Pasar Pagi Kota Tegal, Alternatif Belanja Tekstil dengan Harga Terjangkau

Halaman depan Pasar Pagi Kota Tegal ramai dipadati pengunjung dan tukang becak serta supir angkutan umum yang menunggu penumpang pada Minggu (15/11).
Halaman depan Pasar Pagi Kota Tegal ramai dipadati pengunjung dan tukang becak serta supir angkutan umum yang menunggu penumpang pada Minggu (15/11).

Oleh: Nuha Khairunnisa

Sudah beroperasi selama puluhan tahun, Pasar Pagi Kota Tegal menjadi sentra penjualan kain pada hari pasaran Rabu dan Minggu. Pasar yang merupakan kepanjangan tangan dari Pasar Tegalgubug di Cirebon ini menjadi pilihan bagi warga untuk mencari berbagai jenis kain dengan harga terjangkau.

Pasar Pagi Kota Tegal bertempat di bekas benteng peninggalan Kerajaan Kaloran yang telah dipugar. Renovasi dilakukan sejak 1998  sebelum akhirnya diresmikan dengan nama Pasar Modern Pasar Pagi Tegal pada 18 April 2008 oleh Ali Mufiz, Gubernur Jawa Tengah pada masa itu.

Buka dari pukul 05.00 sampai 17.00 WIB, kios-kios pedagang kain pada hari pasaran selalu penuh oleh pengunjung. Terpusat di lantai dua Blok B dan Blok C, para pedagang menyediakan berbagai jenis kain mulai dari katun, wolfis, hingga brokat. Mereka biasa mendapatkan kain untuk kulakan dari pabrik tekstil di Jakarta dan Bandung. Produk yang tidak lolos uji kualitas akan dijual kiloan kepada pedagang dengan harga lebih murah.

Penjual mengukur lebar kain yang hendak dibeli sementara seorang pengunjung memilih-milih barang di lapaknya pada Minggu (15/11). Banyak pengunjung yang membawa serta anak kecil, membuat suasana pasar semakin ingar-bingar.
Penjual mengukur lebar kain yang hendak dibeli sementara seorang pengunjung memilih-milih barang di lapaknya pada Minggu (15/11). Banyak pengunjung yang membawa serta anak kecil, membuat suasana pasar semakin ingar-bingar.

Pengunjung pasar yang terdiri dari tiga lantai ini tidak hanya membeli kain untuk keperluan pribadi. Banyak penjahit yang juga memasok kain untuk pesanan pelanggannya di sini. “Koleksi kain di Pasar Pagi banyak dan terus bertambah. Meskipun murah, tapi barangnya berkualitas,” ujar Rosidi, penjahit sekaligus pemilik toko busana Ifa Collection pada Minggu (15/11).

Rosidi telah 15 tahun berbelanja kain di Pasar Pagi. Ia mengakui adanya perbedaan harga kain dengan di toko tekstil, mulai dari Rp20 ribu hingga Rp50 ribu untuk kain berkualitas tinggi. Menurutnya, hal terpenting yang harus diperhatikan saat berburu kain di Pasar Pagi adalah ketelitian.

“Di sini kan kebanyakan barang sisa dari pabrik, jadi kadang banyak cacat. Tapi kalau teliti dan sabar, pasti bisa dapat yang bagus,” tuturnya. Menurutnya, cela di kain juga dapat diakali saat proses menjahit.

Dalam sekali kunjungan, Rosidi biasa menghabiskan Rp3 juta hingga Rp5 juta. Selain di Pasar Pagi, ia juga berbelanja kain di Pasar Tegalgubug, Cirebon, terutama jika harus memborong dalam skala besar. Sebab, kain di Pasar Pagi dijual per meter, sementara kain di Tegalgubug dihargai per kilo, sehingga harga yang dipatok bisa lebih murah lagi.

Dengan rutinitasnya berjibaku di tengah keramaian pengunjung Pasar Pagi selama belasan tahun, Rosidi memperhatikan adanya perubahan. Pada awal tahun 2000-an, belum banyak penjual kain di Pasar Pagi, sehingga pilihan jenis kain juga sedikit. Seiring dengan renovasi dan perluasan lahan pasar, pedagang yang melapak pun semakin ramai.

Seorang pengunjung Pasar Pagi Kota Tegal mengamat-amati kain di salah satu lapak pedagang pada Minggu (15/11). Kebanyakan pembeli mencari ragam kain katun seperti rayon, toyobo, katun jepang, dan katun madinah.
Seorang pengunjung Pasar Pagi Kota Tegal mengamat-amati kain di salah satu lapak pedagang pada Minggu (15/11). Kebanyakan pembeli mencari ragam kain katun seperti rayon, toyobo, katun jepang, dan katun madinah.

Senada dengan Rosidi, Yaroh, pengunjung lainnya, memilih belanja kain di Pasar Pagi karena harganya yang lebih murah dibandingkan di toko. Jenis bahan yang dijual Rp25 ribu di toko, dapat ditebus seharga Rp18 ribu di Pasar Pagi. “Selisihnya memang sedikit, tapi kalau belinya borongan kan jadi lumayan banget, bisa ditawar juga,” katanya pada Minggu (15/11).

Yaroh juga memiliki beberapa lapak kain langganan yang penjualnya sering memberinya potongan harga. “Kalau sudah sering beli juga nanti penjualnya paham. Sudah saling kenal juga, jadi enak, Kalau di toko nggak bisa begitu,” tuturnya.

Para pedagang di Pasar Pagi mayoritas berasal dari Cirebon. Siti Nur Aisyah, salah seorang penjual kain, telah rutin melapak di Pasar Pagi sejak 18 tahun lalu. Ia meneruskan profesi orang tuanya yang juga berjualan kain di lokasi yang sama. Selain di Pasar Pagi, ia juga berdagang di Pasar Lemahabang Sindanglaut, Cirebon.

Jika pedagang asal Cirebon hanya berjualan pada Rabu dan Minggu, pedagang asal Tegal berjualan di Pasar Pagi setiap hari. Nur Aini, pemilik lapak kain batik, merupakan salah satunya. Ia dan suaminya telah berbisnis kain batik di Pasar Pagi selama 20 tahun.

Untuk dapat berjualan di Pasar Pagi, pedagang harus membeli lapak. “Dulu, saya beli sepetak ini Rp2 juta. Sekarang harganya sudah sampai Rp100 juta,” kata Nur Aini yang biasa memasok bahan dari Cirebon dan Bandung pada Minggu (15/11).

Pedagang kain di Pasar Pagi bersantai sejenak di lapaknya sembari menunggu pembeli datang pada Minggu (15/11).
Pedagang kain di Pasar Pagi bersantai sejenak di lapaknya sembari menunggu pembeli datang pada Minggu (15/11).

Puncak keramaian pengunjung Pasar Pagi berkisar pada pukul 09.00 – 12.00 WIB. Jarak antar kios yang sempit membuat pengunjung harus berdesak-desakan, sehingga rawan terjadi pencopetan.

Di masa pandemi, kerumunan yang ditimbulkan pasar ini juga menjadi tantangan dalam upaya pencegahan penyebaran virus.  Mayoritas pedagang pun cenderung mengabaikan protokol dengantidak menggunakan masker. Pengelola pasar sempat beberapa kali melakukan sosialisasi dan razia masker, dengan menerapkan sanksi berupa denda bagi pedagang yang melanggar.

Bagi pedagang sendiri, pandemi memberikan dampak ekonomi yang berarti. “Sejak pandemi dampaknya terasa banget. Kalau dihitung-hitung, pendapatan kami turun sampai 90 persen,” ujar Nur Aini yang kemudian diamini suaminya.

Catatan redaksi: Pada masa pandemi, banyak mahasiswa Dikom UGM yang menjadi jurnalis Warga Jogja tidak berada di Yogyakarta. Ini adalah salah satu liputan yang mengangkat cerita dari kota tempat mereka tinggal saat ini, daerah asal mereka.