Pameran Lukis Anak DIY-Kyoto 2019: Melihat Keberagaman Sosial-Budaya antar Dua Negara

Pameran Lukis DIY-Kyoto adalah agenda tahunan Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta sejak tahun 2017. (29/10)

Oleh: Kholifatus Sa’adah

Mengangkat tema “Jogjaku Istimewa”, Pameran Lukis DIY-Kyoto 2019 berlangsung pada 24-30 Oktober di Gedung Eks Koni Museum Sonobudoyo. Pameran lukis anak kerja sama antara Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Kyoto Prefecture Jepang ini memamerkan 60 karya lukis dari kedua provinsi yang menggambarkan wajah sosial-budaya masing-masing.

Lukisan anak yang dipamerkan merupakan karya dari pemenang lomba lukis pelajar se-Yogyakarta yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan DIY dan pemenang lomba lukis pelajar yang diselenggarakan oleh Prefecture Kyoto. Tahun ini merupakan tahun ketiga lukisan dipamerkan secara bergantian di kedua negara.

Udin, salah satu panitia pameran yang merupakan mahasiswa pendidikan Bahasa Jawa Universitas Negeri Yogyakarta mengatakan, ada 60 karya lukis yang ditampilkan, 30 dari Yogyakarta dan 30 dari Kyoto. “Yang dipamerkan karya tahun dari 2017. Namun, kerja sama DIY-Kyoto sudah sejak 43 tahun yang lalu. Dulu hanya sebatas lomba lukis saja. Dari Yogyakarta ada lomba lukis tingkat TK hingga SMA. Untuk SMA diambil 6, selain itu 8. Lukisan dari Jepang juga sama, dihasilkan dari lomba se-Kyoto tapi hanya sampai SMP saja,” kata Udin, Selasa (29/10).

Salah satu karya lukis anak dari Yogyakarta dengan judul “Gunungan Kraton” oleh Maria Theresia Jamreway. (29/10)

Lukisan anak antar dua provinsi memiliki ciri khas yang menggambarkan konteks sosial-budaya di mana mereka tinggal. Puput (21), salah satu pengunjung pameran mengatakan, bahwa perbedaan karya anak dari Yogyakarta dan karya anak dari Kyoto terlihat jelas dari gambaran lukisan yang memperlihatkan keindahan kota maupun alam, kesenian, dan adat masing-masing.

Seperti Karya Maria Theresia dengan judul “Gunungan Kraton”, menggambarkan tradisi Grebeg Syawal yang merupakan bentuk rasa syukur Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat berupa gunungan berisi hasil bumi  dan diperebutkan oleh masyarakat. Berbeda dengan Maria, lukisan dengan judul “Memetik Jeruk” karya Sugihashi Yuna menggambarkan anak-anak sedang berebut memetik jeruk, hal itu sesuai dengan Jepang yang terkenal dengan budidaya buah-buahannya.

“Lukisan anak dari Yogyakarta dengan Kyoto terlihat berbeda. Lukisan Yogyakarta sebagian besar menggambarkan tentang keistimewaan Yogya, lukisan dari Kyoto menggambarkan kehidupan sehari-hari. Lukisan mereka juga memiliki ciri khas masing-masing. Lukisan dari Yogyakarta khas dengan warna-warni degradasi, adapun lukisan dari Kyoto lebih sederhana dan ada beberapa yang seninya abstrak,” kata Puput kepada wargajogja.net, Selasa (29/10).

Salah satu karya lukis anak dari Kyoto, Jepang dengan judul “Memetik Jeruk” oleh Sugihashi Yuna. (29/10)

Untuk tempat pameran lukis DIY-Kyoto sendiri tidak tetap. Jika pada 2018 pameran diselenggarakan di Pendhapa Art Space, Bantul, tahun ini (2019) Dinas Kebudayaan DIY bekerja sama dengan Museum Sonobudoyo. “Pengunjungnya banyak, dari pelajar hingga orang tua. Ada juga wisatawan yang datang, baik lokal maupun mancanegara karena tempat pameran dekat dengan Malioboro dan Keraton yang merupakan destinasi wisata Yogyakarta,” kata Arya, pengurus Museum Sonobudoyo, Selasa (29/10)

Setelah dipamerkan selama tujuh hari di Museum Sonobudoyo, 60 karya lukisan akan dipamerkan juga di Kyoto, “Dipamerkan secara bergantian, di sini dulu kemudian akan diterbangkan dan dipamerkan di Kyoto, Jepang pada awal Januari 2020,” kata Arya.

Selain kerja sama antara DIY-Kyoto, pameran lukis ditujukan untuk generasi muda agar lebih tertarik dengan dua kebudayaan. Udin mengatakan, melalui pameran ini diharapkan mereka anak-anak peserta  lomba lukis maupun pengunjung pameran dapat saling memahami adanya perbedaan budaya sehingga ke depannya dapat meningkatkan persahabatan antar dua negara.