Kaleidoskop Agraria: Catatan Konflik Agraria di DIY

(Sumber: www.rumahbacakomunitas.org)

oleh: Mochamad Ridha

Aksi penolakan warga Temon, Kulon Progo terhadap penggusuran lahan untuk bandara Kulon Progo baru-baru ini kembali mengingatkan kita terhadap rentetan konflik agraria di DIY.

Tidak hanya perselisihan antar warga dan pebisnis seperti yang dialami petani Kulon Progo dalam pembangunan tambang pasir besi dan pabrik baja di Kulon Progo, warga pun harus berhadapan dengan pemerintah dalam kasus pembangunan bandara Kulon Progo.

Peta konflik agraria di DIY. (Sumber: Twitter @ImmGh)

Di tengah pembangunan infrastruktur dan modernisasi yang begitu masif, Jogja Darurat Agraria mencatat lebih dari 20 titik konflik agraria dan tata ruang yang terjadi di DIY. Konflik ini menimbulkan penggusuran ruang hidup warga. Berikut beberapa konflik agraria yang pernah terjadi di DIY:

  1. Konflik Penambangan Pasir Besi di Glagah, Temon, Kulon Progo

Proyek PT. Krakatau Steel di selatan Kulon Progo yang mencakup lahan pasir seluas 2.900 hektar ini mendapatkan pertentangan dari warga sekitar. Meski nota kesepemahaman antara Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, PT Krakatau Steel, dan PT Jogja Magasa Iron (JMI) sudah ditandatangani, warga tetap saja menolak pembangunan tambang dan pabrik tersebut.

Aksi Tolak Tambang Pasir Kulon Progo. (Sumber: Harian Jogja)

Warga yang membentuk komunitas bernama Wahana Tri Tunggal (WTT) ini beralasan bahwa proyek penambangan pasir besi akan menghilangkan ruang kerja masyarakat yang didominasi oleh petani. Pada akhirnya, kepentingan petani selalu saja dikalahkan oleh kepentingan pemilik modal dan kepentingan sektor lainnya.

Dalam aksinya, terdapat 1.000 Kepala Keluarga atau sekitar 5.000 jiwa yang menolak pemukiman, maupun sawah yang digusur akibat pembangunan proyek ini. Konflik penambangan pasir besi di sepanjang pesisir Kabupaten Kulon Progo sampai saat ini belum menunjukkan titik terang meski sudah berjalan cukup lama dan menimbulkan kerugian cukup besar.

  1. Konflik Megaproyek New Yogyakarta International Airport (NYIA), Kulon Progo
Warga Kecamatan Temon, Kulonprogo, menolak pembangunan bandara. (Sumber: Tommy Apriando)

Konflik pembangunan bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) sampai saat ini masih terus bergulir.  Pembangunan ini mendapatkan perlawanan yang cukup kuat dari warga sekitar dan aktivis lingkungan yang tergabung dalam paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo.

Salah satu sikap warga yang menolak pembangunan NYIA karena bertani adalah profesi dan penghidupan mereka. Melepas tanah maka melepas lapangan kerja mereka sebagai petani. Sedangkan para aktivis yang menolak pembangunan ini berargumen bahwa adanya cacat proses hukum yang mana proses pembuatan Amdal untuk pembangunan ini baru dilakukan setelah IPL dan Pembebasan lahan dilakukan. Harusnya, Amdal dilakukan terlebih dahulu.

Selain itu, pengamat lingkungan juga dengan tegas menolak pembangunan ini karena daerah Kulon Progo adalah daerah rawan bencana gempa dan tsunami. Belum lagi kebutuhan air yang besar dan akan mengambil pasokan air yang besar pula. Kondisi ini sangat besar melahirkan persoalan baru semisal pembuangan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).

Warga penolak bandara Temon yang tergabung dalam Wahana Tri Tunggal (WTT) menggelar doa bersama (Sumber: Solopos.com)

Perseteruan antara warga dan pihak PT. Angkasa Pura 1 memuncak pada saat eksekusi pengosongan paksa lahan (5/12/2017) yang mengakibatkan bentroknya antar dua belah pihak dan penangkapan 12 orang dari aktivis penolakan bandara. Sampai saat ini 12 orang tersebut masih dalam tahap pemeriksaan di kepolisian dan belum jelas statusnya.

Hingga kini, Angkasa Pura I menghentikan sementara proses penggusuran untuk menunggu sejumlah rumah yang masih dalam proses konsinyasi ganti rugi di pengadilan dan mengupayakan langkah persuasif kepada warga yang tidak ingin pindah. Sejumlah pihak menyatakan perlunya mengedepankan dialog, bukan semata upaya hukum.

3. Konflik Pembangunan Apartemen Uttara, Sleman

Warga Dusun Karangwuni Desa Caturtunggal demo di depan kompleks pembangunan Apartemen Uttara, Selasa (29/4/2014).(Sumber: Harian Jogja)

Warga yang tergabung dalam Paguyuban Warga Karangwuni Tolak Apartemen Uttara (PWKTAU) menyuarakan dengan tegas menolak pembangunan apartemen Uttara yang dikembangkan oleh PT. Bumi Alam Permata.

Paguyuban yang bergerak diawal 2014 ini menilai bahwa Uttara telah banyak melakukan pelanggaran baik formal hukum maupun kultural bersama masyarakat. Misalnya terkait undangan sosialisasi yang mengatakan hanya akan mendirikan indekos eksklusif padahal realitanya adalah apartemen. Terdapat juga klaim sepihak yang mengatakan bahwa warga Karangwuni tidak keberatan dengan pembangunan Uttara sedangkan masih banyak masyarakat sekitar yang menolak pembangunan tersebut.

Advokasi Masyarakat BEM KM UGM 2015 mengatakan bahwa pembangunan apartemen Uttara memberikan dampak buruk bagi masyarakat Karangwuni sekitar seperti kekeringan air, limbah, banjir, suara bising dan kemacetan. Lebih dari itu, konflik horizontal pun terjadi di masyarakat Karangwuni. Lahir gap antar warga yang pro pembangunan dengan warga yang menolak pembangunan.

Pembangunan Apartemen Uttara Pecah Belah Warga Karangwuni (Sumber: Dzikri)

Meski adanya penolakan, proses pembangunan apartemen Uttara tetap berjalan. Kini apartemen Uttara sedang memasuki tahap finalisasi pembangunan.

  1. Penggusuran Pemukiman Warga di Parangkusumo, Bantul

Konflik ini bermula selepas diresmikannya Parangtritis Geomaritime Science Park (PGSP) oleh Sri Sultan Hamengkubwono X pada 12 September 2015 yang berlokasi di Dusun Parang Kusumo, Desa Parangtritis, Bantul, Yogyakarta. Dalam acara tersebut, Sri Sultan Hamengkubwono X menegaskan bahwa penetapan batas zona inti gumuk pasir Parangkusumo akan diikuti oleh pembersihan seluruh aktivitas yang dianggap dapat mengganggu pelestarian zona inti gumuk pasir, termasuk pemukiman warga.

Sejumlah orang berkumpul di posko penolakan penggusuran Gumuk Pasir Pantai Parangkusumo, Kecamatan Kretek, Bantul, Kamis (1/9/2016). Ada sedikitnya 38 KK yang menolak penggusuran permukiman tersebut. (Sumber: Tribun Jogja)

Warga menolak penggusuran ini dengan beberapa alasan. Salah satunya karena dari awal, pendirian PGSP tidak dilengkapi dengan sosialisasi kepada masyarakat.

Rabu, 14 Desember 2016, Alat berat merobohkan rumah dan bangunan usaha lebih dari 30 keluarga. Namun bukan berarti perjuangan warga Parangkusumo atas tanah mereka belum usai, sejumlah warga Parangkusumo didampingi LBH Yogya menggugat bupati Bantul dan Sri Sultan Hamengkubwono X di PN Bantul.

Penggusuran rumah warga di Parangkusumo Bantul atas nama proyek konservasi. (Sumber: Jogja Darurat Agraria)
  1. Konflik Kepemilikan Tanah di Watu Kodok, Gunung Kidul

Terjadi sengketa lahan antara warga lokal dengan investor di kawasan Pantai Watu Kodo, Desa Kemadang, Kecamatan Tanjungsari. Warga Watu Kodok juga sempat berseteru dengan Pemerintah DIY lantaran masuknya investor hotel dan restoran ke pantai Watu Kondok dan berpotensi menggusur masyarakat setempat yang selama ini menggantungkan hidup dari pariwisata pantai Watu Kodok.

Suasana kenduri yang dilakukan warga Kelor Kidul usai menggelar upacara bendera dengan pakaian SD yang dilakukan di kawasan Pantai Watukodok. Rabu (25/5/2016). (Sumber: Harian Jogja)

Sementara, dari pihak investor berdalih bahwa mereka saat ini memiliki hak untuk mengelola tanah SG yang ada di kawasan Pantai Watu Kodok. Sebab, investor sudah memiliki surat kekancingan resmi yang dikeluarkan oleh Panitikismo Keraton Yogyakarta.

Hingga kini, tidak ada kejelasan terkait sengketa lahan ini. Sekarang, Pantai Watu Kodok dikembangkan oleh masyarakat secara swadaya mandiri tanpa campur tangan Pemkab.