Kantong Parkir Ilegal Belum Ditutup, Pendapatan Jukir Abu Bakar Ali Terus Menurun

Jukir Malioboro berdemo di Balai Kota pada akhir Maret silam, meminta penangguhan relokasi parkir hingga satu tahun.
Jukir Malioboro berdemo di Balai Kota meminta penangguhan relokasi parkir pada akhir Maret silam.

oleh Bunga Addinta S

Para juru parkir (jukir) Malioboro yang merupakan korban langsung relokasi parkir akibat revitalisasi Malioboro menegaskan penolakan mereka terhadap kebijakan relokasi. Janji pemerintah untuk menutup kantong parkir ilegal yang belum ditepati membuat jukir yang saat ini bekerja di Abu Bakar Ali terus dirugikan. Omzet mereka  sekarang turun drastis hingga lima kali lipat dibanding saat masih di Jalan Malioboro.

Aksi demonstrasi yang pernah dilakukan para jukir di depan kantor DPRD DIY pada 2 April lalu hanya berbuah janji. Pasalnya, kantong parkir ilegal justru semakin hari semakin banyak ditemukan di gang-gang sekitar Jalan Malioboro.

“Kemarin saat kami mengadakan demo menolak relokasi, pemerintah berjanji akan mengadakan penutupan semua kantong parkir di area Malioboro dan memusatkannya ke Tempat Parkir Portabel Abu Bakar Ali. Tapi sudah satu bulan lebih, tempat parkir ilegal itu justru semakin banyak. Kami merasa dirugikan,” kata Budi, salah satu jukir di TPP Abu Bakar Ali.

Para jukir  mengaku bahwa mereka mendengar Ketua DPRD Yogyakarta berjanji akan menutup curit-curit parkir liar di Malioboro lalu akan membuat rekayasa untuk memudahkan akses masuk TPP Abu Bakar Ali. Janji tersebut telah dibuat sebelum relokasi dilakukan, namun hingga saat ini tidak ada tanda-tanda janji akan dipenuhi.

Para jukir telah berulang kali menagih janji ke kantor UPT Malioboro. Namun tanggapan yang didapat selalu tidak memuaskan.

Sejak relokasi parkir dilakukan, banyak pengunjung Jalan Malioboro yang memang lebih senang memarkir kendaraan di kantong-kantong parkir ilegal daripada di Tempat Parkir Portabel resmi.

Tarif parkir asli TPP Abu Bakar Ali yang besarannya Rp 2.000,- terpaksa harus dinaikkan karena sepi pengunjung.
Tarif parkir asli TPP Abu Bakar Ali yang Rp 2.000,- dinaikkan oleh jukir karena lokasi ini sepi pengunjung.

Salah satu pedagang Malioboro, Purwandi, mengaku tidak keberatan dengan relokasi parkir karena ia dengan mudah bisa memilih parkir di ruang parkir dalam gang sekitar Malioboro. “Ruang parkir banyak terdapat di dalam gang. Sekarang, banyak orang yang punya lahan membuka tempat parkir di sekitar sini,” katanya.

Linda, seorang warga Sewon Bantul, mengaku malas untuk parkir di TPP Abu Bakar Ali. “Saya parkir di belakang Ramayana. Kalau dari parkiran Abu Bakar Ali, jalannya jauh,” ungkapnya.

Para jukir sudah pasrah akan hal ini mengingat tempat parkir yang baru ini memang tampak kurang layak. Gedung parkir TPP Abu Bakar Ali belum genap berumur satu tahun, namun kebocoran sudah terlihat di berbagai titik. Cor gedung pun sudah banyak yang berlubang.

Di samping kerusakan yang sudah terlihat, akses masuk gedung parkir pun tergolong berbahaya karena jalannya menikung dan curam. Kondisi gedung parkir ini menambah alasan warga enggan menggunakannya.

Jalan masuk parkir kendaraan roda dua TPP Abu Bakar Ali.
Jalan masuk roda dua ke TPP Abu Bakar Ali yang tajam.

Pendapatan jukir yang dahulu bisa mencapai Rp 200 ribu rupiah dalam tiga jam sehari, sekarang hanya sekitar 20 ribu dalam waktu delapan jam kerja.

Para jukir memang masih terbantu karena mendapat jatah tunjangan hidup dari Pemerintah Kota sebesar 50-80 ribu sehari selama dua bulan pertama ini, namun mereka tidak tahu nasib mereka setelah dua bulan.

“Pokoknya kami mau menagih janji. Apa saja yang dijanjikan ke kami tolong direalisasikan. Janjinya di sini lebih makmur daripada di sana, tapi buktinya kami lebih sengsara,” kata Mugi, jukir TPP Abu Bakar Ali.

Membersihkan sisi timur Malioboro dari parkir adalah salah satu bagian dari proyek Revitalisasi Malioboro tahun 2016, yang menelan dana Rp 24 miliar. Pembongkaran total sisi timur Malioboro untuk dijadikan kawasan pejalan kaki ini dinilai Zuhrif Hudaya, Ketua Komisi C DPRD Kota Yogyakarta kurang direncanakan secara matang.

“Ternyata dibongkar total seperti ini. Lalu, untuk apa kita keceh-keceh anggaran revitalisasi Malioboro dulu itu? Anggaran itu mubadzir,” kata Zuhrif.

Yang dimaksud Zuhrif adalah revitalisasi Malioboro oleh Pemerintah Kota Yogyakarta di tahun anggaran 2010-2012. Saat itu, revitalisasi Malioboro menghabiskan dana sekitar Rp 1,9 miliar.

Lalu saat ini, dana 24 miliar diambil dari anggaran dana keistimewaan 2016. Dana ini masih akan terus digelontorkan hingga 2019 dengan total anggaran sekitar 125 miliar.

“Semoga ini menjadi revitalisasi Malioboro yang terakhir,” kata Zuhrif.