Abdi Dalem Kesultanan Yogyakarta: Pengabdian terhadap Budaya Jawa

Para abdi dalem yang melakukan caosan di Kraton Yogyakarta, Yogyakarta (29/10).

Oleh: M Dimas Faruq Hakiki

Setelah Kesultanan Yogyakarta berdiri pada 13 Maret 1755 (29 Jumadil Awal 1680), maka dibutuhkanlah abdi dalem sebagai pelaksana operasional yang menjalankan pemerintahan Kesultanan Yogyakarta.

Hingga kini, lebih dari 250 tahun kemudian, warga Yogyakarta dan sekitarnya yang berminat menjadi abdi dalem masih banyak. Kesultanan Yogyakarta saat ini memiliki tiga ribu abdi dalem, termasuk abdi dalem yang mengurus aset kesultanan Yogyakarta di luar daerah Yogyakarta seperti Petilasan di Surabaya hingga Masjid di Makassar.

Jumlah abdi dalem baru yang masuk setiap tahun juga tidak sedikit, yaitu sekitar 200-300 orang. Latar belakang mereka bermacam-macam, mulai dari lulusan SD, guru besar, hingga pejabat negara, seperti  Hendarman Supaji yang merupakan mantan Ketua Mahkamah Agung.

“Kalau kami bekerja atau melakukan sesuatu terhadap Kesultanan Yogyakarta, maka kami akan mendapatkan penghormatan,” kata Siti Amirul, Pengurus dan Edukator Tepas Kepariwisataan Kesultanan Yogyakarta yang sekaligus cicit dari Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.

Dua syarat utama dari menjadi abdi dalem Kesultanan Yogyakarta adalah berkelakuan baik dan pengabdian. Karena abdi dalem harus bisa menjadi contoh kehidupan di masyarakat dan juga bertata karma. Selain itu, jika berbicara materi, abdi dalem tidak mendapatkan materi atau honor seperti kebanyakan orang ketika bekerja. Di situlah pengabdian abdi dalem diuji.

Hal ini dibenarkan oleh beberapa abdi dalem yang mengatakan bahwa tujuan mereka menjadi abdi dalem memang tidak untuk mencari materi akan tetapi untuk mengabdikan diri pada kesultanan Yogyakarta.

“Pengabdian kami murni tanpa mengharapkan materi, yaitu untuk melanjutkan kebudayaan jawa yang dimulai sejak zaman dulu,” kata Yudho Prajoto, abdi dalem Kesultanan Yogyakarta.

Abdi dalem yang lain pun berpendapat sama yaitu melanjutkan dan mempertahankan kebudayaan.

“Tujuan saya untuk melanjutkan dan juga mempertahankan kebudayaan, itu saja,” kata Ali Moeswani, abdi dalem Kesultanan Yogyakarta yang lain.

Menurut pengunjung dari Kraton Yogyakarta, abdi dalem mempunyai loyalitas yang sangat tinggi meskipun mendapatkan honor yang sedikit.

“Loyalitas mereka sangat bagus. Meskipun saya mendengar kabar jika gaji abdi dalem hanya beberapa puluh ribu, mereka sangat setia. Apa pun yang disuruh kesultanan, mereka pasti lakukan,” kata Witri Diani, wisatawan asal Bandung.

Mas Ngabehi Suraksa Budaya, abdi dalem yang menjadi juru kunci di salah satu petilasan milik Kesultanan Yogyakarta di Wonogiri, Jawa Tengah.

Abdi dalem secara umum dibagi menjadi dua yaitu abdi dalem punokawan yang murni mengabdikan diri untuk Kesultanan Yogyakarta dan berada di lingkungan Kraton Yogyakarta. Yang kedua, abdi dalem keprajan, yaitu abdi dalem yang secara sukarelawan mencurahkan ilmu dan tenaganya untuk membantu kesultanan. Biasanya, abdi dalem jenis ini berasal dari orang-orang yang telah memasuki masa pensiun.

Abdi dalem punokawan dibagi menjadi 4 departemen, yaitu Kawedanan Agung Panitropuro untuk mengurusi kesekretariatan kesultanan dan urusan dalam kesultanan, Kawedanan Ageng Punokawan Wahono Sarto Kriyo untuk mengurus aset-aset kesultanan dan hal-hal yang berhubungan dengan luar, Nitiyo Budoyo yang merupakan bagian kesenian dan kebudayaan termasuk pariwisata, perpustakaan, hingga museum dan yang terakhir yaitu Panitropuro untuk mengurusi keuangan Kesultanan Yogyakarta.

Pakaian dari abdi dalem pun memiliki kekhasan, pakaian ini bernama peranakan yang berarti satu saudara, pakaiannya yang seragam serta tanpa menggunakan alas kaki dan tidak boleh menggunakan perhiasan untuk menghilangkan perbedaan ekonomi dan menyetarakan kedudukan mereka.