Pitpaganda, Pilihan Beriklan di Yogyakarta

Parapitpa Pitpaganda selalu menggunakan alat pengaman helm dan sarung tangan saat membawa reklame.

oleh Kartika Natasha

Menurut Dinas Ketertiban Pemerintah Kota Yogyakarta, terjadi 55 pelanggaran reklame permanen pada 2016. Kacaunya iklan luar ruang ini menjadi peluang bisnis bagi komunitas pesepeda hubforcyclist. Bermodal dana dari Dagadu Djokdja, mereka mendirikan Pitpaganda, sebuah jasa iklan yang membawa reklame keliling dengan sepeda.

Berawal dari keresahan akan banyaknya sampah visual di Yogya, komunitas sepeda hubforcyclist menawarkan jasa iklan alternatif berupa sepeda yang membawa reklame keliling kota. Usaha bisnis bernama Pitpaganda ini telah berjalan selama tiga tahun, dengan klien berjumlah lebih dari dua puluh.

Jamaluddin Latif, pendiri dan pemilik Pitpaganda, mengatakan Pitpaganda berarti sepeda propaganda, pit atau sepeda dan ganda dari propaganda. “Klien kami bukan hanya perusahaan komersial, tapi juga lembaga nirlaba. Kami sering membawa iklan layanan masyarakat,” kata Jamal, saat ditemui di markas Pitpaganda, belakang Yogyatarium Dagadu Djokja (29/5).

Winarta SH (45), koordinator Forum Independen kota Yogyakarta, mengatakan kota ini sudah berhenti nyaman. “Terlalu banyak reklame di Kota Yogyakarta dalam sepuluh tahun belakangan. Sebanyak 55 pelanggaran reklame telah tercatat untuk tahun ini, belum pelanggaran reklame insidental yang jumlahnya lebih banyak. Fasad bangunan dan bahkan gunung Merapi sering tertutupi,” kata Winarta (1/6).

Bayu Laksmono (47), Kepala Seksi Operasional Dinas Ketertiban kota Yogyakarta, mengatakan sebaiknya warga mulai meninggalkan reklame konvensional dan beralih ke reklame kreatif.

“Katanya Yogya gudangnya para seniman, ini peluang yang bagus,” kata Bayu yang ditemui di kantor Dintib (31/5).

Diluncurkan pada Januari 2013, Pitpaganda awalnya bernama BikedAd. Di awal, Pitpaganda mendapat dukungan dari perusahaan Dagadu Djokdja. “Dagadu membantu pendanaan awal karena melihat ide kreatif dan memiliki kepedulian sama terkait lingkungan. Kami pun diberi tempat di belakang kantor Dagadu,” ungkap Jamal.

Dari bantuan dana itu, Pitpaganda membuat tiga sepeda sebagai modal awal.

Sekarang Pitpaganda memiliki enam sepeda. Untuk membuat satu armada, biayanya 2-2,5 juta rupiah. Pembuatan satu armada butuh waktu maksimal satu bulan, karena Pitpaganda belum punya bengkel sendiri.

Berbentuk sepeda modifikasi hasil rancangan Jamal dan anggota hubforcyclist, bagian belakang sepeda dipasang trailer berukuran 100 x 150 cm untuk pemasangan reklame.

Jamal mengungkapkan dirinya belum melakukan uji coba bersama dengan polisi atau pihak pemerintah.

“Sebetulnya kami juga bingung harus menggunakan izin dan uji coba bersama pihak kepolisian atau tidak. Tapi sejauh ini belum ada aturan perihal model periklanan sebagaimana reklame atau baliho konvensional. Kami sudah mencari informasi sampai ke Jakarta, tapi hasilnya nihil,” kata Jamal.

Sejak awal, Pitpaganda belum pernah mendapatkan teguran dari kepolisian. Pemerintah kota juga tidak pernah menanyakan atau melakukan sosialisasi tentang bisnis media alternatif luar ruang.

Salah satu warga berfoto dalam photo booth yang disediakan Pitpaganda dalam car free day di Malioboro akhir Mei 2016.

Menanggapi pernyataan Jamal, pemerintah kota sangat mendukung bisnis reklame unik seperti Pitpaganda.

“Luas wilayah Kota Yogyakarta kecil, ruang publiknya sedikit, dan di setiap ruang publik pasti ada reklame. Selain dibatasi dengan UU Perda baru, mungkin bisnis alternatif ini dapat menjadi salah satu solusinya. Sehingga pilihan tidak selalu reklame konvensional yang tidak ada seninya,” kata Bayu.

Meskipun nantinya akan berdampak pada penurunan pendapatan pajak reklame, pihak pemerintah tampak tidak keberatan. Bagi Pemkot, yang penting, Yogyakarta tidak lagi menjadi hutan reklame.

“Untuk aturan, Pemkot memang tidak mengeluarkan aturan sebagaimana reklame konvensional,” kata Bayu.

Selama tiga tahun operasional, jumlah pekerja atau parapitpa Pitpaganda mengalami kenaikan dari enam menjadi lima belas. Kebanyakan mereka adalah anak SMA, kuliahan, dan pekerja lepas.

Parapitpa dibedakan menjadi dua, yaitu fighter (penggowes banner) dan admin (penggowes yang bertugas untuk publikasi di media sosial). Rata-rata parapitpa menggowes selama empat jam setiap hari.

Banyak klien memilih waktu utama seperti Jumat-Minggu pukul 16:00-20:00 WIB dengan wilayah Alun-Alun Kidul, Nol Kilometer, dan Tugu. Khusus hari Minggu, Pitpaganda juga menyasar Grha Sabha Pramana, Sunmor UGM, dan Car Free Day depan Toko Gramedia atau Kedaulatan Rakyat.

Salah satu klien Pitpaganda adalah Program Pascasarjana Kedokteran Tropis UGM, yang memiliki program sosialisasi terkait ancaman nyamuk demam berdarah bernama Eliminate Dengue Project.

“Pemilihan tempat sangat fleksibel, paketnya juga beragam, oleh karenanya pihak Eliminate Dengue Project mengkontrak Pitpaganda selama setahun. Selain selalu memberikan laporan ke klien melalui media sosial, mereka juga berinteraksi langsung dengan masyarakat,” kata Tori, staf bagian media dalam projek EDP Pasca Sarjana Kedokteran Tropis UGM.

 

Tidak hanya anak-anak, antusiasme para orangtua juga tinggi dalam menyelesaikan teka-teki milik Pitpaganda.

Tidak melulu menggowes, interaksi seperti game dan sosialisasi juga dilakukan parapitpa saat berhenti di tempat keramaian. Ditambah dengan penggunaan kostum dan make up.

“Dengan begitu, iklan terasa hidup dan terlibat langsung dengan warga,” kata Jamal. Beragam kostum disediakan oleh Pitpaganda, klien pun bebas mendesain kostumnya sendiri.

Luwesnya konsep Pitpaganda membuat klien berdatangan. Lebih dari 20 klien sudah bekerja sama dengan Pitpaganda, antara lain Dagadu, JAFF, Kekwa, dan 100% Yogyakarta. Tentang laba, Jamal mengaku bahwa keuntungan yang didapat belum sebesar jasa reklame. Keuntungannya sekitar 1,5 juta per bulan, karena harus dipotong untuk gaji dan perawatan armada.

Rencananya, Jamal dan parapitpa ingin menjadikan Pitpaganda sebagai badan hukum. Namun mereka masih terkendala ketiadaan regulasi.

Di akhir wawancara, Jamal mengungkapkan alasan ia memilih sepeda sebagai alat transportasi.

“Selain karena ramah lingkungan, sepeda juga model transportasi paling lambat, maka tingkat keterbacaan akan menjadi lebih tinggi dan mudah. Terlebih ruas jalan yang pendek dan cenderung datar di Yogyakarta mendukung gerak armada pitpaganda saat tayang dan berinteraksi dengan masyarakat,” katanya. (Kartika Natasha)