Revitalisasi Malioboro: Antara Sejarah dan Perubahan Zaman

Suasana Malioboro tempo dulu yang diabadikan oleh fotografer Kassian Cephas (sumber: Brilio).

Oleh: Namira Putri Y.

Malioboro merupakan salah satu jalan paling populer di Yogyakarta. Karena perubahan zaman, pemerintah mencoba mengubah wajah Malioboro dengan tetap mempertahankan nilai filosofisnya melalui revitalisasi.

  1. Sejarah Malioboro

Awalnya, Jalan Malioboro ditata sebagai sumbu imaginer antara Pantai Selatan (Pantai Parangkusumo) – Kraton Yogya – Gunung Merapi. Sisi Selatan Jalan Malioboro juga berperan penting sebagai saksi sejarah kemerdekaan Indonesia dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949.

  1. Latar belakang “wajah baru” Malioboro
Gubernur DIY Sri Sultan HB X memperlihatkan rancang bangun Titik Nol Kilometer Yogya pada Selasa, 26 September 2017 (sumber: Republika).

Wacana memperbarui Malioboro muncul secara resmi dalam pidato Sri Sultan Hamengkubuwono X saat sidang paripurna DPRD DIY pada 21 September 2012. Sultan menyerukan “Yogyakarta Menyongsong Peradaban Baru” sebagai visi Yogyakarta 2012-2017 yang kemudian diejawantahkan sebagai pembangunan.  Perlahan tapi pasti, rencana tersebut mulai diwujudkan. Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta melakukan sinkronisasi program pengembangan kawasan strategis keistimewaan DIY dengan Pemerintah Daerah (Pemda) DIY dan mempersiapkan APBD yang dibutuhkan. Salah satu programnya adalah revitalisasi yang dilakukan untuk mengembalikan kawasan strategis seperti Malioboro kepada bentuk aslinya.

Untuk Malioboro, Sultan mendesak revitalisasi segera dilakukan mengingat kemacetan yang semakin parah terutama di akhir pekan. Program ini juga bertujuan mengoptimalkan fungsi tanah-tanah milik PT KAI agar memiliki nilai ekonomis untuk pertumbuhan ekonomi DIY.

  1. Revitalisasi Tahap 1

Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, energi, dan Sumber Daya Mineral (PUP ESDM) DIY Rani Sjamsi Narsi menjelaskan pembangunan fisik sarana prasarana pedestrian Malioboro tahap I dimulai dari depan Hotel Inna Garuda hingga sebelum Pasar Beringharjo.

Pembangunan tahap satu seharga 23,7 miliar rupiah yang dimulai sejak 3 September 2015  itu meliputi pemasangan lantai teraso yang dilengkapi jalur difabel sepanjang 910 meter dengan luas 10,750 meter persegi.

Fasilitas lain yang disediakan antara lain: tiga keran air siap minum di Jalan Malioboro, yakni di antara depan kantor DPRD DIY dan Hotel Inna Garuda, depan kantor Gubernur DIY, dan depan Pasar Beringharjo; street furnitures meliputi 94 unit tempat sampah, 115 unit kursi sandaran, 54 unit kursi tanpa sandaran dan 413 unit bollard pembatas dengan ikon-ikon Jogja Istimewa; dan 68 unit bollard bulat. Vegetasi seperti 71 batang pohon asam jawa, 9 batang gayam, serta tanaman perdu soka warna kuning, merah, jingga, sebanyak 917 meter persegi juga akan ditambahkan di kawasan tersebut.

  1. Revitalisasi tahap II
Pekerja menyelesaikan revitalisasi jalur pedestrian di depan Pasar Beringharjo pada Kamis (16/3) (sumber: Metrotvnews.com)

Setelah merampungkan revitalisasi tahap I, Malioboro kembali mengalami revitalisasi tahap II yang dimulai dari Pasar Beringharjo sampai Titik Nol. Pengerjaannya dimulai sejak 7 Maret 2017 dan rampung pada 240 hari kerja atau sekitar November 2017 serta menghabiskan dana 17 miliar rupiah.

Revitalisasi Malioboro tahap II ini meliputi pembangunan toilet bawah tanah di Titik Nol, penataan pasar Beringharjo sisi barat dan Timur serta parkit di Pasar Sore dan Toko Ramai. Ada pula penyediaan fasilitas baru berupa: 106 kursi yang terbuat dari kombinasi kayu jati dan besi cor serta kursi-kursi dari teraso sebanyak 144 kursi; tempat sampah dan asbak; 2 titik fasilitas air minum gratis, yakni di depan Gedung Agung dan di belakang halte Trans Jogja yang ada di depan benteng Vredeburg; serta vegetasi seperti pohon Asam Jawa dan Gayam.

  1. PKL & program “Selasa Wage”
Untuk pertama kali pada Selasa (26/9/2017), Reresik Jogja atau Reresik Malioboro diadakan, yakni pembersihan pedestrian Malioboro oleh jajaran Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) Pemkot Yogyakarta bersama para pedagang. Program ini rencananya dijadikan sebagai ‘hari libur’ bagi PKL tiap Selasa Wage (sumber: Tribunnews.com).

Jumlah PKL di Malioboro diperkirakan mencapai 3.500 orang. Ketua Pusat Studi Ekonomi Keuangan dan Industri Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UPN Veteran Yogyakarta Ardito Bhinadi mengatakan PKL diakui memiliki kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi di DIY meskipun besarannya belum diketahui secara pasti. Namun keberadaan PKL saat ini memang sudah membuat ruang bagi pejalan kaki menjadi sesak, kurang nyaman di kawasan Malioboro.

Sebagai upaya revitalisasi, pemerintah kota Yogyakarta mencetuskan kegiatan Reresik Jogja & pembuatan sentra PKL di bekas bioskop Indra. Reresik Jogja atau Reresik Malioboro yaitu mengistirahatkan pedestrian Malioboro selama satu hari alias ‘meliburkan’ PKL setiap Selasa Wage. Pihak PKL merespon pembuatan sentra PKL dengan penolakan. Mereka memilih untuk ditata ketimbang dipindahkan ke lokasi baru.

  1. Dampak Revitalisasi

Revitalisasi kawasan Malioboro banyak berdampak bagi kehidupan masyarakat sekitar, salah satunya penataan Stasiun Tugu yang mengharuskan lapak-lapak warung di kawasan Bong Suwung yang tidak jauh dari Pasar Kembang dan berusia puluhan tahun ditertibkan oleh PT KAI Daop 6 pada Rabu, 5 Juli 2017. Revitalisasi tahap II juga mengganggu wisatawan & pejalan kaki karena adanya pengerukan besar-besaran. Pihak Dinas Pekerjaan Umum berusaha mengatasi hal tersebut dengan menambah rambu bagi pejalan kaki.

  1. Tanggapan Warga

 

#RevitalisasiMalioboro mendapat respon melimpah dari warganet di Twitter menurut data hashtag tracking yang dilansir via @kominfodiy pada 17 Juli 2017 pukul 11.40 (sumber: twitter @TravellerKaskus)

Segelintir pengunjung Malioboro salah satunya Ariyanto, asal Bantul, merasa suasana Malioboro terasa lebih nyaman pasca revitalisasi.  Lain lagi dengan Wiwin, seorang difabel yang merasa kurang puas karena kesulitan mengakses fasilitas trotoar difabel. Ia merasa trem di trotoar kurang landai sehingga menyulitkan pengguna kursi roda seperti dirinya. Dr. Ahmat Soleh selaku Ketua Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) DIY menilai perlu adanya ujicoba selama 3 bulan untuk warga difabel untuk dapat memutuskan kelayakan ruang pejalan kaki tersebut.

Memasuki Selasa Wage alias Reresik Jogja, fenomena ‘hilangnya’ PKL menimbulkan beragam reaksi dari wisatawan. Gusyen, perempuan asal Makassar mengaku senang bahkan turut berpartisipasi dalam kegiatan bersih-bersih yang diselenggarakan Pemerintah Kota Yogyakarta. Senada, Putri dari Riau menuturkan, kegiatan ini memang bagus karena demi kepentingan bersama. Namun, suasana Malioboro yang kosong dari pedagang kaki lima membuat sebagian wisatawan juga bingung. Astri, salah satunya, mengaku sempat kebingungan mencari oleh-oleh melihat Malioboro yang ternyata tidak ada pedagang kaki lima sama sekali.

  1. Kondisi Pasca Revitalisasi
Salah satu “wajah baru” Maliboro setelah melewati tahap revitalisasi (sumber: Kompasiana)

Revitalisasi tidak lantas membuat semua orang berkomitmen menjaga kawasan Malioboro tetap bisa dinikmati wisatawan dengan nyaman. Tantangan baru mencuat pasca revitalisasi Malioboro: kebersihan. Bukti nyatanya adalah PKL dan pengunjung yang membuang sampah sembarangan.

Bak penangkap limbah pedagang kaki lima (PKL) di sejumlah titik di Jalan Malioboro dipenuhi lemak karena tak pernah dibersihkan. Kepala Seksi Obyek Daya Tarik Wisata Dinas Pariwisata DIY, Wardoyo, mengatakan bahwa masih banyak orang membuang sampah di saluran air bahkan di daerah resapan air untuk pohon perindang, meski telah banyak disediakan kantong pembuangan.

Menurut Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Bappeda DIY, Ni Made Dwi Panti Indrayanti, hal tersebut kemungkinan karena masyarakat kurang familiar dengan tempat sampah di area pedestrian yang berwarna senada dengan lantai area pedestrian berbahan teraso & terlihat seperti ornament penghias.

Pejabat Kota Yogya, Sulistiyo, mengaku sudah rutin memberikan pembinaan kepada  melalui UPT Malioboro. Namun jika masih tidak mempan, maka langkah represif terpaksa dilakukan. Salah satunya dengan penerbitan regulasi, pencabutan izin dagang, maupun pemberian sanksi bagi pengunjung, PKL serta semua pelaku yang melanggar.

  1. Masa Depan Malioboro

Pemerintah Daerah (Pemda) DIY terus menata Malioboro dan sekitarnya. Malioboro sampai dengan Titik Nol Kilometer akan diubah menjadi kawasan semi pedestrian secara menyeluruh pada 2021. Menurut master plan Pemda, penataan Malioboro dan Titik Nol Kilometer sudah dimulai sejak 2014 dan berakhir pada 2021. Penataan PKL di sisi barat Malioboro dilakukan pada 2018. Bekas gedung bioskop Indra akan dimanfaatkan sebagai lokasi PKL berjualan.

Pada 2019, penataan dilakukan sampai Jalan Margoutomo atau Mangkubumi. Pada 2020 sampai 2021 penataan dilakukan sampai Jalan Panembahan Senopati termasuk mengatur PKL serta parkir yang berada di tempat itu. Pada 2019 sampai 2021 akan dibangun Jogja Planning Gallery yang menempati gedung eks Dinas Pariwisata DIY. Bangunan yang dibuat tiga lantai ini akan menceritakan masa lalu, masa kini, dan masa depan Jogja. Sementara, Kantor Dinas Pariwisata akan dipindahkan dari Malioboro ke Jalan Taman Siswa.