Oleh: Zhafira M.I.P
Berawal dari keinginan untuk menghidupkan kembali seni kriya, UniKraf lahir sebagai penghubung antara konsumen dan pengrajin kayu di Yogyakarta. Nama ‘UniKraf’ sendiri mengandung makna Universe of (K)Craftmanship, yang berarti semesta keterampilan.
Bisnis yang resmi berdiri pada Mei 2015 ini dirintis oleh tiga orang mahasiswa Universitas Gadjah Mada: Zaidil Firza, Talitha Fredlina Azalia, dan Camilla Okdriana. Kegiatan utamanya berfokus pada pengolahan limbah kayu menjadi barang seni atau aksesoris. Barang ini berupa flashdisk kayu, kacamata kayu, gelang, jam tangan kayu, anting, dan kalung.
“Kami bekerjasama dengan pengrajin dan lokakarya karena beberapa pengrajin yang terampil kadang mengalami masalah harga jual. Oleh karena itu, kami mengadvokasikan permintaan konsumen kepada pengrajin agar tercapai harga yang adil,” kata Zaidil.
Keterlibatan konsumen dalam pra-produksi menjadi salah satu nilai tambah UniKraf. Konsumen bebas mengimajinasikan, merencanakan, dan mengkonsultasikan kerajinan yang ingin diciptakan. Keinginan konsumen kemudian diwujudkan UniKraf dengan koordinasi bersama pengrajin.
Dalam merintis usaha ini, Zaidil membutuhkan modal sekitar tiga juta rupiah. Tidak hanya modal materi, modal lain yang penting yaitu waktu, ide, serta keberanian untuk memulai dan mengembangkan. Strategi ini nyatanya berhasil membawa UniKraf meraih segmen pasar individu dan lembaga. Bahkan daerah pemasaran mampu mencapai Lombok, Sulawesi, Sumatra, Jerman, dan Singapura.
Zaidil mengakui adanya tantangan sumber daya manusia berupa konsistensi dari pekerja. Penawaran kerja di bidang lain sering menjadi alasan pekerja silih berganti. Tantangan lainnya yaitu persaingan toko dengan konsep yang sama di Yogyakarta. “Mulai menjamur toko-toko konsep disini, sehingga kami harus berupaya memunculkan produk yang unik,” kata Zaidil.
Salah satu pengrajin kayu, Aan, mengaku sudah bekerjasama dengan UniKraf selama hampir tiga tahun. “Kerjasama kami biasanya berupa aksesoris-aksesori kecil, seperti liontin dan cincin. Kami juga pernah membuat jam tangan dan kacamata berbahan dasar kayu,” katanya ketika ditemui di workshop-nya.
Mengenai ide produk yang bisa datang dari konsumen, Aan mengatakan bahwa dalam beberapa kesempatan sulit mempertemukan ide konsumen dengan pemahaman pembuat barang.
“Karena kami menerima pesanan custom, terkadang konsumen tidak mengerti bagaimana menerjemahkan ide mereka. Di sini keinginan konsumen dan gambaran pembuat barang biasanya lebih sulit dipertemukan,” kata Aan.
Aan menambahkan bahwa sistem pemberian harga saat bekerjasama dengan UniKraf termasuk adil, bersahabat dengan industri lokal, dan sesuai dengan kualitas barang.
“Permainan harga dengan UniKraf termasuk adil. Selain itu, mereka (UniKraf) jarang meminta barang dengan spesifikasi khusus, seringnya mengikuti barang yang sisa atau tersedia di masing-masing industri. Masalah harga jual barang juga tidak dipaskan, masih ada keuntungan untuk kami sebagai pembuat barang,” kata Aan.
Saras, salah satu konsumen UniKraf, berpendapat bahwa produk yang ditawarkan memiliki kreasi yang unik dan menarik minat pembeli karena modelnya yang tidak pasaran. “Produk UniKraf unik dengan model yang tak biasa dan bernilai seni dari penggunaan bahan dasar kayu, misalnya flashdisk dan kacamata,” katanya.
Di masa depan, UniKraf akan membuka toko kerajinan agar konsumen dapat langsung membeli dan juga melayani permintaan khusus. Pemasaran produk pun menjadi tak terbatas pada media daring semata. Variasi produk pun diharapkan lebih beragam dengan pengolahan logam dan sebagainya.
(Editor: Dyah Ayu Pitaloka)