Warning Books: Oase Buku Indi Seni dan Politik asal Yogyakarta

Tomi Wibisono, pemilik Warning Books (24/3/2017) Dokumentasi: Hai Magazine.

Oleh: Dwiki Rahmad Aprinaldi

Berangkat dari Warning Magazine, Tomi Wibisono mulai mengumpulkan kumpulan tulisan wawancara terbaik menjadi sebuah buku yang menjadi rintisan dari berdirinya Warning Books. Sebuah penerbit independen yang percaya untuk tidak selalu mengikuti selera pasar.

Kamis, 17 Maret 2016, peluncuran buku Questioning Everything! digelar di Auditorium IFI-LIP, Yogyakarta. Sebuah buku berisi 27 hasil wawancara terbaik dari Warning Magazine, majalah musik-sosial-politik berbasis di Yogyakarta.

Dari buku ini, Warning Books pun berdiri. Hingga kini, penerbit buku independen ini sudah menelurkan empat judul dan dua judul dari lininya, Katalika Project.

“Dari terbitnya buku Questioning Everything! kami melihat peluang bagus untuk membuat sebuah penerbitan,” ucap Tomi Wibisono, pemilik Warning Books.

Acara Peluncuran Buku Questioning Everything! di IFI-LIP, Yogyakarta, Kamis (17/3/2016) Dokumentasi: Warning Magazine.

Minimnya judul buku yang diluncurkan dari awal berdirinya Warning Books bukan tanpa sebab dan risiko yang justru menjadi kelebihan sendiri dari penerbit ini. Warning Books menawarkan tema-tema yang jarang digarap oleh penerbit umum dan dengan serius memikirkan estetika dari buku-buku terbitannya.

“Bisa kita lihat, kita kekurangan literatur musik dan kami mencoba menghadirkan itu walaupun kami tidak melulu tentang musik. Kelebihan lainnya kami memikirkan serius estetika, jadi bisa dilihat semua visual kami menarik karena kami percaya dengan kalimat judge book by its cover,” kata Tomi.

Tomi mengungkapkan bahwa risiko tidak laku jelas ada karena tema-tema seni, terutama musik, yang dirilis oleh Warning Books di pasar buku bukanlah tema yang populer dan laris.

“Risikonya adalah sulit laku. tapi itulah kelebihan penerbit independen, kami tidak perlu mengikuti selera pasar, kami menerbitkan yang menurut kami baik,” jawab Tomi.

Warning Books mempertemukan buku-buku terbitannya kepada pembaca dengan cara yang unik. Selain memasukkan ke lingkup distribusi mayor, seperti toko Gramedia dan Togamas, dan juga toko-toko buku online, Warning Books juga membuat peluncuran dan tur buku yang diakui Tomi diadaptasi dari cara dan sistem band ketika merilis album. Beberapa kota di Jawa hingga Bali disambangi tatkala buku perdana rilis.

“Kami mengadopsi sistem anak band yang ketika mereka rilis album itu ada launching ada tur. Kami mengadopsi itu dengan membuat launching dan tur buku dan di situlah kami bertemu dengan pembaca,” ucap Tomi.

Menurutnya, bagaimana buku bisa sampai ke tangan pembaca bukan lagi masalah urgen ketika buku lahir dari penerbit mayor maupun indi.

“Penerbit besar atau penerbit independen keduanya bagus untuk industri penerbitan. Karena banyak juga penerbit independen yang asal. Yang penting adalah bagaimana buku itu terbit, bukan dari mana buku itu terbit,” ungkap Tomi.

Selain mempertemukan buku dengan pembaca melalui distribusi online, acara peluncuran, dan tur, Warning Books juga turut ikut dalam pameran. Pameran buku dirasa Tomi menjadi penting mengingat titik distribusi fisik di toko buku besar yang terbatas dengan potongan harga yang begitu besar dan menurutnya tidak terjangkau penerbit independen.

“Sementara ini pemasukan terbesar kami adalah kanal-kanal online milik teman-teman. Para penjual online itu kan juga para penjual independen, kami lebih senang bekerjasama antara kaum kecil agar sirkulasi uang itu berputar di antara kami,” ungkap Tomi.

Buku Questioning Everything! berisi rangkaian wawancara awak majalah Warning Magazine bersama 27 tokoh: lima penulis, enam belas musisi, empat sutradara film, dan dua perupa.

Kehadiran buku-buku dengan narasi alternatif hasil terbitan penerbit independen dimaknai menarik oleh Titah AW, seorang penulis dan jurnalis Vice Indonesia. Menurutnya ini penting karena pembaca pada akhirnya diberi ruang yang lebih luas terhadap referensi karena sebelumnya dunia perbukuan telah dikuasai oleh penerbit besar. Ini membuat seolah-olah selera dan apa yang kita baca disetir oleh hasil-hasil terbitan penerbit besar.

“Penerbit alternatif sering menghadirkan buku-buku yang tidak ada di toko mayor, mengangkat karya penulis baru yang kadang mengejutkan kualitasnya. Mereka jadi lebih inovatif dalam membuat atau mendistribusikan buku, seperti diberi gimmick bonus, kuis, atau strategi promo yang lebih menyenangkan. Sebagai pembaca, jadi lebih banyak referensi. Sebagai penulis, penerbit alternatif telah memberi ruang yang lebih luas untuk karya bisa diangkat ke publik,” kata Titah.

Meski begitu, penerbit independen menurutnya juga memiliki kekurangan. Penerbit independen umumnya mencetak jauh lebih sedikit daripada penerbit mayor. Namun, karena jumlah cetak yang sedikit dengan regulasi distribusi dari toko besar yang ketat, buku-buku terbitan penerbit independen harus berusaha lebih keras untuk membentuk jalur distribusi yang baru.

Kekurangannya, buku bisa tidak terdistribusi dengan baik. Dan juga karena fleksibel, dalam arti bisa cetak lebih banyak judul dalam jumlah sedikit, kadang [penerbit independen] jadi meremehkan kualitas redaksional, misal banyak typo atau kualitas terjemahan jelek,” kata Titah.

Penerbit independen dalam pergerakan literasi hadir sebagai budaya tanding untuk penerbit mayor yang selama ini menguasai pasar. Baik dari referensi, selera, hingga pola distribusi. Jika penerbit independen semakin besar, menurut Titah, penerbit besar yang selama ini kurang inovasi bisa merasa terancam dan membuat mereka meningkatkan kualitas terbitan mereka.

“Harapannya dunia literasi Indonesia semakin dinamis. Semoga ketika penerbit indi sudah maju, suatu hari kita tidak bisa lagi membedakan mana produk indi atau mayor karena sama-sama bagusnya. Buku bagus adalah buku bagus, tida peduli hasil terbitan indi atau mayor,” tungkas Titah.

Hariz Ghifari, mahasiswa yang juga sering membaca buku-buku terbitan penerbit independen memiliki pendapat lain tentang kehadiran isu-isu alternatif yang diangkat dalam buku indi. Menurutnya, ada warna baru dalam dunia penerbitan buku di Indonesia yang selama ini isu-isu tersebut tidak diterbitkan oleh penerbit buku besar.

“Ada isu-isu sensitif di Indonesia yang justru diterbitkan oleh penerbit independen. Sejarah ’65, reformasi, komunisme, PKI, atau gerakan-gerakan progresif lain yang mana buku-buku yang berkaitan dengan isu itu tidak diterbitkan oleh penerbit buku besar,” ucap Hariz.

Baginya sebagai seorang pembaca, kualitas buku menjadi aspek penting tatkala ia hendak membeli sebuah buku atau tidak. Ia melihat kini kualitas terbitan penerbit independen sudah berada pada tingkat yang sama dengan keluaran penerbit besar, meskipun tetap kurangnya quality control masih membuat sejumlah penerbit indi tidak peduli dengan kualitas terbitannya.