Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta XII: Semarak Akulturasi Nusantara

Antusiasme masyarakat menyaksikan atraksi naga LED pada pembukaan PBTY di area Malioboro, Minggu (5/2).

Oleh: Namira Putri

Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta tahun ini tak hanya menampilkan budaya Tionghoa, tapi juga kekayaan nusantara seperti tari Minang Pecah Badantiang, tari kreasi Malisa Darlingku (Malu Melihat Sampah, Sadar Lingkunganku), hingga sajian musik keroncong dan solawatan.

PBTY XII berlangsung pada 5-11 Februari 2017 dengan tema “Pelangi Budaya Nusantara” yang berusaha menampilkan wujud akulturasi budaya dari seluruh Indonesia. Akulturasi budaya ini juga beririsan dengan kerukunan agama, dengan kehadiran Persatuan Islam Tionghoa sebagai paguyuban yang bertanggung jawab mengadakan PBTY tahun ini.

Waktu penyelenggaraan PBTY XII lebih panjang dibanding tahun sebelumnya, dari 5 hari kini menjadi 7 hari. “Mulai tahun ini PBTY jadi agenda tahunan Kemenpar, bahkan sudah masuk pesona Indonesia juga,” kata Galih, panitia publikasi PBTY.

Galih melihat antusiasme masyarakat cukup besar, termasuk di media sosial. “Targetnya jelas supaya pengunjung lebih ramai. Kemudian lebih mengakulturasi budaya Tionghoa, bahwa budaya ini merupakan kesatuan budaya Indonesia khususnya di Yogyakarta,” katanya. Sponsor acara tahun ini adalah Bank BPD DIY, Garuda Ting Ting, PT. Gudang Garam Tbk., Grab, Tolak Angin, dan Tolak Linu. Menurut Galih, sponsor merupakan hambatan terbesar PBTY XII, sehingga untuk tahun depan panitia mengharapkan dukungan sponsor yang lebih banyak.

Salah satu stan yang menjual pernak-pernik imlek di antara deretan stan kuliner di area Kampung Ketandan

Rangkaian acara dimulai pada Minggu (5/2) dengan karnaval yang diikuti lebih dari 1000 peserta dari Taman Parkir Abu Bakar Ali hingga Alun-Alun Utara.

Seorang koordinator kostum sekaligus pembina koreografi salah satu peserta karnaval, Ello, bercerita tentang timnya yang berjumlah 40 orang. “Kami menampilkan lampion, penari kipas, pagar betis, dan Cucuk Lampah, asalnya dari Dimas Diajeng Kricak, model, dan anak-anak sanggar. Lagunya dari berbagai daerah, seperti Yamko Rambe Yamko, dengan saya pembuat koreografinya,” kata Ello.

Menjelang adzan Maghrib, segala persiapan termasuk bunyi-bunyian berhenti. Jalan utama Malioboro dan menuju arah Pasar Kembang ditutup total bagi kendaraan. Barulah sekitar pukul 18.30, peserta pawai bergerak dari Taman Parkir Abu Bakar Ali, disambut ribuan penonton yang memadati sisi kanan dan kiri area Malioboro dan sekitarnya.

Pawai dibuka oleh Liong Hoo Hap Hwee yang berpakaian hitam, disusul arak-arakan maskot ayam, barongsai berbagai warna, dan atraksi budaya lain. Sekali waktu penonton bersorak “Ha’e…hokya!” ketika beberapa penari berjoget, kadang bertepuk tangan, kemudian tersenyum takjub menikmati sajian di depan mata mereka.

“Bagus, terasa sekali kebersamaannya. Barongsai biasanya identik dengan Cina, tapi ini tadi berbaur. Jadi tidak ada kesenjangan,” kata Wawan, seorang pengunjung.

Setelah pembukaan, PBTY masih dilanjutkan beberapa agenda: bazar kuliner 130 stan; panggung utama berisi penampilan budaya nusantara; Wayang Potehi; panggung Melia yang menyajikan band-band indie dan fashion show kecil-kecilan; serta panggung Dreamlight bagi peserta lomba karaoke Mandarin dan bahasa Mandarin.

Kebersamaan turis lokal dan mancanegara saat menyaksikan panggung Wayang Potehi (6/2)

Erni atau May Lan Erni atau May Lan, salah seorang pengunjung yang ditemui di daerah panggung utama, melihat perkembangan acara yang semakin baik dari tahun ke tahun. Ia juga tertarik menyaksikan tarian-tarian tradisional yang ditampilkan.

Erni berpendapat bahwa PBTY XII merepresentasikan akulturasi budaya antara masyarakat lokal dan Tionghoa. “Sebenarnya semuanya sama-sama orang Indonesia, cuma kita itu kebetulan ketetesan darah Cina saja. Tidak ada gap, sudah nggak zaman membeda-bedakan,” katanya.

Penari-penari belia dari SMPN 4 Pandak unjuk bakat membawakan tari kreasi Malisa Darlingku (Malu Melihat Sampah, Sadar Lingkunganku) di panggung utama. Selain namanya yang unik, tarian ini juga didukung oleh properti yang tak biasa, berupa sapu lidi dan keranjang sampah.

Warga pun memperoleh manfaat ekonomi dari helatan ini. Salah satunya Partinah, seorang penjual sate.

Partinah cukup lama berjualan di Ketandan sehingga mengenal baik warganya, termasuk warga Tionghoa pemilik toko emas maupun anak kos di wilayah bekas kampus UPN tersebut. Salah satu alasan Partinah mengikuti acara ini adalah bertemu orang-orang tersebut untuk bertukar kabar.

Menurut Partinah, saat paling ramai biasanya pada waktu pembukaan dan penutupan acara. Penjualan Partinah sehari-hari kurang lebih sekitar empat ratus ribu rupiah. Partinah mengakui adanya sedikit perbedaan omzet ketika berjualan di acara PBTY. “Ya kalau di sini mungkin sedikit lebih. Paling empat ratus lima puluh sampai lima ratus ribu,” katanya.