Oleh: Salma Amany Firdaus
Di tengah sulitnya mencari penghasilan di masa pandemi, Pusat Grosir Solo (PGS) bekerjasama dengan UKM IKM Nusantara membuka kawasan kios “The Kalih” (lantai dua) secara gratis. Pelaku UMKM dapat meminjam kios ini sejak 18 September 2020 hingga 3 tahun ke depan, meskipun begitu, beberapa ketentuan peminjaman dinilai menjadi beban tersendiri bagi para pedagang.
Ketua UKM IKM Nusantara cabang Surakarta, Agung Indaryoto (55), mengatakan bahwa 68 kios dengan instalasi siap pakai, sudah aktif berjalan. Para pedagang yang hadir terdiri dari beberapa komunitas di area Surakarta dan sekitarnya, seperti Paguyuban Antik Solo, Pedagang Kuliner Solo, UKM IKM Nusantara, OLX Klaten, komunitas relawan, dan komunitas dari kawasan Palur hingga Kartasura.
Kios-kios ini, sebenarnya memiliki harga sewa 75 juta rupiah per tahun dan dijual seharga 700-800 juta rupiah. Kios beroperasi mulai dari jam 10 pagi hingga 5 sore. Tersedia fasilitas seperti kamar mandi umum dan mushola, namun tentunya ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi agar dapat terus meminjam kios ini secara gratis.
“Tantangan terbesar yang dihadapi pedagang di sini, datang dari peraturan yang mengharuskan omzet sharing sebesar 30%, omzet tersebut akan dipantau dengan sistem sentra kasir dan penggunaan nota, serta juga ada evaluasi prospek penjualan yang dilakukan setiap 3 bulan sekali. Selain itu, pedagang juga harus membayar biaya listrik secara mandiri,” terang Agung.
Kondisi kios cenderung lebih ramai di hari Sabtu dan Minggu, terlebih pada saat tanggal muda. Intensitas transaksi terpantau cukup merata untuk setiap kios. Agung menambahkan, “Ya mau tidak mau tentu pedagang harus paham dan bersabar dengan situasi pandemi, karena tidak seramai kondisi normal.” Diketahui pula pengunjung harian “The Kalih” baru sekitar 50 orang saja.
Salah satu pedagang aksesoris, Ani (55), menceritakan bahwa dahulu dia sempat berjualan di Plasa Beteng, Gladak, Surakarta, namun karena kebakaran, kiosnya pun tutup, kemudian ia beralih membuka online shop. Saat ini, Ani mengaku nyaman dan berharap agar bisa terus membuka lapaknya di sini.
“Pedagang di sini semua rukun, tutup satu, tutup semua. Buka satu, buka semua,” ujar Ani
Ani memanfaatkan Instagram dan WhatsApp untuk memperluas promosi dagangannya. “Saya arahkan calon pembeli online untuk langsung datang ke sini,” kata Ani. Menurutnya, tanpa usaha melalui media sosial, maka usahanya tidak akan berjalan.
“Orang datang dan lihat-lihat saja sudah senang, meskipun belum berani membeli. Tapi kalau tidak pandemi sekiranya banyak yang akan membeli,” tanggap Ani.
Sementara itu, Feri Niasari (34), pedagang pisang karamel, mengatakan bahwa sebelum membuka usaha dagang di rumahnya melalui Instagram, ia bekerja sebagai pegawai kantor, namun kemudian terkena PHK akibat pandemi.
Meskipun baru berdagang selama 2 minggu, dia merasa bahwa dagangannya kini menjadi lebih dikenal banyak orang. Feri mengaku mendapat omzet rata-rata setiap harinya sekitar 100.000 rupiah. Setidaknya per hari ada sekitar 20 orang yang mengunjungi kiosnya.
Untuk kebutuhan lain, seperti listrik, Feri bisa menghabiskan hingga 250 ribu rupiah per bulan. Feri pun mengatakan ia merasa keberatan dengan kebijakan omzet sharing sebanyak 30% dan berharap nilainya bisa diturunkan. Walaupun begitu, Feri menganggap peminjaman di kios ini sebagai sarana untuk belajar, karena kedepannya ia ingin memiliki kios sendiri.
Catatan redaksi: Pada masa pandemi, banyak mahasiswa Dikom UGM yang menjadi jurnalis Warga Jogja tidak berada di Yogyakarta. Ini adalah salah satu liputan yang mengangkat cerita dari kota tempat mereka tinggal saat ini, daerah asal mereka.