Batik Eco-print, yang Sederhana Jadi Barang Mahal

Workshop batik eco-print oleh Putut Ardianto di bawah jembatan edukasi Siluk Imogiri, Bantul (9/9)

 

Amalia Miftachul Chasanah

Batik eco-print, yang bisa dibuat dalam waktu singkat, memiliki harga jual tinggi di pasaran. Popularitasnya naik pesat di Indonesia pada 2017, salah satunya karena tren gaya hidup masyarakat ramah lingkungan.

Kain batik menjadi tren busana beberapa tahun ini. Tidak sebatas pada batik tulis dan batik cap saja, tetapi berkembang pada batik kontemporer, salah satunya adalah batik eco-print. Sesuai dengan namanya, eco dari kata ekosistem (alam) dan print yang artinya mencetak, batik ini dibuat dengan cara mencetak bahan-bahan yang ada di alam, salah satunya daun.

Proses pembuatan batik ini diawali dengan pengolahan kain atau mordanting. Sebelum dibatik, kain direndam terlebih dulu dengan menggunakan air campuran tawas selama satu jam. Cara ini dilakukan untuk mempertahankan warna dasar kain, dan membuka pori-pori kain agar gambar dapat tercetak. Dilanjutkan dengan pengeringan di bawah sinar matahari.

Selanjutnya dapat dilakukan proses pencetakan. Kain dibagi menjadi dua sisi simetris, satu sisi menjadi alas, dan sisi yang lain berfungsi seperti kaca. Objek yang akan dicetak pada kain adalah daun jati. Daun yang dipilih harus yang muda, agar bisa mengeluarkan warna.

Daun ditata sedemikian rupa di satu sisi kain, kemudian sisi yang lain dijadikan penutup. Setelah itu, kain dipukul-pukul dengan palu atau batu. Kekuatan dalam memukul harus dikontrol, agar daun tidak hancur. Kemudian, kain tersebut dilipat menjadi bagian yang lebih kecil dengan tetap mempertahankan posisi daun agar tidak bergeser. Kain yang sudah terlipat, diikat kencang dengan tali kenur.

Tahapan selanjutnya adalah pengukusan agar warna daun keluar. Lipatan kain tersebut dikukus selama setengah hingga satu jam pada suhu 100 derajat Celcius.

Setelah proses pengukusan tersebut, batik sudah terlihat tercetak di kain. Kain dibersihkan dari sisa daun yang menempel. Tahap terakhir yakni fiksasi. Proses fiksasi dilakukan dengan merendam kain yang sudah dibatik dengan air campuran tawas. Proses ini berguna untuk mengikat motif dan warna yang sudah tercetak di atas kain. Setelah satu jam perendaman, kain batik eco-print dapat dijemur dibawah terik matahari.

 

Warna batik eco-print dipengaruhi oleh warna dasar kain dan jenis daun yang digunakan (Bantul, 9/9)

 

Ditemui dalam kegiatan workshop-nya di Selopamioro Imogiri Bantul, Putut Ardianto (33) menjelaskan bahwa batik eco-print pertamakali digagas oleh seorang warga negara Australia bernama India. Keterampilan membuat batik eco-print diperoleh Putut dari rekannya yang lebih dulu mengenal batik jenis ini.

Melihat peluang yang besar, salah satunya pada ketersediaan bahan baku, Putut bertekad untuk mulai mengembangkan batik ini. Di tahun-tahun sebelumnya, tren batik yang berkembang adalah jumputan, sibori dan itajime. Tahun 2017, popularitas tiga jenis tersebut bisa bergeser dengan kehadiran batik eco-print. Salah satunya karena tren gaya hidup masyarakat yang ramah lingkungan.

 

Warga negara asing turut belajar membuat batik eco-print (Bantul, 9/9)

 

Workshop batik eco-print oleh Putut, diikuti berbagai kalangan. Dari mulai ibu rumah tangga, guru, karyawan, hingga mahasiswa. “Kami akan ajarkan ini untuk anak-anak PAUD, bisa melatih motorik anak dan belajar mengenal warna,” kata Siti Fatonah (34), peserta workshop.

Dari workshop Putut, banyak masyarakat terinspirasi untuk membangun bisnis batik eco-print. Hal ini karena harga jualnya cukup tinggi. Di jakarta, kain batik eco-print semi sutra ukuran 2 x 2 meter dijual dengan harga 1, 2 juta rupiah.  “Semoga mampu memberdayakan perempuan, agar tidak hanya menjadi pendukung dalam keluarga,” kata Putut Ardianto.

 Nilai jual batik eco-print semakin tinggi ketika telah menjadi busana siap pakai (Bantul, 9/9)

Dukungan positif datang dari Dinas Pariwisata Kabupaten Bantul, yang saat itu hadir menyaksikan workshop batik eco-print. “Kami akan dukung melalui kerjasama pokdarwis,” kata Ni Nyoman Yudiriani, Kepala Bidang Pemasaran Dinas Pariwisata Kabupaten Bantul.

 

Unggahan hasil batik eco-print pada akun Instagram milik Putut Ardianto (9/9)

Koleksi batik eco-print lainnya bisa dilihat di sini.