Folksy Magazine: Majalah Indi yang Mengulas Seni dan Kerajinan Tangan Unik

Beberapa edisi Folksy Magazine dan merchandise seperti stiker, pin, notes, dan Jogja Handmade Movement Map

Oleh: Dina Rizky Fitriyanti

Di saat majalah indi Yogyakarta banyak yang gulung tikar dan beralih pada versi daring, Folksy Magazine mampu bertahan dengan versi cetak dan semakin berkembang dengan segala keunikan dan eksklusivitasnya. Folksy Magazine hadir sebagai alternatif media bagi pecinta seni dan kerajinan tangan unik.

Berdiri sejak 2014, Folksy Magazine terbit setiap dua bulan sekali dan selalu hadir dengan konten unik, kreatif, dan desain yang memanjakan mata. Folksy Magazine pertama kali terbit dengan mengusung konsep berupa zine yang terdiri dari 8 halaman yang dipasarkan pada acara Jogja Zine Attack.

Nama “folksy” dipilih tidak dengan tujuan atau filosofi tertentu, nama tersebut muncul begitu saja dan ternyata memiliki arti ramah dan supel yang sesuai dengan konsep yang diusung. Visi dan misi dari majalah ini yakni menjadi majalah yang mengedepankan kreativitas, budaya DIY (Do It Yourself), dan kerajinan buatan tangan, serta mengangkat seniman, karya seni, dan tempat-tempat lokal menarik agar lebih dikenal masyarakat.

Memiliki target pembaca perempuan berusia 17-35 tahun yang tertarik pada seni dan kerajinan serta kegitan serba DIY (Do It Yourself), Folksy hadir dengan eksklusivitas yang unik. “Folksy menjadi sebuah majalah komersil tanpa menjadi terlalu komersil.” ujar Yasmine, Managing Director Folksy Magazine.

 

Pojok unik di salah satu ruangan kantor Folksy Magazine

 

Selain menggunakan sistem daring, penjualan Folksy Magazine juga tersebar di beberapa toko, yaitu Crushbie, Conogelateria, Lemari Lila, Genetika Concept Store, dan Toko Barang Bareng. Keberadaan titik ambil di berbagai toko tersebut bertujuan untuk memudahkan pembeli yang berdomisili di Yogyakarta. Pemilihan lokasi titik ambil juga tidak sembarangan, tempat-tempat tersebut dipilih karena memiliki konsep yang sesuai dengan konsep Folksy Magazine itu sendiri.

Menjadi majalah indi memberikan suka duka tersendiri bagi Lucia Berta dan tim, terlebih Folksy memiliki prinsip untuk tidak memasang iklan di dalamnya. “Sukanya mejadi majalah indi adalah bisa memakai desain sesuka kami,  tetapi dukanya adalah kesulitan dana. Tapi untungnya kami sering mengadakan bazar dan lokakarya yang hasilnya bisa membantu biaya produksi majalah.” ujar Lucia Berta, selaku Editor in Chief Folksy Magazine.

Selain bazar dan lokakarya, Folksy juga membuat Jogja Handmade Movement Map. Lucia menjelaskan, Jogja Handmade Movement Map adalah peta yang berisi lokasi dan deskripsi singkat beberapa toko barang kerajinan buatan tangan yang ada di Yogyakarta. Ternyata dari peta ini, toko-toko yang ditampilkan di dalamnya mendapat lebih banyak pengunjung dan pembeli, hingga akhirnya tim Folksy memutuskan membuat tur bagi orang-orang yang tertarik untuk membuat barang kerajinan di toko-toko yang ditampilkan di Jogja Handmade Movement Map.

 

 

Salah satu foto dalam instagram Folksy Magazine

Membaca majalah ini tidak hanya sekadar memberi informasi, tetapi juga memunculkan ketertarikan lebih lagi terhadap kerajianan, barang-barang buatan tangan, dan aktivitas DIY (Do It Yourself). “Orang harus baca Folksy Magazine buat membuka wawasan akan dunia kreatif di Yogyakarta, bahwa ada banyak potensi anak muda yang belum banyak terekspos padahal super keren.” ujar Eden, salah satu pembaca Folksy Magazine.