Mengupayakan Kembalinya Wajah “Buku Jogja”

Di Indonesia, Gabo lebih dikenal sebagai sastrawan ketimbang jurnalis, terutama berkat novel Seratus Tahun Kesunyian. Kisah Kisah Penculikan (News of Kidnapping) adalah naskah nonfiksi ketiga yang diterbitkan setelah Caldas oleh LKiS (2002) dan Klandestin di Chile oleh Akubaca (2002). Buku ini dibahas pada salah satu sesi diskusi di Pekan Buku Indie #1, Rabu (1/6)
Di Indonesia, Gabo lebih dikenal sebagai sastrawan ketimbang jurnalis, terutama berkat novel Seratus Tahun Kesunyian. Kisah Kisah Penculikan (News of Kidnapping) adalah naskah nonfiksi ketiga yang diterbitkan setelah Caldas oleh LKiS (2002) dan Klandestin di Chile oleh Akubaca (2002). Buku ini dibahas pada salah satu sesi diskusi di Pekan Buku Indie #1, Rabu (1/6)

Oleh Alya Nurbaiti

Pekan Buku Indie #1 hadir merespons maraknya razia buku dan intimidasi terhadap penggiat buku, termasuk di Yogyakarta. Namun lebih dari itu, ada tujuan besar yang dituju: mengembalikan wajah “buku Jogja” yang idealis.

Masyarakat Literasi Yogyakarta (MLY) memandang peristiwa pemberangusan buku kiri sebagai bukti kurangnya komunikasi antara penggiat buku dan aparat, serta penggiat buku dan masyarakat. Maka, aliansi yang terdiri dari penerbit, pembaca, pemilik toko buku, dan siapapun dengan kepedulian atas literasi itu menggelar sebuah pekan yang mampu mengayakan wawasan masyarakat tentang buku.

“Salah kami juga mungkin yang tadinya tidak begitu intens memperkenalkan buku. Buku tadinya hanya ada di toko buku dan tidak setiap wilayah di kota ini mempunyai toko buku,” ujar Adhe Ma’ruf (35), salah seorang anggota MLY.

Digelar pada 30 Mei-10 Juni 2016, Pekan Buku Indie #1 mengusung konsep yang berbeda dari acara-acara buku sebelumnya. Biasanya acara buku diselingi oleh pertunjukan musik. Namun, kegiatan kali ini berupa gabungan bazar buku dengan wacana akademik, tanpa unsur hiburan, menonjolkan bobot keilmuan. Bukan hanya bobot buku yang ditampilkan, melainkan juga bobot acara pendukungnya.

“Ini adalah pekan yang kami adakan untuk mengkaji betul buku yang kami terbitkan, supaya orang bisa tahu buku yang diterbitkan itu tentang apa,” ucap Adhe.

Total tiga diskusi yang berhasil dilaksanakan yaitu “Jurnalisme Sastrawi dalam Karya Gabriel Garcia Marquez” bersama Jurnalis dan Editor Pindai, Fahri Salam; “Ngrasani Nirwan Dewanto” bersama Kurator Seni Rupa, Wahyudin; dan “Pengaruh Ben Anderson dalam Kajian Keindonesiaan” bersama Revianto Budi Santosa, Dosen Jurusan Arsitektur Universitas Islam Indonesia.

Ketiga buku yang dibahas adalah buku anyar, masing-masing dari penerbit Circa (Kisah-kisah Penculikan), Oak (Satu Setengah Mata-Mata), dan Mata Bangsa (Kuasa Kata—naskah lama yang dicetak ulang).

Pekan Buku Indie #1 sebenarnya hanyalah satu dari sekian kegiatan yang terus dilakukan dalam rangka mengemban spirit “Kerja perbukuan adalah kerja kebudayaan”, spirit yang sempat mewarnai dunia perbukuan Jogja pada kurun 90-an hingga awal 2000. “Wajah asli buku Jogja adalah buku-buku idealis,” tutur Buldanul Khuri (51), pendiri Bentang Budaya.

Berawal dari tahun 1994 ketika Bentang Budaya lahir. Bentang Budaya lahir dari Salahudin Press yang sebelumnya merupakan biro desain. Bentang termasuk pionir penerbit wacana alternatif yang tidak semata-mata menjadikan penerbitannya lahan bisnis. Ia menerbitkan buku-buku bergenre sosial, budaya, dan sastra.

Tahun 1996, LSM-LSM di Yogyakarta menemukan momentum untuk mengembangkan kegiatannya ke penerbitan. Muncullah Insist Book, Lapera, dan IDEA dengan karakteristik buku hasil riset. Selanjutnya adalah era ketika kalangan mahasiswa (aktivis gerakan dan pers mahasiswa) menerbitkan wacana kiri, terjemahan naskah klasik, hingga keislaman kritis. Mereka adalah generasi yang menggawangi LKiS, Media Pressindo, Resist, dan Jendela. “Dulu satu judul diterbitkan tidak karena ingin dapat uang, tetapi karena penerbitnya adalah mahasiswa yang suka sama buku itu,” kenang Adhe yang dulu mengelola Jendela.

Generasi Jendela dan kawan-kawan adalah generasi pasca reformasi. Kala itu gejolak politik cukup kuat. Sebelum reformasi, buku filsafat maupun buku-buku dengan tema kiri dibatasi. Akibatnya, setelah Soeharto turun tampuk, penerbit Jogja kegirangan menerbitkan wacana itu beramai-ramai.

Pada waktu itu, infrastruktur perbukuan di Yogyakarta sudah cukup baik. Di Wirobrajan, kemampuan membuat hardcover secara manual dikuasai oleh hampir seluruh warganya. Di Tamansiswa, sepanjang gang dapat dengan mudah kita temui mesin percetakan. Selain itu, Yogyakarta memiliki banyak penulis dan orang-orang dengan semangat menerjemahkan buku. Alhasil, saat itu karya-karya Bennedict Anderson, Nietzsche, Maxim Gorky, atau Milan Kundera “bertebaran”, meskipun tidak semuanya dengan kualitas terjemahan dan penyuntingan mumpuni.

Namun, idealisme itu selesai pada 2005. Satu per satu penerbit tumbang karena manajerial yang buruk. Hal itu lantaran para penerbit adalah mahasiswa, penggiat seni, atau aktivis LSM yang tidak memiliki latar belakang wirausaha. “Rata-rata dari kami pembaca buku, bukan pembaca pasar. Orang-orang yang ‘nggak makan nggakpapa yang penting beli buku’. Bukan orang yang sejak awal mau berbisnis buku,” kata Adhe. Semangat dan idealisme para penerbit itu tidak dibarengi kemampuan manajerial dan pemasaran yang baik. Apalagi dulu belum ada teknologi print on demand/POD—sehingga penerbit harus mencetak dalam jumlah besar—dan buku-buku itu masih dititipkan di toko buku. Sialnya, urusan perdagangan dimonopoli pengusaha besar.

Tahun 2005 hingga 2013 perbukuan Jogja tidak memiliki identitas. “Delapan tahun kosong buku bagus. Bahwa ada penerbit yang membuat buku-buku semacam itu memang ada, tetapi jumlahnya sedikit, kalah dengan terbitan-terbitan dengan tema lain,” ungkap Buldan. Terbitan lain itu termasuk buku-buku motivasi atau pengembangan diri, fiksi populer, maupun buku resep masakan yang digelontorkan oleh penerbit mayor seperti Gramedia dan segera mendominasi. Hal itu juga terjadi di kota-kota lain. Menurut Adhe, Kelompok Gramedia termasuk yang bertanggung jawab melahirkan buku-buku pragmatis.

Aktivitas buku indie secara kolektif baru dimulai lagi pada 2013. “Jenuh rasanya, toko buku banyak diisi buku-buku yang bukan buku,” ujar Adhe. Menurutnya, sebenarnya penerbit adalah pilot wacana yang bisa membentuk selera konsumen. Apabila ingin masyarakat membaca dan menyukai bacaan bagus, maka penerbit harus banyak menerbitkan buku bagus. Menurut Adhe, ini adalah dosa penerbit jika masyarakat saat ini lebih menyukai buku-buku yang kurang berbobot.

Tak mau menanggung dosa lebih lama, akhirnya, orang-orang lama memproduksi “buku berat” lagi. Terlebih, mulai banyak permintaan “buku berat” di ranah daring setelah pedagang-pedagang buku daring bermunculan. Adhe kembali menerbitkan naskah melalui penerbit barunya, Octopus.

Ada juga penerbit alternatif lama yang kini berkompromi dengan pasar, seperti Media Pressindo, tetapi idealismenya lalu disalurkan ke anak penerbitannya yaitu Narasi. Begitu juga dengan Bentang yang diakuisisi Mizan pada 2004 dan berubah nama menjadi Bentang Pustaka. Pasca Bentang Pustaka, Buldan menghidupkan Pustaka Promethea dan Mata Bangsa, sementara naskah Bentang Budaya tetap dimilikinya. Dua tahun terakhir, Pustaka Promethea tandem dengan Narasi menerbitkan naskah-naskah yang menjadi magnum opus penulisnya, seperti “Politik”-nya Aristoteles atau “Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme”-nya Max Weber. Dari 500 naskah yang dimiliki Buldan, 80 naskah digarap bersama Narasi karena Narasi memiliki jaringan luas dan mampu mencetak lebih banyak. Tahun ini, Narasi-Prometheus menerbitkan cukup banyak buku di antaranya Popular Culture (Dominic Strinati) dan Second Sex (Simone de Beauvoir).

Spirit kembalinya “buku berat” juga disambut oleh generasi muda. Malah, anak-anak baru inilah yang giat menggerakkan aktivitas perbukuan, terutama dengan memanfaatkan media sosial. Penerbit-penerbit indie generasi ini di antaranya I:Boekoe yang dikelola Muhidin M. Dahlan, Indie Book Corner milik Irwan Bajang, Mojok milik Puthut EA, juga Oak, EA Books, Kakatua, Metabook, dan sebagainya.

Wijaya Eka Putra (24) memulai usaha penerbitannya pada 2015, ketika lapak buku “Pojok Cerpen” yang ia dirikan dua tahun sebelumnya sudah mulai kokoh. “Kalau aku mau punya penerbit, setidaknya aku harus punya target pasar yang jelas. Saat aku mendirikan Oak, aku sudah tidak khawatir, karena punya Pocer (Pojok Cerpen). Ada kendaraannya,” terang Eka.

Eka sendiri merasa ia adalah orang yang cukup tepat untuk mengisi kekosongan di dunia perbukuan Jogja pasca 2005. “Selanjutnya tinggal aku melakukan hal yang dulu tidak dilakukan. Atau memperbaiki yang dulu salah, misal perihal manajemen itu. PR-ku adalah tidak melakukan kesalahan itu lagi dan memperbaikinya,” ujarnya. Menurut Eka, baik dalam ranah dagang maupun penerbitan, hal yang penting adalah pencatatan. Pemasukan dan pengeluaran harus ditulis dengan rapi agar nantinya dapat digunakan untuk evaluasi. “Sesederhana itu, hanya kukira masih banyak yang belum melakukannya”.

Eka juga berusaha memperbaiki kesalahan sejuta umat penerbitan di masa lalu: terjemahan yang amburadul. Oak memang memfokuskan terbitannya pada sastra terjemahan karena tidak banyak karya sastra yang diterjemahkan dengan baik, termasuk oleh beberapa penerbit Jogja dulu. “Jangan asal menerbitkan buku. Idealis tidak berhenti di pemilihan judul (untuk terjemahan), tetapi konten harus dipastikan berkualitas,” terang lelaki yang saat ini juga mengelola dua penerbitan lainnya, EA Books—menerbitkan ‘buku pertama’ penulis, milik Puthut EA—dan Circa—menerbitkan genre jurnalisme sastrawi, milik Nezar Patria dan Tia Setiadi.

Tentang naskah terjemahan, diakui Adhe memang persentasenya digarap oleh penerbit indie lebih banyak ketimbang penulis lokal. Nama-nama yang diterjemahkan pun nama yang sudah sangat populer di sastra dunia, sehingga naskahnya sudah menjadi public domain—sehingga tidak perlu mengurus izin atau membayar royalti—seperti misalnya, naskah George Orwell. Hal ini biasanya terkait pula dengan keterbatasan modal.

Modal penerbit indie yang rata-rata tidak besar bukan berarti kebutuhan pembaca tidak terpenuhi. Pembaca-pembaca terbitan indie memang sangat tersegmentasi dan rata-rata membeli dengan sistem pre-order. Namun demikian, jika kampanyenya terus menerus dilakukan (seperti misalnya mengadakan Pekan Buku Indie rutin), bukan tidak mungkin nantinya secara ekonomi mampu menyaingi buku yang ada di industri.

“Misalnya, industri mencetak buku pertama kali 5.000 eksemplar, harapannya indie bisa mencapai 3.000 lah. Mereka mau bikin 3.000 tanpa dijual di toko Gramedia kan keren banget,” ujar Adhe. Ia juga berharap indie akan memiliki ukuran best seller-nya sendiri, misal 5.000 eksemplar. Dengan pasar indie yang semakin bertumbuh, Adhe yakin suatu ketika penjualan buku-buku indie dapat menyaingi pasar mainstream, dengan caranya sendiri.

Cara yang dilakukan Eka sebetulnya menitikberatkan pada pemasaran di media sosial. Penjualan buku daring akan hidup bila menjual buku-buku yang tidak ada di toko buku, sehingga memiliki daya tawar. Selain itu, akan semakin hidup jika penjualnya menyediakan banyak variasi produk alternatif. Oleh sebab itu, Eka memutuskan untuk memegang tiga penerbitan. “Kalau Oak lagi nggak nerbitin, ada Circa, misalnya. Jadi aku selalu punya barang baru tiap bulan. Dengan begitu Pocer akan terus hidup,” jelasnya.

Penjualan buku daring yang semakin semarak berbanding terbalik dengan penjualan di jaringan toko buku terbesar di Indonesia, Gramedia. Tahun lalu, Toko Gramedia melaporkan bahwa keuntungan dari penjualan buku tiap tahunnya menurun 2-3%. Daya tawar penjualan daring lantas dimanfaatkan oleh penggiat buku indie secara maksimal. Salah satunya juga dengan menggelar lapak offline untuk menarik pembeli. “Jualan offline hanya sebagai jembatan untuk membawa orang ke media sosial. Kan biasanya pada tanya, ‘Selain di sini jualan di mana lagi?’ Lalu kami jawab, kami jualan di Facebook,” kata Eka.

Memang melalui gelaran seperti Pekan Buku Indie itulah cara mereka berjualan. Walau judulnya Pekan Buku Indie, sebetulnya buku yang dihadirkan tidak hanya buku dari penerbit indie, tetapi juga dari penerbit mayor yang memiliki kepentingan sama dan telah melalui proses kurasi, seperti KPG, Ircisod, dan Narasi. “Indie itu semangat sih sebenarnya buat saya. Buku semacam ini bisa lahir dari manapun, baik dari rahim indie maupun penerbit besar yang skalanya industri,” ucap Adhe. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa yang terpenting adalah publik membutuhkan bacaan bagus.

“Pertama kami ingin kategorinya humaniora, sehingga tidak akan jauh-jauh dari sastra, filsafat, politik, sejarah, dan buku-buku pemikiran. Kedua, ya sebenarnya itupun masih kami pilih lagi yang sekiranya menurut pembacaan kami layak untuk di-display maupun dikaji di acara kami,” terang Adhe. Fenomena indie melahirkan begitu banyak penyair. Setiap orang bisa menjadi penulis, tetapi tidak semuanya memiliki kualitas tulisan yang baik. “Yang indie yang jelek ya banyak kok. Makanya kami mencoba menyeleksi mana yang harus masuk ke pekan, mana yang tidak,” imbuhnya.

Sementara itu, kepentingan penerbit mayor memang untuk menjual. “Karena nasib mereka di toko buku juga tidak terlalu bagus. Dibanding jenis buku lain ya nggak laku,” ujar Buldan. Adhe menambahkan bahwa buku-buku wacana tidak laku karena kalah dengan buku yang sampulnya “lucu-lucu”. Pasar menuntut kesegaran, kebaruan, penonjolan warna, dan desain tata letak yang apik.

“Novel O oleh Eka Kurniawan (terbitan Gramedia Pustaka Utama) misalnya, secara kemasan memang lebih fresh, ya. Betul kontennya memang bagus, tapi kalau tidak dikemas bagus ya tidak menjual kalau ditaruh di Gramedia. Itulah pendekatan paling kompromis karena pengunjung toko buku kan macam-macam, ada pembaca pemula yang mungkin belum tahu Eka Kurniawan, supaya tahu Eka caranya dengan membuat sampul warna-warni,” jelas Adhe.

Eka Oak pun sepakat. “Kalau di Gramedia, kadang orang masuk nggak tahu ingin beli buku apa, tetapi melihat penampilannya yang menarik, akhirnya beli,” ujarnya. Bagi penerbit indie yang lebih mengutamakan konten daripada penampilan, pendekatan ala pasar dirasa tidak cocok. Indie berusaha mengisi apa yang tidak dilakukan industri. Namun kemudian, bila buku terbitan indie ternyata banyak diminati, penerbit mayor ikut melirik. “Seperti Cantik Itu Luka-nya Eka Kurniawan, itu kan 9 tahun yang lalu pernah diterbitkan oleh Jendela. Apa nggak malu, tuh?” ungkap Buldan.

Tidak cocok bersaing di toko buku, buku-buku wacana justru laku di Pekan Buku Indie #1, karena memang akan didatangi oleh orang-orang yang mencari buku itu. “Saya datang ke sini untuk mencari bacaan yang terbit terbatas, yang tidak tersedia di toko buku dan tidak saya temukan di pameran buku reguler,” ujar Hamzah Ibnu Dedi (21), salah seorang pengunjung.

Cara distribusi yang mendekatkan buku dengan pembaca memang usaha baru, tidak dilakukan pada era pasca reformasi. Khusus penerbit indie, alasan lain tidak lagi menaruh buku terbitannya di toko buku adalah ketiadaan biaya. Toko buku menuntut jumlah produksi yang banyak, biasanya 3.000-5.000 eksemplar. Harga untuk masuk ke toko buku menjadi semakin mahal karena rantai distribusi yang panjang. Selain itu, regulasi toko buku juga ketat dan masa display singkat.

“Lebih enak dan aman kalau produksi sedikit-sedikit tetapi langsung laku,” kata Buldan. Buldan, misalnya, baru saja menerbitkan Kuasa Kata sebanyak 50 eksemplar dan sudah ludes terjual dalam 4 hari.

Tidak hanya dirasa menyenangkan bagi penerbit, penerbitan indie juga memperhatikan kepentingan penulis. Saat ini, royalti penulis dari penerbit indie sebesar 15%, sementara penerbit mayor masih membayar penulisnya 10%. “Hal ini dimungkinkan karena sejak awal kami memang ingin penulis diposisikan setara, agar sama-sama nyaman dalam kerja perbukuan ini,” ujar Adhe.

Ia lalu menjelaskan bahwa selain royalti 15%, diskon untuk reseller sebesar 35%, dan produksi memakan 30%, sehingga penerbit sendiri mendapatkan keuntungan 20%. Rumus ini jika diterapkan di industri resikonya besar. “Bayangkan dengan ongkos produksi 25-30%, tetapi harus memproduksi 5.000 buku? Belum lagi potongan ke distributor dan toko yang sudah 50% dari harga buku. Itulah kenapa mungkin saking ruwetnya perhitungan industri, penulis berada di urutan paling belakang untuk dipikirkan”.

Royalti yang lebih besar untuk penulis dapat terwujud dengan jalur distribusi yang pendek. Salah satunya dengan berjualan langsung di acara seperti Pekan Buku Indie. Saat ini MLY juga sedang menjalin komunikasi dengan penggiat buku di luar kota seperti Solo, Malang, dan Bandung, untuk mendorong mereka mengadakan acara serupa. Beberapa penerbit dari luar Yogyakarta bahkan sudah dilibatkan dalam Pekan Buku Indie #1, seperti penerbit Banana dan Marjin Kiri.

Pekan Buku Indie di Yogyakarta akan dilaksanakan rutin dan tempatnya berpindah-pindah. Alasannya, di Yogyakarta ada banyak titik yang menjadi tempat bergiat buku indie. “Supaya kegiatan buku tidak melulu di utara,” kata Adhe. Setelah Pekan Buku Indie #1 di Dongeng Kopi, Jalan Wahid Hasyim, rencananya Pekan Buku Indie #2 akan bertempat di selatan, kemungkinan di Radio Buku atau Jual Buku Sastra (Wijilan).

Hamzah mengaku senang bila Pekan Buku Indie terus berlanjut. Apalagi menurutnya kurasi buku-buku indie sangat ketat dan bagus. “Semoga pasarnya (indie) tidak runtuh. Semoga hulu ke hilir dunia perbukuan Jogja ini tetap diisi oleh orang-orang idealis yang tidak menganggap buku hanya sebagai komoditas, tetapi sebagai wahana pertukaran wacana, karya seni, dan penggugah literasi,” pungkasnya.