Goro Goro Diponegoro: Sajian Macapat dalam Sentuhan Modern

Lantunan tembang macapat dalam pertunjukan “Goro Goro Diponegoro” berlangsung khidmat dan kental nuansa modern melalui pemusik dan instrumen yang dimainkan

Oleh: Dyah Ayu Pitaloka

Berlokasi di Tembi Rumah Budaya, Paksi Raras Alit mempersembahkan panggung seni tembang macapat dengan kemasan trans-kultural. Kekuatan tradisi sastra Jawa divisualkan menjadi tontonan yang kaya nilai artistik dan lambang dinamika budaya digital.

Pertunjukan musik bertajuk “Goro Goro Diponegoro” yang berlangsung pada 14 September merupakan kolaborasi seniman musik, seniman tari, seniman teater, hingga pedalangan di Yogyakarta. Kelompok Seni Mantradisi berkolaborasi dengan Sanggar Seni Kinanti Sekar mengadakan pementasan yang diadaptasi dari babak sejarah Perang Jawa (1825-1830) dengan Pangeran Diponegoro sebagai lakon sentral.

Sejarah perebutan kekuasaan antara Belanda melawan rakyat Jawa dipaparkan melalui puisi Jawa macapat sebagai media utama. Tembang macapat dilantunkan dengan iringan musik digital disertai penyunggingan wayang kulit menggunakan teknologi visual animasi sebagai penanda keluwesan harmonisasi tradisi dan modernitas. Selain itu, pementasan juga diselingi dengan pertunjukan tari oleh Kinanti Sekar Rahina serta dagelan oleh Alit Jabangbayi dan Gundhissos.

“Polemik di macapat adalah isinya yang sulit diterjemahkan. Maka kami menerjemahkan isinya dengan konten-konten macapat yang saya tulis. Lirik yang rumit dengan aturan baku guru gatra, guru lagu dan guru wilangan itu diterjemahkan dalam pertunjukkan seperti ini. Dengan musik, dengan gambar, dengan tarian,” kata Paksi Raras Alit, penulis naskah dan penanggung jawab produksi.

Pertunjukan musik macapat “Goro Goro Diponegoro” terdiri atas tiga babak. Babak pertama menceritakan campur tangan Belanda dalam pemerintah Kasultanan Ngayogyakarta dan memicu kegeraman Pangeran Diponegoro. Pada babak kedua, klimaks dimunculkan dengan adegan Perang Jawa (1825-1830) maha dahsyat antara Pangeran Diponegoro dengan Belanda. Memasuki babak terakhir, perang selesai dengan banyaknya korban yang berjatuhan dan Pangeran Diponegoro ditangkap oleh Jenderal De Kock di Magelang.

Ketiga babak tersebut diiringi (diceritakan) dengan sebelas tembang macapat, di antaranya Maskumambang–Pujasastra, Maskumambang–Bawa, Durma–Walanda, Mijil–Tegalrejo, Pangkur–Gerilya Selarong, Kinanthi–Ratnaningsih, Pocung–Goro-Goro, Gambuh–Perang Jawa, Mijil–Ratu Adil, Megatruh–Jawa Lebur, dan Dhandhanggula–Magelang. Selain macapat, Paksi Raras Alit juga menggabungkan unsur wayang kulit untuk memandu penonton dalam memahami jalan cerita.

Wayang kulit ditampilkan melalui layar proyektor di belakang panggung dan dimainkan oleh seorang dalang. Menurut Andi Wicaksono, dalang pertunjukan “Goro Goro Diponegoro”, wayang kulit yang digunakan adalah wayang dengan pesanan khusus. “Paksi menemui saya kira-kira 20 hari sebelum pementasan untuk pesan wayang khususnya, wayang Diponegoro. Saya buatkan, mulai dari penatahan sampai penyunggingan. Saya sebagai dalang juga diajak tampil sekalian,” katanya.

Wayang kulit tradisional dipadukan dengan animasi visual menambah kesan unik dan artistik pertunjukan dengan dua budaya yang berbeda

Pertunjukan berdurasi sekitar tiga jam ini mampu memukau penonton dengan aransemen apik macapat dengan musik digital. Salah seorang penonton, Faridz Imawan, mengungkapkan kekagumannya pada kolaborasi musik tradisional dengan musik modern yang menurutnya hal baru.

“Musiknya aku suka, kebetulan aku suka musik progresif rock. Ini ada unsurnya itu digabungin sama unsur tradisional dan ada unsur ceritanya. Secara keseluruhan aku suka. Musiknya bagus, sound bagus, tidak ada cacat, dan rapi. Aku juga suka suasananya,” kata Faridz Imawan.