Sanggar Anak Alam, Belajar lewat Riset

Salah seorang siswi baru saja tiba di SALAM (22/2), yang jam sekolahnya berlangsung mulai pukul 8.15 pagi

Oleh: Dian Pitaloka

Selama ini, sekolah identik dengan kegiatan belajar-mengajar yang formal di sebuah ruangan kelas yang tertutup dengan kurkikulum yang telah dirumuskan negara. Tidak puas dengan sistem seperti ini, Sri Wahyaningsih mendirikan Sanggar Anak Alam (SALAM) di Banjarnegara pada 1988. Dengan status hukum pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM), SALAM lalu berpindah ke Nitiprayan, seiring kepindahan Sri Wahyaningsih ke Bantul, DIY.

Hampir semua hal yang terjadi di SALAM berbeda dengan sekolah formal pada umumnya. Mulai dari letaknya yang berada di tengah hamparan sawah, pengajar yang disebut sebagai fasilitator, sampai murid-murid yang bersekolah tanpa mengenakan seragam. Namun salah satu hal yang paling menarik dari SALAM adalah kurikulumnya yang mengharuskan siswa belajar lewat riset disertai pendampingan orangtua. Anak bebas untuk melakukan riset tentang apapun yang mereka senangi.

Seperti yang diceritakan oleh Bima, orangtua dari siswa yang sedang duduk di kelas 1 SD. Anaknya baru saja melakukan riset tentang pembuatan jus jeruk. Tidak hanya membaca di kelas tentang bagaimana segelas jus jeruk dibuat, siswa diharuskan untuk mengikuti proses tersebut dari awal hingga akhir. Mulai dari membeli jeruk ke pasar, mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan, sampai kepada mengatur komposisi yang pas antara air jeruk, gula, dan es agar mendapatkan jus jeruk yang enak. Dari pengalaman ini, siswa dengan sendirinya dapat mempelajari banyak hal. Mulai dari matematika, ketika berbelanja jeruk dan juga menakar bahan-bahan, sampai kepada biologi, tentang asal muasal jeruk tersebut.

Lain halnya dengan Wisnu, orangtua dari Izza yang saat ini baru duduk di tingkat taman kanak-kanak, atau yang di SALAM disebut dengan Taman Anak (TA). Ia bahkan rela untuk melepaskan jabatannya selama 12 tahun di suatu perusahaan media ternama untuk kemudian menemani anaknya berproses di sekolah.

Menurutnya, kegiatan SALAM yang melibatkan anak-anak untuk berproses bersama petani di lingkungan mereka belajar, anak-anak dapat lebih menghargai makanan yang disediakan, juga dapat memilih mana makanan yang sehat. Di rumah, anaknya menolak untuk memakan jajanan yang diiklankan di televisi. Bukan karena dilarang, melainkan karena pemahamannya pribadi tentang bahaya yang mungkin ditimbulkan dari makanan yang tidak sehat.

Salah seorang fasilitator bersama murid-murid menikmati waktu istirahat di atas pohon. (24/2)

Yudhistira, Ketua PKBM SALAM mengatakan, meskipun setiap anak memiliki riset yang berbeda, ada pencapaian yang sama dari masing-masing riset pada tiap jenjang. Misalnya, riset anak kelas 1 SD akan berfokus pada pengenalan angka dari 1 sampai 50 dan mampu untuk merangkai kalimat sederhana. Di sinilah peran penting fasilitator untuk mengarahkan anak mengolah data dari hasil riset mereka hingga mendapatkan hasil sesuai dengan indikator pencapaian.

Seluruh kegiatan riset yang dilakukan oleh siswa-siswa di SALAM tidak lepas dari semboyan belajarnya yakni: “Mendengar, saya lupa. Melihat, saya ingat. Melakukan, saya paham. Menemukan sendiri, saya kuasai.” Ada pula slogan yang selalu menjadi pegangan, yaitu “Jaga diri, jaga teman, jaga lingkungan.” Slogan-slogan inilah yang menjadi dasar siswa-siswi di SALAM memiliki kualitas yang tidak kalah, bahkan mampu melebihi siswa-siswi dari sekolah formal konvensional.

Saat ini, SALAM memiliki 170 siswa dari jenjang TK sampai SMP, dengan jumlah setiap kelasnya sekitar 20 sampai 30 siswa. Selama ini, siswa yang menamatkan SMP-nya di SALAM akan mengambil ujian kesetaraan dari pemerintah unuk melanjutkan ke SMA formal. Baru mulai tahun ajaran 2017 SALAM akan mengekspansi jenjang tersebut sampai ke tingkat SMA. Namun berbeda dengan tujuan awal pendiriannya, saat ini justru siswa SALAM didominasi oleh masyarakat luar Nitiprayan. Kebanyakan orangtua yang sadar bahwa sistem pendidikan yang dijalankan oleh SALAM lebih membantu untuk anak, justru berasal dari mereka yang tinggal di perkotaan.

Terkadang ada kendala ketika orangtua tidak kooperatif dalam menjalankan pendidikan di SALAM. Sejak awal, SALAM memiliki komitmen penuh dengan orangtua dan juga siswa untuk bersama-sama terjun ke dalam pelaksanaan proses belajar-mengajar. Namun ada beberapa orangtua yang pada akhirnya mengabaikan dan juga lalai, sehingga dalam prosesnya anak mengalami kesulitan. Hal ini kemudian ditangani oleh fasilitator dengan mengingatkan kembali kepada orangtua akan komitmen awalnya. Namun jika tetap tidak bisa, SALAM mengizinkan kepada siswa dan orangtua untuk mencari sekolah dengan metode belajar lain yang tidak menuntut orangtua untuk terlibat.