Keresahan Sosial Akibat Fenomena Geng Klitih

Enam tersangka kasus pembacokan Ilham Bayu Fajar saat diamankan oleh anggota Polresta Yogyakarta. Mayoritas para tersangka masih di bawah umur dengan status sebagai pelajar tingkat SMP dan SMA. (sumber: krjogja.com/FX Harminanto)

Oleh : Zhafira M.I.P

Tindakan kekerasan dan penyerangan antar pelajar atau aksi klitih di Yogyakarta marak terjadi sepanjang tahun 2017 hingga menimbulkan keresahan sosial. Menangani masalah tersebut, diperlukan kerjasama antar elemen masyarakat dan peran strategis keluarga dalam pendampingan dan pengawasan anak.

Salah satu kasus kelompok (geng) klitih terjadi pada bulan Maret 2017 yang menewaskan seorang pelajar Sekolah Menengah Pertama, Ilham Bayu Fajar, akibat ditusuk sekelompok orang di Jalan Kenari utara Kantor Balaikota Yogyakarta. Polresta Yogyakarta berhasil membekuk tersangka pelaku tindak kekerasan dua hari setelah kejadian dan menetapkan enam pelaku sebagai tersangka kasus klitih yang menewaskan Ilham. Pelaku penyerangan Ilham dikenakan pasal 80 ayat 3 UU Perlindungan Anak  dan pasal berlapis UU Darurat RI nomor 12 tahun 1951 pasal 2 ayat 1 untuk pelaku atas nama Jalu. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, tersangka penyerangan dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta.

Kasus penyerangan lain terjadi di Bantul dan menewaskan seorang pemuda berusia 20 tahun setelah dipukul batako oleh dua orang tak dikenal (5/11). Korban diketahui bernama Arif Nur Rohman, warga Dusun Mredo Kabayan, RT 02, Bangunharjo, Sewon, Bantul. Pelaku penyerangan berhasil dibekuk oleh aparat kepolisian pada hari Senin(6/11) sekitar pukul 08.00 di rumah masing-masing. Adapun motif penyerangan disebabkan oleh kekesalan tersangka atas ucapan korban, sehingga tersangka yang merasa tersinggung akhirnya melakukan penyerangan dengan melempar batako ke arah korban.

Ibu korban Arif Nur Rahman seusai jenazah putranya dimakamkan, Keluarga korban aksi klitih menuntut agar tersangka dihukum seberat-beratnya. (sumber: krjogja.com/Koran Merapi)

Selain korban tewas, kasus penyerangan yang dilakukan oleh kelompok remaja mengakibatkan korban luka, baik ringan maupun berat. Seperti yang terjadi kepada korban Muhammad Nur Sidiq (18), warga Bantul yang mengalami luka di bagian tangan, kepala dan punggung akibat diserang oleh sekelompok orang dengan gir bergagang besi di Jalan Imogiri Barat Sudimoro Timbulharjo Kecamatan Sewon Bantul (24/11). Kasus lain menimpa Wildan Chandra (16) yang menderita luka di pergelangan tangan dan bahu akibat sabetan celurit saat melintas di perempatan traffic Bakulan oleh pengendara motor tak dikenal yang teridentifikasi masih usia remaja (13/11).

Kedua tersangka kasus kekerasan korban Arif Nur Rahman, yaitu Agus (19) dan AR (17) merupakan anggota kelompok Holy to Fight (HTF) yang kerap melakukan keonaran di jalanan. Kapolres Bantul, AKBP Imam Kabut Sariadi mengatakan bahwa kelompok ini kerap meresahkan dan mengganggu keamanan masyarakat.(sumber: detikcom/Usman Hadi)

Aksi penyerangan kelompok motor dengan senjata tajam yang mengakibatkan korban terluka atau tewas dikenal dengan istilah klitih. Awalnya, istilah klitih digunakan untuk menyebut aktivitas santai sembari mencari barang bekas atau klitikan di Pasar Klitikan Yogya. Klitih atau nglitih digunakan untuk menggambarkan kegiatan santai atau mencari kesibukan di saat senggang. Pergeseran makna istilah klitih disinyalir sejak terjadi peristiwa pembacokan yang marak terjadi sepanjang tahun 2011 sampai 2012. Sejak saat itu istilah geng klitih digunakan sebagai sebutan geng pelajar yang melakukan aksi kekerasan terhadap pelajar lain (musuh) atau bahkan masyarakat umum.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh Tribun Jogja dengan mantan pelaku klitih, Cembre, mengatakan praktik klitih sudah sejak lama dilakukan oleh geng pelajar dengan mengatasnamakan solidaritas sekolah. Ia menambahkan bahwa aksi klitih dilakukan dengan cara melakukan penyerangan kepada musuh dari sekolah lain yang melintas di jalan tertentu saat berangkat atau pulang sekolah.

Geng klitih dianggap sebagai suatu fenomena yang meresahkan masyarakat Yogyakarta pada khususnya. Hal ini disampaikan oleh Koordinator Jogja Police Watch (JPW), Baharuddin Kamba yang menanggapi kasus meninggalnya Arif Nur Rohman sebagai korban aksi klitih (6/11). Ia mengatakan bahwa aksi klitih telah merusak predikat kota Yogyakarta sebagai kota pelajar dan budaya.

Tanggapan lain datang dari Keluarga Besar Mahasiswa Sumatera Selatan yang mengadakan unjukrasa menolak tindakan kekerasan atau klitih saat persidangan tersangka kasus penyerangan Ilham Bayu Fajar (3/4). Koordinator Umum aksi, Rizky Feroza, menyatakan bahwa Keluarga Besar Mahasiswa Sumatera Selatan menuntut penghentian aksi klitih di wilayah Yogyakarta dan meminta agar pelaku klitih dihukum seberat-beratnya.

Aksi unjukrasa yang menuntut agar pemerintah daerah serius memberantas permasalahan klitih dilakukan oleh Keluarga Besar Mahasiswa sumatera Selatan di halaman Pengadilan Negeri Yogyakarta saat sidang perdana kasus pembacokan Ilham Bayu Fajar. (sumber: krjogja.com/Harminanto)

Selain dari unsur mahasiswa, palajar di Yogyakarta juga menyampaikan keprihatinan atas maraknya kasus kekerasan remaja yang diakibatkan oleh aksi geng klitih. Hal ini kemudian mendasari penyelenggaraan aksi flash mob yang bertajuk “Ayo Akur Dab” pada hari Selasa (28/3). Pemilihan tema aksi didasari atas pemikiran bahwa seharusnya pelajar dapat berdamai dengan diri sendiri baik di lingkungan ruah maupun pergaulan. Hal ini sesuai dengan latar belakang kasus klitih yang didominasi oleh sentimen antar kelompok remaja dan berujung pada tindakan kekerasan.

“Kami ingin menunjukkan bawasanya pelajar di Yogyakarta ini bisa bersatu dan bersinergi dalam sebuah aksi damai. Kami berharap aksi ini bisa menginspirasi masyarakat khususnya seluruh pelajar untuk menciptakan suasana rukun dan harmonis di setiap aktivitas,” kata Fathin Difa, selaku koordinator aksi.

Polsek Mlati menahan dua remaja karena membawa senjata tajam jenis parang dan keling serta melakukan tindakan penganiayaan. Kapolda DIY Brigjen Pol Ahmad Dhofiri mengatakan salah satu pemicu tindak kekerasan di kalangan remaja mengenai kepemilikan senjata tajam. (sumber: krjogja.com/Harminanto)

Maraknya aksi klitih juga ditanggapi oleh salah satu pendiri geng JOXZIN, geng remaja legendaris di Yogyakarta, yaitu Nurzani Setiawan, S.Sos. Ia mengatakan bahwa sejak awal geng JOXZIN dibentuk berdasarkan ikatan persaudaan antar pelajar yang kuat dengan basis sekolah islam di Jogja dan tanpa ada niatan untuk melakukan tindakan melukai orang lain. Nurzani mengatakan bahwa maraknya aksi klitih disebabkan oleh perubahan kondisi sosial budaya dan pesatnya perkembangan teknologi. Selain itu, Nurzani mengatakan bahwa solusi untuk menanggulangi aksi klitih yaitu melalui pengajaran budi pekerti di sekolah dan peran strategis keluarga.

Pentingnya peran keluarga yang memiliki posisi strategis dalam pendampingan dan pengawasan perilaku anak sehingga meminimalisir keikutsertaan pada aksi klitih juga disampaikan oleh Wakil Gubernur D.I. Yogyakarta, KGPAA Paku Alam X, yang menyatakan bahwa keluarga dan sekolah dituntut lebih peduli terhadap kondisi yang ada di lingkungan sekitarnya. Hal senada juga disampaikan oleh Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat (BPPM) D.I.Yogyakarta, Arida Oetami, bahwa maraknya kriminalitas remaja ataupun anak-anak menunjukan orangtua sudah kehilangan perannya.

Selain pemerintah daerah D.I Yogyakarta, pemerintah pusat melalui Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pribudiarta Nur Sitepu,  juga menyampaikan tanggapan atas aksi geng klitih. Ia mengatakan bahwa pelaku aksi klitih selain sebagai tersangka, juga sebagai korban atas kegagalan dari pembinaan  orangtua dan pengaruh kondisi sosial seperti kemiskinan serta penyalahgunaan obat terlarang.

Fenomena klitih di kalangan remaja menuai tanggapan dari beberapa ahli, antara lain psikolog Universitas Sanata Dharma Yogyakarta C. Wijoyo Adinugroho M.Psi,  mengatakan bahwa selain hukuman penjara, pelaku aksi klitih yang pelakunya masih usia anak-anak perlu  diberikan pendampingan yang intensif untuk menemukan jati diri.

“Pendampingan harus melibatkan orang tua selama  proses hukum karena salah satu akar permasalahan aksi klitih disebabkan oleh kurangnya peran orang tua dan keluarga,” kata Wijoyo.

Ahli bidang lain yaitu antropolog Prof Heddy Shri berpendapat bahwa fenomena klitih terjadi karena kurangnya penghormatan dan pemahaman antar umat dan kebudayaan. Ia juga mengatakan bahwa fenomena intoleransi memerlukan pemahaman dan akal sehat semua pihak agar tuntas.

Sosiolog kriminalitas dari Universitas Gadjah Mada, Suprapto, mengatakan bahwa kegiatan klitih dijadikan tolok ukur tentang keberanian seseorang atau sekelompok orang dalam membuat keonaran. Ia menjelaskan terdapat dua faktor yang menyebabkan remaja nekat melakukan aksi klitih, yaitu faktor internal dengan minimnya interaksi dan bekal nilai serta norma sosial dari keluarga dan faktor eksternal berupa pengaruh kelompok yang memacu untuk melakukan kekerasan.

“Upaya untuk menghidupkan kembali fungsi keluarga, penerapan pendidikan karakter, pengendalian penjualan minuman beralkohol, tayangan televisi dan dunia maya dapat menjadi solusi atas permasalahan remaja tersebut,” kata Suprapto (15/3).

Aparat kepolisian dalam upaya penanganan geng klitih, telah menyelenggarakan tindakan pengamanan dengan cara patroli malam hari dan operasi pengguna sepeda motor di bawah umur yang berstatus sebagai sebagai pelajar. Selain itu, aparat kepolisian juga berupaya melakukan kerjasama dengan pihak Disdikpora D.I Yogyakarta untuk penanganan geng klitih.

“Kami terus bekerjasama dengan Disdikpora untuk mengatasi masalah klitih dengan menggelar forum diskus group (FGD) dan banyak ikrar untuk menyerukan pelajar melawan klitih,” kata AKBP Yuliyanto, Kabid Humas Polda D.I. Yogyakarta.