Jogja Independent, Kritik untuk Parpol

Deklarasi 15 kandidat calon walikota dari Joint dalam Konvensi Sinau Bareng Demokrasi ala Jogja pada Minggu (3/04) di PKKH UGM.
Deklarasi 15 kandidat calon walikota dari Joint dalam Konvensi Sinau Bareng Demokrasi ala Jogja pada Minggu (3/04) di PKKH UGM.

oleh Nova Ulaila

Menghadapi pemilihan walikota Yogyakarta Februari 2017, sejumlah pihak menggagas gerakan bernama Jogja Independent (Joint), yang bertujuan menjaring calon-calon independen di luar partai politik. Dari 43 formulir pendaftaran yang diambil, 16 di antaranya kembali dan 15 dinyatakan sah sebagai kandidat calon walikota dari Joint.

Calon yang diajukan Joint berasal dari berbagai latar belakang, dari pegawai negeri sipil, peneliti, hingga sutradara film. Greg Wuryanto, juru bicara dan fasilitator Joint, menyatakan gerakan ini bertujuan menawarkan pilihan demokrasi dan pemimpin yang lebih baik kepada masyarakat.

“Berdirinya Joint bukan sebagai pihak anti parpol atau deparpolisasi, tapi sebagai ungkapan kekecewaan terhadap kinerja buruk partai dalam menjalankan fungsi utama yaitu kaderisasi untuk menempati jabatan politik,” kata Greg.

Menurut Greg, selama ini parpol tidak transparan mengenai sistem kaderisasi dan rekrutmen calon pemimpin. Masyarakat hanya diberi tahu hasil dari kaderisasi setelah kader dijadikan calon elite politik.

Sebelumnya, Ketua DPD PAN DIY, Nazarudin mengungkapkan kehadiran Joint sebagai kelompok kepentingan untuk bersaing dengan partai politik sama saja dengan usaha deparpolisasi. ”Jika motivasi kelompok kepentingan tersebut ingin ikut dalam pertandingan untuk bersaing dengan partai politik, sama saja deparpolisasi. Pertaruhannnya sistem demokrasi yang telah dibangun selama ini,” kata Nazarudin.

Sementara itu, pengamat politik Arie Sudjito mengatakan, gerakan ini bukan soal deparpolisasi, tapi kritik terhadap praktik oligarki yang dijalankan parpol, karena selama ini parpol belum memiliki sistem kaderisasi penghasil calon yang tepat, sehingga mereka hanya menunggu siapa yang memenangkan transaksi. “Partai masih menunggu siapa yang mampu membayar tiket dengan harga tinggi,” katanya saat ditemui di kampus Fisipol UGM, Kamis (31/3).

Berbeda dengan Nazarudin, Wakil Ketua DPD Golkar DIY, John S Kebban tidak menganggap hal tersebut sebagai ancaman terhadap parpol, menurutnya, Joint  merupakan bentuk partisipasi aktif masyarakat terhadap perpolitikan di Indonesia sehingga masyarakat memiliki banyak pilihan untuk mencari pemimpin yang dianggap ideal.

“Kemunculan Joint tidak bisa disebut sebagai jalur deparpolisasi, pasalnya UU sudah mengatur. Hal ini merupakan bentuk kritik terhadap mekanisme kerja serta kaderisasi parpol,” kata Kebban saat ditemui pada Sabtu (26/3) di kantor DPD Golkar DIY.

Kebban menyadari hadirnya Joint merupakan reaksi dari kinerja walikota Yogyakarta yang sekarang. Karena itu kehadiran Joint dianggap sebagai kritik yang membangun supaya ke depannya Golkar bisa membenahi mekanisme kerja di dalam partai.

Arie Sudjito lebih lanjut mengungkapkan, keberadaan Joint sebagai pihak di luar parpol telah sesuai dengan konstitusional absah sehingga tidak beralasan jika Joint dianggap sebagai deparpolisasi mengingat kehadiran jalur perorangan atau independen telah diatur dalam putusan MK No 5 Tahun 2007 serta peraturan UU No 8 Tahun 2015.

Deparpolisasi merupakan proses penghancuran partai, sedangkan kebijakan yang mengatur keberadaan calon independen dalam proses pemilu dibuat oleh anggota parlemen yang berasal dari partai. “Apa mungkin anggota partai menghancurkan partainya sendiri?” kata Arie Sudjito. (Nova Ulaila).