Seni Tempa Pamor oleh Empu Keris Terakhir di Yogyakarta

Lempengan besi bahan pembuatan keris seberat 20 kg hanya akan tersisa 300 – 500 gram saja ketika keris telah selesai dikerjakan (28/10).

oleh Mario Stephen Hadiwijaya

Sejak 1995, Sungkowo Harumbrojo (65) tidak hanya mewarisi kepandaian sang ayah sebagai pembuat keris, tetapi juga turut melestarikan kebudayaan Jawa yang adiluhung. Dari bengkel sederhana miliknya, lentera budaya dalam seni tempa pamor terus menyala oleh empu terakhir di Yogya.

Gemeretak arang kayu jati yang menyala saling berganti dengan dentuman godam pada bilah besi yang membara. Suara mesin blower menyusul kemudian, menjaga kobaran api tetap stabil. Abu sisa-sisa pembakaran berterbangan memenuhi ruangan 6X4 meter yang disebut besalen.

Seni tempa pamor ini adalah usaha turun-temurun sejak zaman Majapahit, Tuban, Mataram Islam, Kertasura, Surakarta, sampai kini di Yogyakarta. Berada di Desa Gatak, Moyudan, Sleman Sungkowo melanjutkan kerja sang ayah, Jeno Harumbrojo menjadi perajin keris.

Sungkowo merupakan keturunan ke-17 dari Empu Supodriyo, pembuat keris  zaman kerajaan Majapahit abad ke-14. Keahliannya didapatkan dari kerja keras selama bertahun-tahun membantu sang ayah sebagai panjak atau asisten pembantu empu. Tugasnya mulai dari menjaga perapian sampai menempa bilah besi sebelum bisa membuat satu keris sendiri.

“Dari enam bersaudara, hanya saya yang meneruskan usaha orang tua membuat keris. Sedangkan anak-anak dari paman lebih memilih untuk alih profesi ketimbang melanjutkan menempa keris,” kata Sungkowo.

Setelah meninggalnya Empu Djiwo Diharjo dari Desa Banyusumurup, Imogiri, Bantul pada 2015, Sungkowo menjadi Empu keris terakhir yang masih bertahan dan berkarya di Yogyakarta. Oleh karena itu, Sungkowo berusaha tetap mempertahankan proses pembuatan keris secara tradisional dan sesuai pakem Jawa.

Menurut Sungkowo berdasarkan penelitian mahasiswa ITB, panas perapen di besalen miliknya berada dalam kisaran 1300 – 1350 derajat celsius (28/10).

Sebelum membuat keris Sungkowo dan panjak harus melakukan lelaku. Lelaku ini berdasarkan kepercayaan masyarakat Jawa yang terdiri dari tiga laku tirakat yakni berdoa, puasa, dan slametan.

“Slametan merupakan sesaji hasil pangan yang nantinya akan dibagikan kepada tetangga sekitar sebagai bentuk mohon doa restu untuk memulai pembuatan keris,” kata Sungkowo.

Proses pembuatan sebilah keris masih menggunakan perkakas sederhana. Diantaranya terdapat palu berbagai ukuran, pencapit besi, alat kikir, gergaji besi, dan peralatan menempa lainnya. Praktis hanya mesin blower satu-satunya alat elektronik mutakhir yang digunakan untuk menggantikan ububan atau pompa angin tradisional.

Semua keris yang dibuat oleh Sungkowo merupakan pesanan pembeli. Pengerjaan sebuah keris membutuhkan waktu kurang lebih satu bulan lamanya sesuai tingkat kesulitan pamor atau pola keris. Sungkowo tidak mengerjakannya sendiri. Ia dibantu oleh 2 orang panjak yakni Supardi (68) dan Subarno (38).

“Ada kurang lebih 53 tahapan dalam membuat keris. Mulai dari lelaku mohon doa restu, pembakaran, menempa, melipat, mengikir, memahat, sampai terakhir mengoleskan ramuan minyak cendana pada tubuh keris,” jelas Supardi yang sudah bekerja selama 30 tahun sejak era Jeno Harumbrojo.

Keris terbuat dari besi lunak berkualitas baik. Tak jarang Sungkowo mengikuti pelelangan untuk mendapatkan besi bekas bantalan rel kereta, sisa kapal, ataupun bekas per mobil. Potongan besi 10×30 cm kemudian disusun dengan urutan besi-nikel-besi.

Susunan besi kemudian disatukan lewat proses pembakaran di prapen. Setelah memerah besi ditempa berulang kali hingga memanjang lalu dilipat. Begitu proses bakar, tempa, dan lipat dilakukan berulang kali sampai membentuk pamor yang diinginkan. Beberapa pamor itu seperti udan riris, putri kinurung, tritik, kulit semongko, dan masih banyak lagi.

“Inti dari seni pembuatan keris terdapat pada proses menempa dan melipat besi. Jumlah lipatan bisa mencapai 4000 sesuai dengan pamor yang dipesan, maka dari itu proses ini bisa menghabiskan waktu seminggu sampai dua minggu,” jelas Subarno yang juga kemenakan Supardi.

Ki Empu Sungkowo Harumbrojo memang tidak memiliki media sosial, namun banyak akun yang telah mengunggah karya ataupun proses pembuatan kerisnya (4/12).

Setelah menempa dan melipat, proses selanjutnya adalah pembentukan luk atau lekukan pada keris. Keris yang sudah terbentuk kemudian dikikir, dipahat, diasah, dan disepuh.

Warangi menjadi tahap terakhir dalam pembuatan keris. Ini adalah proses memandikan keris dengan jeruk nipis dan larutan kimia arsenikum untuk memunculkan pamor pada keris.

Sungkowo dan para panjak bekerja dari Senin sampai Sabtu mulai pukul 08.00 sampai 16.00. Namun terdapat hari-hari tertentu yang menjadi pantangan bekerja berdasarkan weton atau hari kelahiran menurut penanggalan Jawa.

“Selasa Pahing, Rabu Wage, Kamis Pahing, Kamis Wage, dan Kamis Legi menjadi hari pantangan bekerja. Jika tetap nekat akan membawa akibat buruk bagi pekerja maupun yang dikerjakan,” kata Sungkowo.

Setiap bulan selalu ada pesanan keris yang datang. Pemesan berasal dari berbagai kalangan bahkan keluarga kraton Yogyakarta. Sungkowo mengaku untuk sebilah keris buatannya paling minim dibandrol dengan harga Rp 15 juta bergantung pamor yang diminta.