Keberagaman Lewat Semangkuk Mi Ayam di Yogyakarta

Karyawan warung “Mie Ayam Dua Putra Sarirasa Jatiayu” menghidangkan semangkuk mi ayam ceker kepada pelanggan. Mi ayam di sini menggunakan kuah cokelat kental (21/3/2021).

Oleh: Yogama Wisnu Oktyandito

Bertahun-tahun, mi ayam menjadi salah satu kuliner masyarakat Yogyakarta. Makanan berbahan dasar tepung terigu ini diolah oleh pedagang mi ayam dengan beragam ciri khas. Di balik itu, mi ayam menjadi cerminan keberagaman dan pantang menyerah masyarakat di Yogyakarta.

Selama tiga hari, saya menelusuri keberagaman itu di empat wilayah Yogyakarta, yakni utara, timur, selatan dan barat. Warung-warung mi ayam yang saya sambangi bukanlah warung biasa. Sebab dari tangan dingin dan pengalaman puluhan tahun, lahir beragam cita rasa mi ayam yang memiliki kekhasan tersendiri.

Saya memulai perjalanan dari wilayah utara, kemudian berputar searah jarum jam hingga berakhir di barat Yogyakarta.

Suwarto Berprinsip untuk Selalu Beda dengan Pedagang Lain

Di wilayah utara, saya mendatangi “Mie Ayam Pak To” yang terletak di Jalan Anggajaya 2, Kabupaten Sleman. Posisi warung ini menyempil di antara sebuah bengkel mobil dan swalayan.

Suwarto, pemilik dari warung yang berusia dua dekade ini mengingat kembali masa-masa awal berjualan.

“Saya aslinya dari Wonogiri. Awalnya ngikut orang jualan mi ayam di Jakarta tahun 90-an. Akhirnya buka warung sendiri di Jogja tahun 2000,” ucap Suwarto saat ditemui di warung miliknya, Sabtu (20/3/2021).

Pak To, sapaan akrabnya, membuat olahan mi dan ayamnya sendiri. Setiap jam lima hingga sembilan pagi, ia mengolah mi yang diklaim masih layak digunakan hingga 12 jam.

Suwarto menunggu pelanggan datang ke warungnya pada Sabtu siang. Biasanya ia berjualan ditemani dua anak laki-lakinya yang bertugas membuat minuman (20/3/2021).

Sebagai penjual mi ayam, ia berprinsip untuk selalu berbeda dari penjual lainnya.

“Kalau saya ayamnya disuwir. Di antara penjual mi ayam asli Wonogiri di Jogja, jarang yang penyajian ayamnya disuwir. Saya salah satunya,” kata Suwarto.

Suwarto menyebut ia terus berusaha untuk menyajikan mi ayam yang enak, banyak dan terjangkau.

“Kalau di sini satu porsi biasa seharga sembilan ribu, tapi sudah dapat segini,” ujarnya sembari menelungkupkan tangan di atas mangkuk kosong untuk menggambarkan porsi yang menggunung.

Semangkuk mi ayam ekstra ayam dibanderol seharga Rp12.000 (20/3/2021).

Teriknya sinar matahari semakin membakar diri saya yang tengah menyantap semangkuk mi ayam. Setelah berbincang, saya beranjak dari warung tersebut dan menuju warung mi ayam lainnya.

Sularso Ingin Menjaga Usaha Keluarganya dengan Tak Merekrut Pegawai dari Luar

Sayangnya, saya kalah cepat dengan pelanggan-pelanggan yang lebih dahulu sampai di “Warung Es Tape dan Mie Ayam Sompel”. Warung ini terletak di Jalan Gatotkaca, Banguntapan, Bantul.

Akhirnya, pada Senin siang (22/3/2021), saya kembali menyambangi warung ini dan bertemu dengan Lia (39), anak pertama Sularso (63), pemilik warung ini. Namun, saya tak dapat berbincang dengan Sularso, sebab ia masih menjalani perawatan pasca strok.

Lia dan dua adiknya meracik mi ayam yang akan diantar ke meja para pelanggan. Satu porsi mi ayam biasa dihargai Rp9.000 (22/3/2021).

Lia bercerita tentang sejarah warung yang didirikan bapaknya pada 1980.

“Dahulu letaknya bukan di sini, tapi di utara jalan dari warung yang sekarang. Dahulu di situ ada bok (bekas tembok/pembatas) yang bentuknya menyudut dan sudah pecah. Lalu, bapak tempati untuk berjualan pakai gerobak. Nah, banyak pelanggan bapak yang memberi nama es tapai dan mi ayam bok sompel (tembok yang pecah sedikit),” ujarnya (22/3/2021).

Pada 2007, mereka pindah ke tempat yang sekarang. Sebab tanah sebelumnya akan digunakan pemilik aslinya untuk berjualan sayur.

Keunikan warung ini terletak pada kuliner es tapai dan mi ayam yang dijadikan menu andalan. Menurut Lia, hal itu dilakukan agar menunya komplit dan beragam, sehingga orang-orang memiliki banyak pilihan ketika makan di sini.

Lia dan dua adiknya sudah diajak orang tuanya berjualan sejak kecil. Sularso enggan jika harus merekrut pegawai. Alasannya, Sularso ingin warungnya menjadi usaha keluarga saja.

“Kata bapak biar rezekinya untuk anak dan cucunya. Berapa pun rezeki yang didapat harus disyukuri,” ujar Lia.

Selama ikut berjualan, Lia kerap membaca komentar orang-orang di internet tentang warung keluarganya, baik yang positif maupun negatif. Namun, ia tak terlalu mempersoalkannya.

“Ada yang bilang legendaris, ya disyukuri. Ada yang bilang tidak enak, ya diterima saja. Lidah dan selera orang kan berbeda-beda. Yang penting, kami tak membalasnya dengan komentar negatif,” ujarnya.

Satu mangkuk “Es Tape Sompel” dibanderol seharga Rp6.000. Dalam sehari, biasanya Sularso menghabiskan 2-3 termos tapai (22/3/2021).

Setelah makanan saya tiba, tak butuh waktu lama sampai saya menghabiskannya. Rasa rempah pada mi ayam sangat kentara. Ayam berwarna cokelat tua yang dipotong dadu dan kuah berwarna cokelat pekat menjadi buktinya.

Sementara itu, es tapai yang mulai mencair ini tak membuat enek. Gabungan tapai, isi buah kelapa dan kental manis menjadi minuman yang cocok untuk mengimbangi rasa dari mi ayam.

Meski Anyar, Ari telah Merasakan Tetek Bengek Berjualan Mi Ayam

Beranjak dari barat, saya menuju warung mi ayam di selatan Yogyakarta bernama warung “Mie Ayam Dua Putra Sarirasa Jatiayu”. Sesaat sampai di sana, saya gagal bertemu dengan pemilik warung, Ari Suta (37). Sebab, ia baru saja pulang kampung ke Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul.

Alhasil, saya berbincang dengan Sunoto, kakak dari Ari Suta dan Narif, tetangga Ari Suta yang memiliki hubungan keluarga dengannya. Keduanya bercerita tentang sejarah warung ini.

Ari Suta mendirikan warung ini pada 2012. Ia mengajak anggota keluarganya untuk membantu berjualan, seperti kakak dan ponakannya. Nama “Dua Putra” dipilih karena Ari memiliki dua anak laki-laki yang masih duduk di bangku SMP dan PAUD.

“Tujuannya supaya membedakan dengan warung mi ayam sarirasa jatiayu yang lain,” kata Narif sembari mengambil mi mentah dari kantong plastik (21/3/2021).

Menurut Narif, konon seluruh penjual jenis mi ayam “sarirasa jatiayu” berasal dari Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul. Ia mengatakan kebanyakan para penjualnya masih memiliki hubungan keluarga.

“Warung Bu Tumini 2 yang mengelola anak Bu Tumini langsung, kalau Pak Ari Suta ini ponakannya,” ucapnya penuh semangat.

Narif, karyawan di warung “Mie Ayam Dua Putra Sarirasa Jatiayu” menuangkan kuah ke dalam mangkuk berisi mi. Harga semangkuk mi ayam biasa di sini adalah Rp9.000 (21/3/2021).

Meskipun tergolong baru, Ari dan keluarganya telah merasakan tetek bengek berjualan mi ayam. Pada awal pandemi COVID-19, warungnya sempat tutup selama dua bulan penuh.

“Sebelum pandemi bisa menghabiskan mi sebanyak 22 kg/hari. Saat awal pandemi hanya 17 kg. Syukurnya kini terus naik hingga 30 kg saat akhir pekan,” ujar Sunoto.

Sementara itu, Sunoto dan Narif mengaku tak memproduksi sendiri olahan mi untuk warungnya, melainkan membeli dari Bu Tumini. Namun, mereka memasak sendiri olahan ayam dan kuahnya. Menurut mereka, tujuannya agar berbeda dari yang lain dan pembeli bisa memilih mana yang mereka sukai.

Jika mi ayam Bu Tumini hanya menonjolkan rasa manis, mi ayam “Dua Putra” lebih dari itu. Selain manis, mi ayam ini juga memiliki rasa pedas dari merica dan rasa kecut dari daun jeruk. Potongan ayamnya pun tak tanggung-tanggung. Selain banyak, ukurannya yang selebar jempol orang dewasa juga membuat saya puas menyantapnya.

Berjualan Sejak 1995, Hadi Prayetno Kini Tinggal Menikmati Hidupnya

Setelah itu, saya melanjutkan perjalanan menuju wilayah barat Yogyakarta, tepatnya di Kabupaten Kulonprogo. Saya mengunjungi warung “Bakso Mie Ayam Pakde Wonogiri” di Jalan Karang Tengah Kidul.

Saya bertemu dengan Hadi Prayetno (65), pemilik warung yang baru berdiri pada 2019 di Jogja. Namun, sebelumnya ia sudah berjualan mi ayam sejak 1995 di Lampung. Ia diminta oleh anaknya untuk kembali ke Jawa agar bisa berkumpul bersama keluarga.

“Misalnya dibilang baru, ya benar. Misalnya dibilang lama, ya ndak salah juga,” ujar Prayetno sambil mengingat kembali masa awal merantau pada 1959 (21/3/2021).

Tekstur mi ayam di warung “Mie Ayam Pakde Wonogiri” cenderung kecil. Semangkuk mi ayam biasa dihargai Rp8.000 (21/3/2021).

Separuh hidupnya ia habiskan di tanah perantauan. Sejak usia tiga tahun, kemudian bersekolah, menikah, memiliki empat anak hingga berjualan mi ayam ia jalani di Lampung.

Prayetno mengingat kembali jerih payahnya berjualan menggunakan gerobak selama sembilan tahun di Lampung. Ia tak ingin keempat anaknya merasakan apa yang dirasakannya dahulu.

“Cukup orang tua yang susah, anaknya ndak usah. Supaya anak-anak bisa hidup, sekolah, usaha dan sukses,” katanya.

Ia memiliki prinsip yang selalu ia katakan kepada anak-anaknya, yaitu jangan pernah menyakiti hati orang lain. Sebab menurutnya, satu orang saja yang merasa tersakiti, maka seribu orang yang lain bisa ikut tersakiti juga.

Saat ini, Prayetno mengatakan tinggal menikmati hidupnya. Sehari-hari, ia hanya mengunjungi warungnya untuk melepas rasa jenuh karena di rumah.

Semangkuk mi ayam ekstra ayam di warung “Bakso Mie Ayam Pakde Wonogiri” dibanderol dengan harga Rp11.000 (21/3/2021).

Soal rasa, mi ayam ini dominan gurih dan asin yang berasal dari kaldu ayam. Namun yang lebih istimewa adalah potongan ayam yang ditebar sampai memenuhi bibir mangkuk.

Perjalanan 33 km yang saya tempuh dari wilayah selatan Yogyakarta setimpal dengan nikmatnya semangkuk mi ayam ekstra ayam di warung ini.

Sampai pada Minggu sore (21/3/2021), saya pulang dan menyudahi perjalanan ini dengan pikiran tertuju pada satu kesimpulan.

Dibalik setiap cita rasa mi ayam, ada usaha dan pengalaman bertahun-tahun para pengrajinnya. Mereka menguras habis waktu dan tenaga demi menafkahi keluarga. Perbedaan cita rasa setiap mi ayam semestinya bukan menjadi alasan untuk menghakimi seenaknya. Sebab arti keberagaman bukan milik satu orang saja.