Oleh : Dina Rizky Fitriyanti
Sekitar tahun 1995-2010, persewaan komik dan novel atau taman bacaan menjadi bisnis yang menjanjikan hingga menjamur di berbagai wilayah. Selama kurang lebih 15 tahun berjaya, satu per satu taman bacaan mulai gulung tikar dan hanya menyisakan beberapa yang masih bertahan.
Beberapa persewaan komik dan novel atau taman bacaan yang masih bertahan seperti Taman Bacaan KK di Terban dan Taman Bacaan Rizky di Condong Catur menjadi bukti sisa kejayaan bisnis persewaan komik dan novel di Yogyakarta. Memasuki era digital dan serba internet, keduanya mengalami penurunan omzet secara drastis dan berlomba-lomba mencari strategi untuk mensiasatinya.
Strategi utama yang mereka gunakan adalah mengikuti perkembangan selera penyewa dan rutin menambah koleksi. Taman bacaan KK, yang memiliki empat cabang, rutin membeli komik dan novel baru setiap hari Senin dengan jumlah 10-15 judul. Sedangkan taman bacaan Rizky, yang sudah berumur hampir 20 tahun, menambah koleksi setiap hari Sabtu dengan jumlah 20-30 judul.
Selain rutin menambah koleksi, menjaga keanggotaan juga sangat penting. Taman bacaan KK dan taman bacaan Rizky rutin menjalin komunikasi dengan anggotanya. Jika ada buku baru yang masuk, para penjaga taman bacaan akan segera memberi info kepada anggota melalui media sosial. Hal ini bertujuan agar menarik anggota untuk rutin datang dan menyewa buku.
Berbeda dengan dulu, anggota dan penyewa sekarang lebih pasif dan malas bertanya. Dahulu, orang-orang rela menunggu sebelum taman bacaan buka demi mendapatkan koleksi komik dan novel terbaru.
“Saya menyewa buku disini dari masih kuliah sampai sekarang sudah punya anak dua, ya kira-kira 10 tahun,” kata Yuli, salah satu anggota taman bacaan Rizky.
Dalam sehari, rata-rata pengunjung yang datang menyewa berjumlah 10-20 orang. Jumlah tersebut terbilang sedikit jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang bisa mencapai hampir 100 orang per hari.
“Selain menyewakan komik dan novel, kami juga membuka jasa fotokopi dan persewaan DVD. Kalau tidak begitu omzetnya sedikit. Lokasi tempat taman bacaan juga penting, jika lokasinya di pinggir jalan dan dekat dengan sekolah atau universitas maka omzetnya akan lebih tinggi.” kata Mala, penjaga Taman Bacaan KK.
Berbeda dengan taman bacaan KK yang memiliki cabang, taman bacaan Rizky justru tidak ingin membuka cabang dan fokus memperbanyak koleksi saja.
“Menurut saya mengapa taman bacaan banyak yang tutup, ya karena mereka fokusnya ingin membuka cabang. Tidak apa-apa bukunya sedikit yang penting cabangnya banyak. Padahal ini berisiko banget,” kata Oci, pemilik taman bacaan Rizky.
Oci menambahkan, taman bacaan miliknya bisa bertahan selama hampir 20 tahun karena koleksi bukunya banyak, lebih dari 10.000 buku. Itulah alasan mengapa taman bacaan Rizky memiliki slogan ‘Bertanyalah, mungkin kami punya buku yang kamu cari’.
Ada dua kendala utama yang dihadapi kedua taman bacaan ini, yaitu buku tidak kembali dan kenaikan harga buku. Soal buku yang tidak kembali, taman bacaan KK dan taman bacaan Rizky menggunakan penyelesaiannya yang berbeda.
Taman bacaan KK memang sengaja memberi kemudahan dalam peminjaman. mereka mengurangi risiko buku tidak kembali dengan terus menerus mengingatkan penyewa tenggat waktunya. Taman bacaan Rizky justru sebaliknya, ia memberikan syarat peminjaman yang ketat, seperti jaminan kartu identitas dan batas umur penyewa. Tujuannya demi menjaga koleksi bukunya agar tidak berkurang.
Soal kenaikan harga buku, taman bacaan KK dan taman bacaan Rizky menggunakan strategi yang sama, yaitu menetapkan harga sewa sebesar 10% dari harga beli. Aturan ini sudah diterapkan sejak dahulu dan dinilai adil bagi pemilik maupun pembaca.
Jumlah buku yang terus bertambah dan ruang yang terbatas mengharuskan mereka rutin merotasi buku. Dibandingkan dengan menjualnya, mereka memilih untuk menaruh buku yang jarang disewa ke dalam gudang. Bagi kedua taman bacaan tersebut, setiap buku berharga, bukan lagi sekadar ‘mata uang’ dalam bisnis ini.
Bisnis persewaan komik dan novel nyatanya masih belum mati meski sekarang kurang diminati.
(Editor : Dewi Setiawati/ *)