Panji Budaya, Bangkitkan Kembali Wayang Topeng Setelah 32 Tahun

Beberapa topeng karya Sujarno yang digunakan dalam pentas.
Beberapa topeng karya Sujarno yang digunakan dalam pentas.

oleh Panggih Prabowo

Wayang sebagai kesenian tradisional Jawa telah dikenal luas masyarakat, baik itu wayang kulit, golek, maupun wayang orang. Tetapi untuk kesenian wayang topeng, belum banyak orang yang mengenalnya.

Di Kabupaten Gunungkidul, tepatnya di Dusun Danggolo, Kelurahan Purwodadi, Kecamatan Tepus, terdapat sebuah kelompok kesenian Wayang Topeng “Panji Budaya”. Satu-satunya kesenian Wayang Topeng  di Gunungkidul itu telah tertidur cukup lama, sekitar 32 tahun. Namun pada Minggu (27/2), kelompok “Panji Budaya” dari Luweng Ombo dan Danggolo Desa Purwadadi Tepus sukses menggelar pertunjukan di depan ratusan masyarakat Desa Purwadadi.

Sukatman, salah satu anggota Panji Budaya, menyatakan, sebelum pentas lagi pada 3 September 2014, sejak tahun 1983  kesenian wayang topeng tidak pernah lagi dipentaskan. Menurut Sukatman, penjualan perangkat gamelan menjadi penyebabnya. Dan di tahun 2015 ini, menginjak usia yang ke 32 tahun, kelompok Panji Budaya akhirnya menunjukkan taringnya kembali walau di tengah segala keterbatasan.

“Dulu yang punya gamelan, yakni Pak Sedikromo, harus menjual gamelan untuk menyekolahkan anaknya. Setelah saat itu, kami tidak pernah lagi pentas,” ujarnya saat ditemui di acara pementasan Wayang Topeng di depan halaman Balai Desa Purwadadi, Minggu (27/2).

Bermodalkan dorongan yang kuat untuk kembali menghidupkan wayang topeng, sejumlah warga Danggolo yang dulu sempat aktif bermain wayang topeng mencoba menghidupkannya mesti di tengah keterbatasan. Saat ini kelompok Panji Budaya pun belum memiliki gamelan. Untuk latihan dan pentas, mereka masih sewa. Topeng sebagai komponen utama dalam pementasan pun mereka buat sendiri.

Dorongan kuat untuk kembali menghidupkan kesenian yang nyaris punah ini mengalahkan segala keterbatasan yang ada.

“Ini kami membuat songkok hanya dari bola plastik yang kami potong dan kami hias menggunakan kertas, lalu kami lukis. Untuk badong, biasanya terbuat dari kulit, tetapi sementara kami buat dulu dari kertas. Semua keterbatasan ini tidak memengaruhi semangat kami,” ujar Sukatman.

“Kesenian ini sudah langka, tidak seperti kethoprak atau wayang kulit yang mudah ditemukan, baik pada acara pertunjukan langsung maupun di televisi. Jadi, kesenian ini sangat layak didukung dan dihidupkan kembali sebagai salah satu kekayaan budaya Gunungkidul,” kata Nugroho, tokoh masyarakat di lokasi pertunjukan.

Suroyo, Kabag Pembangunan Desa Purwodadi, menambahkan, perhatian berbagai pihak pada wayang topeng ini sudah mulai tampak. Ia berharap, di masa depan, wayang topeng ini tetap eksis.

Pertunjukan wayang topeng  ini juga menarik menarik warga di luar Gunungkidul untuk datang  menonton.  Jupri dan Ditha sengaja datang dari Sleman untuk melengkapi penelitiannya tentang tari topeng.

“Wayang topeng ini sudah langka. Pada akhir ’80-an  saya melihat pertunjukan wayang topeng di daerah Bantul. Jadi, ketika saya mendengar kabar tentang pertunjukan ini, saya senang sekali dan tidak mau ketinggalan,” kata Ditha.

Pertunjukan yang diawali dengan tarian dan dialog-dialog kocak berhasil membangun daya tarik penonton. Walau secara umum anak-anak dan orang muda merasa kesulitan memahami alur cerita yang berlatar belakang Kerajaan Kediri, semua sepakat bahwa kesenian ini harus  dilestarikan.

Saat ini jumlah anggota Panji Budaya ada sekitar 20 pemain dan 18 pengrawit. Usia mereka pun sudah cukup tua, rata-rata di atas 50 tahun. Tidak ingin kejadian wayang topeng yang nyaris punah terulang kembali, regenerasi telah mulai mereka lakukan. Setiap minggunya anak-anak SMP hingga SMA  berlatih wayang topeng.

Untuk lebih meningkatkan kualitas pertunjukan, Sukatman mengharapkan perhatian dan dukungan dari semua pihak terhadap kesenian wayang topeng. Menurutnya, dukungan tersebut tidaklah harus selalu dalam bentuk pendanaan, tetapi juga bisa dalam bentuk pendidikan dunia panggung

“Pertunjukan yang bagus, walau saya kesulitan memahami cerita karena minimnya pengetahuan dunia pewayangan. Paling tidak, membuat saya tertarik untuk memahami bahasa dan tokoh-tokoh wayang topeng ini” kata Haris Sudrajat, salah satu anggota Komunitas Gunungkidul Photography yang datang dari Playen untuk berburu foto budaya.

Pementasan wayang topeng ini pada umumnya berdurasi 6-8 jam. Dalam pertunjukkan malam tersebut, pentas dipersingkat menjadi sekitar 3 jam yang berakhir pada pukul 01:00 WIB.