedaunan, sedangkan cairan pengawet kayu berasal dari uap cair hasil pembakaran sampah organik.

Briket bio-arang Sukunan selanjutnya dipasok ke pengepul di Tenggarong untuk kemudian dijual ke luar negeri sebagai bahan bakar perapian.

Dalam kehidupan sehari-hari, warga menerapkan prinsip pelestarian lingkungan melalui beragam teknologi ramah lingkungan. Warga Sukunan membuat alat bernama “Kulkas Tanpa Listrik”. Alat tersebut dibuat dari sebuah gentong besar dan kecil yang dijadikan satu dan diisi pasir di sela-selanya. Setiap sore, pasir di sela-sela gentong disirami air. Secara otomatis, sayuran yang tersimpan dalam gentong akan bertahan selama dua hingga tiga hari.

Untuk memenuhi kebutuhan air, warga Sukunan tidak menggunakan air PDAM. Mereka lebih memilih memanfaatkan air tanah. Warga Sukunan mendapatkannya dari Embung Serut, yang dibangun setelah sumur-sumur milik warga sempat kering. “Sekarang air sudah lancar, lebih jernih, dan permukaan air lebih dangkal,” kata Haryadi.

Warga juga menciptakan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL Komunal). “Tujuan sistem ini supaya ketika limbah dibuang tidak akan mencemari badan sungai,” tutur Haryadi yang juga menjabat sebagai Koordinator Pengelolaan Air Limbah di Desa Sukunan.

Desa ini tidak sekedar menjual produk-produk hasil olahan sampah, namun turut berpartisipasi dalam edukasi lingkungan. Edukasi lingkungan disediakan dalam paket-paket wisata seperti observasi lapangan, materi umum, demonstrasi kerajinan, serta pembukuan Bank Sampah. “Kalau sekedar kunjungan dikenakan biaya sebesar Rp300.000,00 untuk 20 peserta,” kata Haryadi.

Donny, seorang pengunjung dari Yogyakarta, mendukung aktivitas warga Sukunan dalam pemanfaatan sampah. “Ini bisa meningkatkan pendapatan warga. Selain itu, desa juga jadi bersih dari sampah,” kata Donny (10/3).

Selain menghasilkan berbagai prestasi, Sukunan termasuk desa produktif karena telah berhasil memberdayakan warganya. Warga Sukunan tadinya tidak punya keahlian apa-apa. Kini warga sudah bisa menjadi pemandu wisata dan mendirikan warung makan sebagai penunjang wisata.

Menurut Haryadi, dalam menciptakan kesadaran tentang sampah, utamanya perlu dimulai dari diri sendiri. “Ciptakanlah keteladanan diri sendiri. Itulah yang paling melekat.  Ciptakanlah keteladanan sebelum mengajari, mengajak, atau mensosialisasikan pada orang lain,” katanya.

(Editor: Almara Jati)