Dinamika Bisnis Konveksi di Denpasar dalam Masa Pandemi

Gudang penyimpanan Ratu Patni yang sedang memproduksi baju seragam mahasiswa (16/11).

Oleh: A.A. Gede Ananda Murti

Bisnis konveksi di Denpasar mengalami tantangan luar biasa pada masa pandemi ini, baik perusahaan yang berskala besar, menengah, maupun kecil.

Salah satu bisnis konveksi berskala besar adalah Ratu Patni, dengan 24 karyawan dan bekerjasama dengan puluhan penjahit rumahan. Parwathi (70), pemilik bisnis konveksi Ratu Patni mengatakan bahwa dirinya harus menjual dua buah mobilnya untuk menutupi kekurangan modal dari hasil penjualan.

Bisnis konveksi Ratu Patni yang berfokus pada seragam sekolah dan jas almamater untuk mahasiswa baru ini beradaptasi dengan mengubah fokus dari produksi, “Karena permintaannya berkurang, sekarang lebih berfokus pada produksi baju tenaga kesehatan, baju disposable, dan masker,” kata, Parwathi (16/11).

Aspek produksi dan penjualan merupakan dua aspek yang terdampak. Tidak ada pengurangan karyawan dalam bisnis konveksi Ratu Patni. Parwathi mengatakan bahwa penurunan penjualan dan produksi sangat menurun pada awal masa pandemi, penurunan terjadi sebesar 60-70%. Faktor lain yang mengakibatkan penurunan ini adalah minimnya bahan baku, ini karena bahan yang digunakan pada usaha Ratu Patni berasal dari Cina.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Rizal Tanzil Rakhman mengatakan bahwa pasokan bahan baku untuk dye stuff atau obat celup, kain, hingga suku cadang mesin industri garmen dari Cina saat ini sudah terhenti. Menurut Rizal, pelaku usaha bisa saja memasok bahan baku selain dari Cina, seperti India, Korea, dan Vietnam. Namun, harga sudah dipastikan lebih mahal 20 hingga 30 persen.

“Target penjualan terbilang sangat mengalami perubahan, apalagi pada bulan Maret lalu, kegiatan produksi dan penjualan sempat terhenti karena pandemi,” kata Parwathi. Saat ini Parwathi berfokus pada target penjualan yang stabil, tidak lagi mengejar peningkatan penjualan, saat ini penjualan sudah mulai stabil, tidak menurun jauh seperti Maret kemarin.

Parwathi mengatakan bahwa tantangan terbesar saat ini adalah kesehatan para karyawan dan juga modal usaha. Kesehatan karyawan menjadi hal penting dalam kondisi pandemi saat ini, “Saat itu ada karyawan yang badannya panas sedikit, sudah saya anjurkan istirahat, dan pekerjaan sempat terhenti sebentar,” katanya.

Dinamika yang lainnya juga terjadi pada bisnis konveksi skala menengah yaitu Starlight Uniform. Krisna (32), pemilik Starlight Uniform mengatakan bahwa terdapat tiga fase yang dihadapi dalam masa pandemi.

Fase pertama yaitu adanya sedikit penurunan karena menurunnya wisatawan dari Cina, namun, ada peningkatan permintaan pada produk masker. Fase kedua yaitu pada bulan Maret, di mana penjualan sangat menurun karena adanya kebijakan pemerintah untuk Pembatasan Sosial. Fase ketiga adalah fase kembali bergerak, di mana sekitar 40 persen produksi sudah mulai terisi. “Mungkin sekitar 80 persen penjualan menurun pada Maret 2020 karena pembatasan sosial, itu benar-benar terjun bebas sekitar 2 bulan,” kata Krisna (19/11).

Penurunan pendapatan ini juga memengaruhi aspek ketenagakerjaan di Starlight Unifom. Krisna mengatakan bahwa ada satu orang dari sembilan karyawan yang dirumahkan, dan karyawan lain bekerja dengan menggunakan sistem shift.

Produksi pakaian dan juga bahan baku yang masih menumpuk di gudang Starlight Uniform karena menurunnya permintaan konsumen (19/11).

Kondisi Starlight Uniform dalam masa pandemi ini memengaruhi target pasar dan juga penjualan selama tahun 2020. “Kami sebenarnya sudah membuat beberapa segmen target pasar, namun dalam masa pandemi, beberapa segmen sudah off, jadi hanya satu dua yang masih bertahan,” kata Krisna. Target penjualan juga sangat menurun, Krisna mengatakan bahwa tidak ada pikiran untuk menaikan target penjualan, fokus saat ini adalah stabil dan bertahan.

Penurunan pendapatan yang sangat drastis juga dirasakan Wayan (34) selaku pemilik usaha konveksi kecil rumahan. Usaha konveksi Wayan berfokus pada baju kaos bagi para komunitas dan membantu beberapa relasi pribadi. Wayan mengatakan bahwa penurunan omset dari usaha konveksi yang dilakukannya menurun hingga 70 persen. “Dari bulan Maret hingga Mei pendapatan benar-benar kosong dan tidak ada,” kata Wayan (23/11).

Kondisi ruang kerja usaha konveksi Wayan (34) sesusah berkurangnya tenaga kerja (23/11).

 

Untuk bertahan dalam kondisi pandemi Covid-19 ini, Wayan harus merelakan 6 dari 10 karyawanannya yang bekerja di dalam usaha konveksinya. Pengurangan tenaga kerja ini tentu sangat menyulitkan saat kegiatan produksi. “Ini karena tenaganya hanya empat orang, hasil produksi pun akan lebih lama, karena kasihan satu penjahit jika membuat banyak baju bisa kelelahan,” katanya.

Tantangan terbesar Wayan untuk bertahan hidup di masa pandemi ini adalah kecilnya penjualan. Wayan berkata bahwa biasanya dia mendapatkan didatangi orang sekitar untuk memesan kaos, namun saat ini, dia harus menjemput bola dari rumah ke rumah. Mengatasi hal ini, Wayan tidak memiliki strategi yang spesifik, hanya berfokus pada beberapa aset konveksi yang dimilikinya. “Kalau saya sih tidak berpikir untuk mencari pekerjaan lain dalam strategi ini, apa yang saya miliki saya manfaatkan,” ujar Wayan.

Catatan redaksi: Pada masa pandemi, banyak mahasiswa Dikom UGM yang menjadi jurnalis Warga Jogja tidak berada di Yogyakarta. Ini adalah salah satu liputan yang mengangkat cerita dari kota tempat mereka tinggal saat ini, daerah asal mereka.