oleh Yoga Pradana Pramudya
Resah akan jumlah anak jalanan yang makin meningkat akibat krisis ekonomi 1997, Gembong Sigit Nugroho dan Titus Supono Aji mendirikan lembaga pendampingan anak kampung bernama Anak Wayang Indonesia (AWI). Selain pendampingan, lembaga nirlaba dengan jargon “friendly for children is friendly for all” ini melakukan kajian anak dan kampanye komunitas ramah anak.
Berdiri pada 1998 di kampung Mergangsan, Anak Wayang Indonesia merupakan lembaga pendampingan anak di ranah kampung. Pendampingan tersebut berupa penanaman nilai budi pekerti dan lokalitas, pendidikan dasar organisasi untuk anak, serta sosialisasi hak-hak anak.
“AWI mengemas tiga hal tersebut melalui media seni seperti teater, pantomim, film, gambar, fotografi, permainan tradisional, keterampilan tangan, dan motede seni lainnya,” kata Direktur AWI, Hambar Riyadi, (9/6) saat ditemui di kantornya di Jalan Bakung No.16 Baciro.
Tidak ada keterkaitan antara AWI dan dunia wayang. Nama Anak Wayang Indonesia diambil dari kebiasan beberapa aktivis ini yang suka melakukan pendampingan anak dan tinggal di kediaman seorang seniman wayang ukur (wayang kontemporer) bernama Sigit Sukasman.
“Anak Wayang Indonesia lahir sebagai sebuah lembaga dengan pemikiran awal untuk menjadikan kampung sebagai ruang dan benteng pencegahan anak-anak agar tidak menjadi anak jalanan. Visi AWI adalah mewujudkan komunitas yang ramah anak. Komunitas dalam hal ini merupakan komunitas dalam artian luas, baik komunitas keluarga, sekolah, hobi, dan komunitas-komunitas lainnya. Untuk mewujudkan hal tersebut, lembaga ini rutin mengadakan berbagai macam pendidikan alternatif anak dengan balutan seni,” ujar Hambar (29), yang semasa kecil juga didampingi AWI.
Koordinator Program AWI, Ficky Trasanjaya (28), menambahkan, selama 16 tahun berdiri, AWI tetap kosisten mendampingi dan mengadvokasi berbagai permasalahan anak terutama di ranah kampung. Isu yang dihadapi lembaga ini berkutat pada masalah anak jalanan, hak-hak anak di kampung, dan komunitas ramah anak.
Hingga sekarang AWI sudah mendampingi 12 kampung di Yogyakarta, yaitu, Kampung Mergangsan, Pakelrejo, Kasongan, Pendowoharjo, Karangjati, Suryowijayan, Jagalan, Juminahan, dan Ledok Tukangan.
Untuk saat ini AWI aktif mendampingi kampung Baciro, Pengok, dan Musikanan. Selain mendampingi kampung, AWI juga bekerja sama dengan beberapa sekolah, seperti, SMA N 8, SMA N 9, SMKI, SMA 17, SMA TMIP, dan SMA N 3. Kerjasama tersebut berbentuk diskusi dan lokakarya mengenai permasalahan siswa dan sosialisasi sekolah ramah anak.
Sampai saat ini AWI memiliki empat program kerja utama. Pertama, program Malming, yakni program pentas seni anak yang diadakan setiap dua bulan sekali bergantian di kampung-kampung binaan AWI. Program ini muncul sebagai usaha untuk menghadirkan ruang bagi anak dalam menyampaikan ide dan gagasannya, serta sebagai ajang ekspresi anak.
Kedua, Festival Teater Anak (FTA), meupakan pementasan teater anak binaan AWI. Program ini diadakan setahun sekali sebagai ruang berkespresi lebih luas bagi anak, tidak terbatas di kampung.
Ketiga, Diskusi Nom, adalah program diskusi terbuka mengenai isu dan permasalahan remaja. Program ini merupakan program terbaru AWI yang dirintis mulai 2016.
Keempat, Ruang Raya, adalah program tutup tahun AWI dengan konsep pameran karya dan seni anak. Karya dan gagasan anak terbaik dari program sebelumnya akan dipamerkan dalam program ini.
Sejak berdiri, AWI telah membina lebih dari 2000 anak. Untuk saat ini, lembaga beranggotakan sembilan orang ini, sedang membina sekitar 20-50 anak di setiap kampung binaannya. Untuk masalah pendanaan lembaga, AWI mengandalkan dana funding dan fundraising (penggalangan dana), baik di tingkat lokal, nasional, atau internasional.
Berkomentar tentang AWI, Ketua RW 07 Kampung Pengok Kidul, Baciro, Teta Wibowo, mengatakan, warga Kampung Pengok Kidul mendukung kehadiran lembaga pendampingan anak seperti AWI. AWI dianggap sebagai mitra kerja terkait usaha pemberdayaan anak. Selama ini RW Pengok Kidul bersama AWI telah melakukan kerja sama terkait program pencanangan kampung ramah anak. Kerja sama tersebut direncanakan berlangsung selama tiga tahun.
“Kami berharap AWI bersedia untuk tetap mandampingi kampung Pengok Kidul tidak hanya dalam durasi tiga tahun. Kami akan selalu mendorong dan bekerjasama dengan AWI, “ ujar Teta, ditemui di ruang kerjanya.
Sementara itu, Zana, salah satu anak binaan AWI, mengatakan, merasa senang dapat belajar dan bermain di AWI. Siswa kelas lima SD N Baciro ini mengaku senang dapat bermain teater di AWI, apalagi jika ditonton oleh banyak orang. Zana bersama teman-temannya biasa berkunjung ke kantor AWI selepas pulang sekolah hingga sore hari.
Ketertarikan dan rasa senang anak-anak seperti Zana terhadap AWI tidak bisa lepas dari prinsip pendidikan anak yang selama ini dipegang oleh AWI. Menurut Ficky, AWI memiliki prinsip bahwa anak harus diberikan kemerdekaan seluas-luasnya, supaya anak bisa menemukan dirinya sendiri. Kemerdekaan bagi anak akan membantu anak untuk menemukan bakat dan ketertarikannya terhadap suatu hal.
“Posisi pendidik adalah sebagai teman dan pendamping. Oleh karena itu, relawan AWI memposisikan dirinya sebagai teman yang mendampingi dan mengarahkan anak. Kami hadir sebagai teman dan mitra untuk mengarahkan anak,” tutur Ficky.
Terakhir, Ficky berpesan mengenai pendidikan anak, menurutnya dibutuhkan aturan yang dibuat bersama dalam pendidikan anak. Aturan tersebut merupkan hasil kesepakatan setelah sebelumnya melakukan diskusi dengan anak, supaya tidak ada unsur pemaksaan kepada anak. Sekarang ini banyak orang tua dan sekolah yang cenderung memaksa anak dalam hal pendidikan anak, mereka tidak melibatkan anak dalam membuat aturan untuk medidik anak.