Cac.tee, Bisnis Kaktus dengan Misi Edukasi

Beragam kaktus Cac.tee yang siap dijual, tersimpan di Tempel, Sleman, Yogyakarta (4/4)

Oleh: Dian Pitaloka

Dibandingkan hewan, merawat tanaman dapat menjadi pilihan yang lebih mudah jika Anda menginginkan sesuatu sebagai teman, tetapi tidak ingin terlalu repot mengurusnya.  Apalagi jika tanaman itu hanya butuh perhatian seminggu sekali. Jika ini yang Anda cari, kaktus yang dijual oleh Cac.tee bisa menjadi pilihan.

Belum ada setahun sejak Cac.tee pertama kali didirikan oleh Alfauzi (Ozy), mahasiswa tingkat akhir fakultas psikologi Universitas Ahmad Dahlan, bersama dua orang temannya. Bermula dari kekhawatiran Ozy ketika berkeliling di kota asalnya, Banjar, lebaran 2017 silam. Ia merasa bosan dan tidak menemukan tempat yang spesial, sampai ketika ia menemukan sebuah toko tanaman kecil yang menginspirasinya untuk membuka yang serupa di Yogyakarta.

Motivasinya memilih kaktus diturunkan oleh ibunya yang telah banyak merawat kaktus sejak ia SMA. Awalnya, Ozy mengira belum ada bisnis kaktus yang serupa di Yogyakarta. Namun tidak lama setelah Cac.tee berjalan, ia menemukan bisnis kaktus lainnya yang berlokasi di jalan Parangtritis.

Meskipun begitu, ia merasa Cac.tee memiliki ciri khas dan daya saing dari pebisnis kaktus lainnya. Selain menargetkan pasar dengan harga di bawah 200 ribu, Cac.tee juga memiliki segmen yang bermain dengan pasar yang berada di angka jutaan rupiah. Kaktus-kaktus yang dijual pada pasar premium ini tidak tumbuh di Indonesia, sehingga harus diimpor dari Jepang, China, dan Thailand.

Pembeli kaktus dapat mengajukan permintaan lukisan pada pot (4/4)

Keunikan lain yang dimiliki Cac.tee adalah pot-pot indah yang menyertai setiap kaktus. Pot tersebut hasil dari kerjasama dan pemberdayaan yang dilakukan Ozy dengan tetangganya, seorang pengrajin tanah liat, alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Ada pot polos yang dapat dilukis sesuai request dari pembeli, dan ada juga cracked pot yang dibuat dengan tangan. Sementara lukisan yang ada di pot merupakan hasil lukisan tangan Ozy sendiri.

Saat ini, sebagian besar kaktus-kaktus Cac.tee dikelola dan disimpan dalam green house yang berlokasi di Turi, Sleman. Sebagian lainnya masih disimpan di rumah pribadi Ozy, karena selama ini Cac.tee memang dijalankan dengan sistem online via Instagram dan grup Facebook pecinta kaktus se-Asia Tenggara, sehingga proses penyimpanannya pun masih berupa home storing saja.

Namun saat ini, Ozy sedang berusaha mencari tempat untuk membuka toko offline di Jalan Kaliurang. Ia juga memiliki misi untuk membuat website yang akan digunakan untuk menggunggah konten edukasi kepada pelanggannya, seperti cara merawat kaktus dengan benar.

“Yang saya sayangkan dari penjual tanaman online, mereka kurang memberikan edukasi ke pembeli tentang cara merawatnya. Kami ingin berbagi di web itu, ini kaktus dari sini, perawatannya seperti ini, ini bagus untuk dekorasi, dan sebagainya,” kata Ozy.

Ia menambahkan dirinya sering sedih saat ada konsumen yang membeli kaktus beberapa minggu lampau kemudian memberitahu, “’Mas, kaktus saya mati,’” kata Ozy.

Edukasi semacam ini sudah ia berikan pada pelanggan-pelanggannya di pasar harga yang lebih rendah, yang juga dijual di pasar Sunday Morning(Sunmor).

Isvi Mega adalah salah satu mahasiswi yang pernah membeli kaktus di stan hari Minggu itu, untuk menyalurkan hobinya bercocok tanam. Sebelum merantau ke Yogya, ia memiliki kebun yang luas di rumahnya. Namun sebagai mahasiswa dengan tempat tinggal yang luasnya terbatas, ia memilih untuk memelihara kaktus yang tidak membutuhkan perhatian banyak.

Isvi mengaku diberitahu oleh penjual untuk memangkas kaktusnya dan memindahkan anakannya ke pot baru, serta mengganti media tanam beberapa lama sekali. Namun, sampai hari ini ia belum pernah melakukannya, terkendala media tanam dan pot yang sulit ditemukan.

Lain dengan Natasha, pemilik kaktus lainnya yang baru belakangan ini memiliki ketertarikan terhadap kaktus. Awalnya ia memiliki sebuah kaktus yang diberikan sebagai hadiah oleh temannya, lalu tertarik untuk membeli lagi ketika melihatnya di Sunmor. Namun ia mengaku terkadang benar-benar lupa bahwa kaktus tersebut masih merupakan tanaman yang harus disiram, dan terkadang mengabaikannya berminggu-minggu tanpa disiram.

“Kaktus kalau kena banyak air mati, jadi aku biarkan saja dia jadi pajangan meja. Kadang malah terlupakan. Ketika ada yang main ke kos dan tanya, baru ingat kalau kaktusnya sudah lama belum disiram. Namun sisi baiknya, meskipun dilupakan lama dia juga tetap hidup. Aku jadi ingin punya satu lagi untuk menambah hiasan di meja.”