Binwin Jadi Solusi Perceraian Tinggi di DIY

Fasilitator bimbingan perkawinan (binwin) dari BP4 Kecamatan Gondokusuman, Alfiyah Munaryati, sedang menjelaskan materi Memenuhi Kebutuhan Keluarga kepada 30 pasang calon pengantin peserta binwin di KUA Gondokusuman (9/11)

oleh Nadia Intan Fajarlie

 Jumlah perceraian yang tercatat di Pengadilan Agama (PA) di kabupaten dan kota Yogyakarta hingga November 2019 mencapai 46 persen dari jumlah perkawinan menurut agama Islam yang tercatat dalam kurun waktu Januari hingga September 2019. Upaya pemerintah menggalakkan sertifikasi pernikahan melalui program bimbingan perkawinan (binwin) menjadi langkah untuk menekan angka perceraian, termasuk di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Sejak pertengahan bulan November, ide sertifikasi pranikah yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy, ramai diperbincangkan di media massa. Beragam reaksi ditunjukkan oleh masyarakat melalui akun-akun di media sosial mereka. Banyak warganet yang mendukung, namun tidak sedikit yang menentang. Terlepas dari perdebatan warganet di media sosial, bagaimana dengan kondisi pernikahan dan perceraian di DIY?

Berdasarkan data yang dihimpun dari Badan Perencana dan Pembangunan Daerah (Bapedda) DIY, jumlah penduduk DIY pada tahun 2019 mencapai 3.842.932 jiwa. Data Vertikal Kanwil Kemenag tahun 2019 menunjukkan bahwa umat muslim di DIY merupakan mayoritas dengan jumlah mencapai 3.492.544 jiwa. Sedangkan sisanya merupakan pemeluk agama Katolik, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, dan agama lainnya.

Banyaknya pemeluk agama Islam di DIY juga tercermin pada jumlah pernikahan yang tercatat di Kantor Wilayah Kementerian Agama DIY. Sejak bulan Januari hingga September 2019 ada 12.266 peristiwa nikah, baik di dalam maupun di luar Kantor Urusan Agama (KUA). Jika dijabarkan, banyaknya pernikahan yang terjadi sepanjang 2019 di DIY terdiri dari jumlah pernikahan di Kota Yogyakarta sebanyak 1.194, Sleman 3.539, Bantul 3.275, Kulon Progo 1.523, dan Gunung Kidul 2.735.

Tak hanya jumlah pernikahan yang tinggi, jumlah perceraian yang tercatat di Pengadilan Agama (PA) di Kabupaten maupun Kota di DIY juga dapat dikatakan besar. Data perceraian, gugat maupun talak, di PA lebih tinggi daripada data gugatan perceraian di Pengadilan Negeri (PN). Sejak tanggal dua Januari hingga 18 November 2019 tercatat ada 5.624 permohonan perceraian yang dikabulkan di PA kabupaten maupun kota se-DIY. Sebanyak 653 perkara cerai talak dan cerai gugat tercatat di PA Kota Yogyakarta, 1.655 di PA Kabupaten Sleman, 1.367 di PA Bantul, 555 di PA Wates, dan 1.394 di PA Wonosari. Artinya, jumlah perceraian mencapai hampir setengah dari jumlah pernikahan di DIY pada tahun 2019.

Berbeda dari tugas PA yang memproses perceraian bagi pasangan yang menikah menurut agama Islam serta tercatat di KUA, PN memproses perceraian penduduk selain agama Islam yang pernikahannya tercatat di Kantor Catatan Sipil. Sejak Januari hinga 18 November 2019, PN di kabupaten dan kota se-DIY mengabulkan sejumlah 296 perceraian. Jumlah tersebut merupakan gabungan dari PN Sleman sebanyak 133 perkara, PN Bantul 49 perkara, PN Wonosari 28 perkara, PN Wates 13 perkara, dan PN Kota Yogyakarta 73 perkara.

Infografik jumlah perceraian dan Program Binwin di DIY dihimpun dari berbagai sumber. (Nadia)

Salah satu faktor penyebab jumlah perceraian penganut agama Islam lebih tinggi daripada agama lain ialah tidak adanya bimbingan kepada calon pengantin dari pemimpin agama, sebagaimana di agama lainnya.

“Kalau di Islam, masing-masing masjid saja berbeda, terlebih lagi umat muslim taatnya hanya kepada Allah, bukan pada takmir masjid sebagaimana taatnya umat nasrani pada gereja,” jelas Nur Ahmad Ghozali, Kepala Seksi Kepenghuluan Kemenag DIY (11/11).

Selain itu, menurut Ghozali, perbedaan kondisi sosial antarpenganut agama membuat bimbingan pranikah tidak bisa disamakan di semua agama. Ghozali menjelaskan bahwa bimbingan pranikah bagi umat muslim pernah dilaksanakan melalui masjid-masjid, namun berjalan kurang efektif karena tidak terukur.

“Yang menjadi narasumber belum tentu orang-orang yang terdidik dan tiap masjid belum tentu sama. Kalau penyelenggaranya melalui program pemerintah kan bisa dipolakan,” kata Ghozali.

Kementerian Agama didapuk untuk menyelenggarakan program bimbingan perkawinan (Binwin) sejak tahun 2017. Binwin dilaksanakan dalam dua hari oleh KUA-KUA di tingkat kecamatan dengan mengacu pada Petunjuk Pelaksanaan Binwin Nomor 379 tahun 2018 yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam.

Selama melaksanakan bimbingan, para calon pengantin akan mendapatkan modul bimbingan, konsumsi, serta penjelasan materi dari para fasilitator. Calon pengantin yang mengikuti binwin akan mendapatkan materi-materi seperti mempersiapkan keluarga sakinah, membangun hubungan, menjaga kesehatan reproduksi, mempersiapkan generasi berkualitas, dan memenuhi kebutuhan dalam keluarga.

Ghozali menegaskan bahwa para fasilitator binwin adalah orang-orang yang telah lulus bimbingan teknis fasilitator yang diadakan oleh Kemenag pusat selama empat hari.

“Fasilitator binwin yang lulus sertifikasi berasal dari Kemenag DIY, Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4), serta organisasi masyarakat (ormas) seperti NU, Muhammadiyah, dan Muslimat Aisiyah,” kata Ghozali.

Ghozali juga mengatakan bahwa ada dua kendala dari pelaksanaan binwin. Pertama, binwin belum diwajibkan bagi seluruh calon pengantin. Kedua, keterbatasan biaya yang diberikan oleh pemerintah pusat. Sebab, setiap pasangan calon pengantin yang mengikuti binwin mendapat jatah 400 ribu dari pemerintah.

“Kalau rata-rata dua juta orang menikah setiap tahun di Indonesia, maka sudah triliunan dana yang harus dikeluarkan pemerintah,” kata pria yang juga Mediator Perkawinan di PA Kota Yogyakarta ini.

Menurut Ghozali, rata-rata perkawinan di DIY ada 23.000 dalam setahun, namun hanya lima ribu pasangan yang mengikuti Binwin. Berdasarkan keterangan Ghozali, berarti baru sekitar 22 persen dari seluruh calon pengantin yang mengikuti Binwin. Namun, jumlah tersebut, menurut Ghozali, merupakan angka tertinggi se-Indonesia.

“Saat ini hanya tujuh persen dari jumlah keseluruhan pengantin di tingkat Nasional yang mengikuti Binwin,” kata pria yang juga merupakan Fasilitator Pernikahan ini.

Selain binwin untuk calon pengantin, Kemenag DIY juga menyelenggarakan Bimbingan Perkawinan Bagi Remaja Usia Nikah yang menyasar siswa SMA, SMK, dan MA di DIY.

Pada tanggal delapan dan sembilan November 2019, KUA Kecamatan Gondokusuman menggelar Binwin Bagi Calon Pengantin Angkatan XX di Balai Pertemuan RW XVI Balapan, Gondokusuman, Kota Yogyakarta. Tak kurang dari 30 pasangan dari Kecamatan Gondokusuman dan Donorejan, Kota Yogyakarta mengikuti kegiatan Binwin yang berlangsung pada hari Sabtu dan Minggu tersebut.

“Biasanya dalam setahun kami menyelenggarakan Binwin tiga sampai empat kali,” tutur Muji Setyo Yuwono, salah satu penanggung jawab pelaksanaan binwin dari KUA Gondokusuman.

Erna Vicky Fatmala Putri, salah satu peserta binwin di KUA Gondokusuman mengaku bahwa binwin membantunya untuk lebih mengenal pasangan.

“Biasanya kalau kita cuma berkenalan sendiri kan tidak langsung mendalam, kalau di sini dengan adanya kuis-kuis kita jadi tahu keinginan pasangan kita, seperti rencana, komunikasi, dan lain-lain,” tutur wanita berusia 25 tahun ini.

Sejalan dengan Erna, Nur Khorifah, salah satu peserta binwin, mengaku terbantu dalam mendapatkan informasi seputar pernikahan, “Daripada kita belajar sendiri atau tanya-tanya orang, akan lebih baik mendengar penjelasan langsung dari ahlinya,” kata Nur.

Namun, Erna menyayangkan bahwa tidak semua pasangan mengikuti binwin dengan serius. “Sebaiknya ada penegasan aturan agar tidak ada yang terlambat atau tidak mengikuti secara penuh,” kata Erna. Sedangkan Nur, mengeluhkan tempat yang tidak sebanding dengan jumlah pasangan yang mengikuti binwin.

Efektivitas program binwin dalam menekan perceraian belum dapat dinilai, karena baru berjalan dua tahun. Menurut Ghozali penyebab perceraian nomor satu di DIY adalah masalah ketidakcocokan, kemudian diikuti oleh masalah ekonomi.

“Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga salah satu alasan ketidakcocokan pasangan,” tutur Ghozali. Sekarang perempuan di DIY lebih berani mengadukan KDRT yang mereka terima, ujar Ghozali. Selain itu, banyak pasangan yang tidak lagi menganggap perceraian sebagai hal yang tabu.

Meski begitu, pasangan yang mengalami permasalahan dalam rumah tangganya, dapat berkonsultasi dengan BP4 ataupun penghulu di KUA. “BP4 menyediakan layanan konsultasi keluarga, psikolog, serta pendampingan keluarga,” kata Alfiyah Munaryati, fasilitator binwin dari BP4 Gondokusuman.