Kelompok Marjinal Semakin Tertekan di Tengah Pandemi Covid-19

 

Fisipol UGM selenggarakan Serial Diskusi Covid-19 yang kelima (14/4) bersama tiga pembicara dari Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK).

Oleh: Rizky Adinda Febriyanti

Pada masa pandemi, kelompok marjinal yang selama ini terpinggirkan akan semakin tertekan, karena akses mereka terhadap sumber daya kesehatan dan ekonomi makin terbatas. Kelompok ini mencakup warga dengan ekonomi kurang mampu seperti pekerja sektor informal dan buruh pekerja harian.

Masalah ini dibahas dalam Serial Diskusi Covid-19 #5 Fisipol UGM (14/4) yang menghadirkan tiga pembicara dari Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK). Suzanna Eddyono, dosen di bidang sosiologi pembangunan, menyebutkan bahwa penanganan Covid-19 tidak berdampak sama bagi seluruh masyarakat. Bisa jadi, kelompok masyarakat marjinal lebih tertekan atas dampaknya.

“Virus Covid-19 tidak diskriminatif, tetapi apabila tidak hati-hati, bisa jadi penanganannya yang diskriminatif terhadap kelompok masyarakat tertentu,” kata Suzanna.

Misalnya berkaitan dengan anjuran cuci tangan sepuluh sampai dua puluh detik. Data menunjukkan, baru 72,55% masyarakat Indonesia yang bisa mengakses air bersih pada 2018. Selain itu, kebijakan bekerja dari rumah tentu merugikan masyarakat yang harus keluar rumah untuk bekerja. Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan yang lebih inklusif agar kelompok marjinal tidak semakin tertekan di tengah pandemi.

Hempri Suyatna, dosen sekaligus peneliti di bidang ekonomi kerakyatan, menyebutkan bahwa berbagai golongan masyarakat ekonomi ikut terkena imbas Covid-19, mulai dari pelaku usaha, pembeli, hingga para pekerja di sektor informal. Pada 13 April, tercatat sekitar 2,8 juta pekerja di Indonesia terdampak akibat pandemi. Beberapa di antaranya harus dirumahkan atau di-PHK. Hal ini diperkirakan bisa meningkatkan angka pengangguran dan kemiskinan di Indonesia.

Selain itu, sektor pariwisata sebagai salah satu sumber pendapatan masyarakat Indonesia juga mengalami penurunan. Hendrie Adji Kusworo, dosen PSdK sekaligus Ketua Prodi Kajian Pariwisata Pascasarjana UGM, menyampaikan bahwa penurunan ini dikarenakan masyarakat menghindari kegiatan di luar rumah selama pandemi.

“Transportasi publik mengalami penurunan 54%, kegiatan di tempat umum berkurang sampai 52%, kunjungan ke mall atau kafe berkurang sampai 47%,” kata Hendrie.

Oleh karena itu, Hendrie berpesan agar masyarakat meningkatkan kepekaan dan solidaritas terhadap sesama di situasi sulit ini. Sementara itu, pemerintah beperan untuk mengupayakan sistem jaminan nasional yang merata dan kelembagaan inklusif untuk melindungi kelompok marjinal selama pandemi. Pemerintah diharapkan mampu mengupayakan kebijakan tepat waktu dan tepat sasaran.

Sejauh ini, Kementrian Keuangan (Kemenkeu) menetapkan beberapa kebijakan bagi masyarakat miskin di tengah pandemi. Salah satunya adalah meningkatkan anggaran kartu pra kerja dari Rp10 triliun menjadi Rp20 triliun untuk para pekerja terdampak. Selain itu, jumlah penerima manfaat Kartu Sembako ditambah dari 15,2 juta menjadi 20 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Dukungan logistik sembako dan kebutuhan pokok disiapkan senilai Rp25 triliun.

Dalam diskusi tersebut, Hempri menambahkan beberapa aspek untuk memaksimalkan program-program pemerintah. Di antaranya adalah mengupayakan validasi data masyarakat yang benar-benar terdampak dan evaluasi program-program yang sudah dilaksanakan. Hal ini diharapkan bisa menciptakan stimulus jangka panjang untuk mengantisipasi dampak dan risiko penanganan Covid-19, khususnya bagi kelompok marjinal.