Revitalisasi Sumbu Filosofis, Meleset dari Target

Pembangunan teraso, yang ditargetkan selesai akhir Juni, baru dimulai di sisi utara depan Hotel Inna Garuda.

oleh Dendi Prasetyo

Setelah Malioboro bersih dari parkir kendaraan di sisi timur, pembangunan fisik dalam rangka revitalisasi sumbu filosofis sudah berjalan. Revitalisasi ini mencakup pembangunan Malioboro menjadi semi-pedestrian dan penanaman pohon asli kawasan itu. Namun, pembangunan yang menelan dana Rp 24 miliar ini meleset dari perencanan.

Kepala Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Energi Sumber Daya Mineral (PUP dan ESDM) DIY Rani Sjamsinarsi mengatakan, revitalisasi Malioboro pada 2016 memiliki dua paket pekerjaan fisik di sisi timur Malioboro. Paket pertama dari depan Hotel Garuda ke Hotel Mutiara yang dikerjakan oleh kontraktor pemenang tender PT. Suci Karya Badinusa senilai Rp 13,8 miliar.

“Revitalisasi ini mencakup berbagai aspek pembangunan dan akan berjalan sesuai dengan rencana. Malioboro akan dikembalikan secara aspek tangible dan intagible sesuai filosofisnya,” kata Rani Sjamsinarsi saat ditemui di kantornya (7/6).

Pembangunan ini juga sudah mulai terlihat di depan Hotel Inna Garuda. Di sana, pekerja sudah melakukan penggalian dan pengecoran beton sebagai pelapis teraso. Pekerja juga menggali tanah yang nantinya akan ditanami pohon asem dan gayam sebagai vegetasi asli kawasan tersebut.

Menurut KRT. Jatiningrat (Rama Tirun), Penghageng Tepas Dwarapura Kraton Kasultanan Yogyakarta, apabila memang benar dikembalikan secara filosofis, itu akan menambah nilai historis dan filosofisnya.

“Karena dua pohon itu yang membuat Malioboro jadi hidup. Asem berarti agawe kesengsem (menyenangkan hati) dan Gayam itu memiliki makna memberikan keteduhan. Itu yang terjadi di daerah Malioboro saat Ngarsa Dalem yang pertama jumeneng (bertahta),” tutur Rama Tirun.

Namun, sudah satu bulan berjalan, pembangunan fisik ini dianggap tidak sesuai dengan target. Wahyu Budianto, juru bicara kontraktor PT. Suci Karya Baninusa, mengatakan bahwa ada kendala yang menyebabkan pembangunan fisik ini meleset dari target sebelumnya.

“Targetnya 29 Juni trotoar dari ujung utara Malioboro sampai di depan DPRD DIY sudah akan terpasang teraso modern. Dengan begitu pengunjung yang datang saat libur lebaran sudah bisa mengintip hasil proyek revitalisasi,” kata Wahyu. Akan tetapi hingga saat ini hal itu belum sesuai target karena perbedaan antara dokumen desain dan kondisi lapangan.

Ketidakcocokan itu menurutnya ada di beberapa hal. Setelah pembongkaran batuan candi dan trotoar, ditemukan adanya saluran drainase yang itu tidak terdapat di dokumen perencanaan. Selain itu penanaman kabel jaringan komunikasi yang ditanam secara serabutan. Kedua hal ini yang menghambat proses pembangunan fisik.

“Akan ada sedikit perubahan dan itu tidak sesuai dengan dokumen perencanaan, yakni penanaman dua pohon vegetasi Malioboro yang posisinya akan agak maju,” tutur Wahyu.

Sesuai dengan dokumen perencanaan, revitalisasi sumbu filosofis merupakan amanat dari Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta No 13 tahun 2012, sehingga pendanaannya juga berasal dari dana keistimewaan (danais).

Zuhrif Hudaya, Ketua Komisi C DPRD Kota Yogyakarta, menyayangkan revitalisasi besar-besaran ini.

“Ternyata dibongkar total seperti ini. Lalu, untuk apa kita keceh-keceh anggaran revitalisasi Malioboro dulu itu? Anggaran itu mubadzir,” kata Zuhrif.

Yang dimaksud Zuhrif adalah revitalisasi Malioboro oleh Pemerintah Kota Yogyakarta di tahun anggaran 2010-2012. Saat itu, revitalisasi Malioboro menghabiskan dana sekitar Rp 1,9 miliar.

Lalu saat ini, anggaran negara digelontorkan dalam jumlah yang tidak sedikit, yakni 24 miliar dari anggaran dana keistimewaan 2016. Dana ini masih akan terus digelontorkan hingga 2019 dengan total anggaran sekitar 125 miliar.

“Semoga ini menjadi revitalisasi Malioboro yang terakhir,” kata Zuhrif.