Semarak Bunyi di Desa Tembi

Rogo Singo membuka Festival Musik Tembi 2016 dengan penampilan reog ponorogo yang menarik perhatian warga sekitar.
Rogo Singo membuka Festival Musik Tembi 2016 dengan penampilan reog Ponorogo yang meriah.

Oleh Tri Utami Rosemarwati

Semburat warna oranye samar-samar terlihat di antara birunya langit desa Tembi, Bantul, Yogyakarta. Ketika matahari sudah tidak terasa begitu terik, lapangan desa itu pun ramai oleh teriakan anak-anak yang sedang bermain sepak bola. Pada petang hari, biasanya keramaian itu terlihat kontras dengan kantor kelurahan Tembi di seberangnya yang sudah sepi. Namun, pada Kamis (19/5) lalu, halaman depan kantor itu sarat dengan hiruk-pikuk warga yang menyiapkan pawai budaya. Kala rombongan beranjak keluar halaman, sontak udara dipenuhi bunyi-bunyian yang dimainkan peserta pawai.

Pada barisan pertama, berjejer sekumpulan anak-anak berpakaian ala petani, lengkap dengan caping bambu. Mereka berjalan sambil menggenggam dua botol plastik bekas yang dipukul-pukulkan satu sama lain. Suara itu beradu dengan bunyi othok-othok, mainan tradisional terbuat dari bambu. Di belakangnya, arak-arakan orang-orangan sawah membumbung tinggi ke langit. Tak ketinggalan, kontingen dimas diajeng Kabupaten Bantul selalu menebar senyum dan sapa kepada warga sekitar yang menonton di pinggiran jalan. Bersama-sama, mereka berjalan sejauh dua ratus meter menuju Tembi Rumah Budaya.

Pawai budaya tersebut menjadi pembuka acara Festival Musik Tembi (FMT) 2016, sebuah festival musik tahunan yang diselenggarakan oleh Forum Musik Tembi sejak 2011. Selain pawai budaya, pembukaan juga dimeriahkan oleh Rogo Singo, salah satu sanggar seni Reog Ponorogo di Yogyakarta. Kedua penampilan tersebut menjadi hal baru pada festival yang berlangsung pada 19-21 Mei 2016 tersebut.  Selama tiga hari, FMT menyelenggarakan Panggung Musik Tradisi Baru, Panggung Komunitas, Lokakarya, serta Bincang-Bincang Musik.

Kekhasan FMT tahun ini terletak pada temanya yakni “Semarak Bunyi”. Tion, ketua panitia FMT 2016, menjelaskan tema tersebut bermakna wujud rasa syukur terhadap keragaman bebunyian nusantara. FMT juga menjadi tempat yang terbuka bagi warga desa Tembi untuk berkontribusi dalam acara. Oleh karena itu, FMT tidak membebankan biaya tiket pada pengunjung. “Dengan begitu, semua orang bisa menikmati keragaman bunyi yang coba kami representasikan,” ujarnya.

Keragaman bunyi itu tersampaikan lewat Musik Tradisi Baru (MTB), sebuah ajang apresiasi terhadap kreasi-kreasi baru musik tradisi nusantara. Melalui ajang ini, para peserta dapat mengolah musik dengan cara mereka sendiri tetapi tetap memiliki unsur musik nusantara. “Jadi alat musiknya tidak harus tradisional, tapi juga bisa modern,” jelas Tion.

Tahun ini, MTB diikuti tujuh seniman dari berbagai daerah di Indonesia yang kemudian tampil di hari kedua FMT. Salah satunya dari sanggar seni Kakula yang berasal dari Palu, Sulawesi Tenggara. Musik Kakula menggambarkan kehidupan serta identitas masyarakat Palu melalui harmoni yang tercipta dari alat musiknya. Alat musik yang digunakan antara lain Tifa, Lalove, Gimba, dan Kakula yang digabung dengan alat musik modern seperti gitar dan bas.

Muhammad Hidayatullah, salah satu anggota Kakula, mengatakan baru kali ini sanggarnya bermain di luar Palu. “Seniman di Palu kurang didukung, jadi mainnya ya di Palu saja,” ujar pria yang akrab dipanggil Yayat ini. Oleh karena itu, Yayat berharap dengan bergabung di FMT, Kakula dapat menginspirasi seniman Palu lainnya untuk bermain di luar Palu. “Karena bisa dapat pengalaman yang berharga kalau bermain di luar rumah sendiri,” tambahnya.

Pengalaman berharga juga dirasakan komunitas Music For Everyone yang diundang untuk tampil di acara Panggung Komunitas pada hari ketiga. Komunitas ini terdiri dari anak-anak SMP yang tertarik pada seni musik. Mereka diajarkan untuk memainkan alat musik, bernyanyi, bahkan membuat lagu. Pada kesempatan tampil kala itu, mereka membawakan lagu-lagu pop dalam sebuah paduan suara dengan diiringi petikan gitar dari mentor mereka. Ririn dan Salma, anggota Music For Everyone, mengatakan baru kali ini mereka tampil di acara besar. “Tadi sempat deg-degan juga,” aku Salma. Namun, usai tampil mereka justru kian bersemangat untuk terus belajar. “Jadi pengen tampil lagi,” timpal Ririn seraya tertawa ringan.

Keragaman musik yang ditampilkan di FMT merupakan salah satu cara untuk menemukan identitas musik Indonesia. Namun, Hardi, salah satu penonton FMT, mengatakan visi tersebut masih jauh untuk diwujudkan. “Musik Indonesia kan banyak, jadi tidak mungkin untuk menemukan identitas tunggalnya,” kata Hardi yang datang berlibur ke Yogya bersama istrinya, Utik. Meskipun demikian, FMT menjadi salah satu langkah untuk merangkul seniman-seniman di seluruh Indonesia.

Selama tiga hari, rangkaian acara FMT berlangsung di beberapa latar yang berbeda. Pertunjukan musik menggunakan konsep moving stage sehingga total terdapat tiga panggung berbeda. Panggung Pendopo dan panggung teduh terletak saling berhadapan di halaman depan Tembi Rumah Budaya. Panggung lainnya, amphitheater, berada paling jauh yakni di belakang Tembi Rumah Budaya. Sedangkan lokakarya dan bincang-bincang musik berlangsung di ruang pertemuan Mrican.

Sebetulnya, masih ada lagi satu panggung bernama Latar Centhini. Panggung itu berupa bangunan bambu yang terletak di tengah hamparan sawah. Sayangnya, beberapa hari sebelumnya sempat terjadi hujan deras sehingga Latar Centhini batal digunakan. “Padahal panggung itu menjadi salah satu pembeda FMT 2016 dari tahun-tahun sebelumnya,” kata Tion.

Konsep perpindahan panggung dipilih agar penonton dapat merasakan nuansa yang berbeda-beda dari setiap panggung. Namun, hal itu justru dirasa kurang nyaman bagi Hardi dan Utik. Pasangan suami istri asal Batam tersebut mengatakan persiapan teknisnya terlalu lama. “Penonton jadi harus menunggu lebih lama,” ujarnya. Hardi menyarankan agar letak tiap panggung tidak saling berjauhan sehingga persiapan bisa dilakukan sebelum berpindah panggung.

Namun, ketidaknyamanan tersebut sedikit terobati dengan adanya dekorasi-dekorasi yang ada di setiap sudut Tembi Rumah Budaya. Salah satu yang menarik adalah gantungan alat musik, seperti angklung, yang terletak di lorong menuju amphitheater. Pengunjung dapat berhenti sejenak untuk membunyikan alat-alat musik tersebut. Tidak hanya itu, pengunjung juga dapat mampir ke pasar FMT yang menjual mulai dari makanan hingga alat musik.

Menjelang malam pada hari ketiga, penonton yang datang berangsur-angsur semakin banyak. Mereka berkumpul di depan amphitheater untuk menyaksikan penutupan FMT 2016. Saking banyaknya penonton, jarak antara panggung dengan tempat duduk penonton sangat dekat.

Kedekatan itu lantas dimanfaatkan Gamelan Mben Surup untuk menyambut penonton dengan suara gamelan yang dikolaborasikan dengan alat musik modern. Setelah mendengar rancak bunyi gamelan yang dinamis, penonton lantas digiring ke musik yang lebih lembut ala Littlelute. Grup band asal Bandung itu menyanyikan beberapa lagu sebelum akhirnya diambil alih Ronggeng Melayu Deli. Komunitas asal Jakarta itu menjadi penampilan pamungkas FMT 2016 dengan membawakan kesenian ronggeng yang sudah hampir punah. Ronggeng mengombinasikan musik-musik dan tarian Melayu sambil berbalas pantun yang dinyanyikan.

Malam semakin larut, namun semangat penonton tidak juga surut. Para seniman Ronggeng Melayu Deli kian memanaskan suasana dengan mengajak penonton ikut menari ke atas panggung. Gerakan kaki mereka mengikuti irama tabuhan rebana. “Satu, dua, satu, dua,” instruksi si penyanyi ronggeng sambil menunjukkan gerakan kakinya. Tempo semakin cepat, penonton justru semakin larut dalam gerakan tari mereka. Joget dan sorak para penonton malam itu pun menjadi penutup rangkaian FMT 2016.