Book for Mountain: Peduli Pada Pendidikan Anak di Pinggiran

Ketiga komunitas peduli pendidikan anak-anak, Book for Mountain, Saung Mimpi dan Muda Menginspirasi

oleh: Muhammad Alzaki Tristi

Dengan slogan “We Love Book, We Look Kids, We Adore Indonesia,” Komunitas Book for Mountain (BFM) dengan tekun telah berhasil membangun 37 perpustakaan di berbagai pelosok nusantara pada tujuh tahun terakhir

“Salah satu Visi dan Misi BFM adalah mendekatkan anak-anak dengan buku, karena anak-anak merupakan generasi penerus sekaligus aset yang harus dijaga,” kata Atin (23), pegiat divisi humas BFM.

Setiap empat  bulan sekali BFM melakukan proyek besar berupa pembangunan perpustakaan. “Dalam tahun ini, kami sudah membangun dua perpustakaan, yang pertama di Papua dan kedua di bawah kaki Gunung Sumbing,” kata Atin.

Semula kegiatan BFM hanyalah kegiatan Sekolah Berjalan (SekBer) ke Sekolah Dasar di pelosok-pelosok desa di Yogyakarta. Kegiatan ini diadakan satu bulan sekali untuk menguji materi edukasi yang akan diterapkan pada sarana edukasi yang ada di perpustakaan. Namun kemudian BFM juga selengarakan Hari Kumpul Buku (HKB) menjadi kegiatan bulanan BFM, “Tujuannya adalah untuk mengumpulkan donasi buku dan dikirim ke perpustakan. Jadi semua kegiatan tadi kita gunakan untuk pengembangan perpustakaan,” kata Atin.

 

Book for Mountain dalam kegiatan sekolah berjalan. (Sumber foto: Dokumen pribadi BFM)

Tak berhenti dengan membangun perpustakaan, BFM membentuk Komunitas Muda Menginspirasi.  Muda Menginspirasi berdiri sejak 10 Februari 2013 dan saat ini merupakan generasi keenam. Riyal (21) Ketua Komunitas Muda Menginspirasi menuturkan komunitasnya memiliki tujuan di bidang  pendidikan, kesehatan dan lingkungan.  Karena itu, mereka sering mengadakan kampanye. “Kita sudah melingkari hari-hari yang akan dilakukan kampanye, misalnya pada 26 November, yang bertepatan pada hari pohon dan hari guru, maka kita menggambungkan divisi pendidikan dan lingkungan,” kata Riyal.

Kegiatan yang dilakukan pada kampanye ini dilaksanakan ke sekolah yang berlokasi di pinggiran kota ataupun desa. Tim Muda Menginspirasi akan mensurvei sekolah yang digunakan sebagai tempat kegiatan, kemudian mendatangi kepala desa dan kepala sekolah.

“Kami mengajak anak-anak untuk mengapresiasi guru mereka dalam bentuk apapun, dan kemudian kami melakukan penanaman pohon di lokasi sekolah,” kata Riyal.

Sejak tiga tahun terakhir, komunitas Muda Menginspirasi melakukan kegiatan mengajar rutin dengan lokasi yang berpindah-pindah. Setiap lokasi yang dipilih sesuai dengan hasil survei dan evaluasi. “Untuk kegiatan mengajar rutin kami lakukan setiap hari Sabtu sore, setelah Ashar sampai sebelum Maghrib,” kata Riyal.

Muda Menginspirasi dalam kegiatan bersama anak-anak. (Sumber foto: dokumen pribadi Muda Menginspirasi)

Keresahan yang sama mengenai pendidikan anak di Indonesia memantik semangat Zulfikar (24) dan empat orang rekannya dalam sebuah kegiatan “Indonesia Mengajar” pada Oktober 2012, ketika ia dan rekannya melakukan kegiatan bersama anak-anak.

“Ketika mereka ditanya mengenai cita-cita mereka kelak, kebanyakan anak tidak tahu, dan hanya sebagian yang menjawab dengan cita-cita yang diketahui secara umum, seperti dokter, tentara, dan polisi,” kata Zulfikar (17/03).

Pada April tahun 2013, Zulfikar dan empat rekannya mengajukkan proposal Saung Mimpi pada sebuah kompetisi nasional. Proposal mereka pun diterima dan mendapatkan penghargaan sebagai proposal “gerakan sosial” terbaik.

Lalu pada Agustus 2013, Saung Mimpi memulai poyek pertama mereka mengajar anak-anak dengan berkolaborasi dengan komunitas BFM di RuBaKu (Rumah Baca Buku) Sleman. Dan melanjutkan proyek kedua di Cangkringan.

“Alasan kami memilih Cangkringan yaitu, kami melihat bahwa pekerjaan masyarakat di sana homogen, antara lain menjadi buruh pariwisata dan buruh tambang pasir. Kemudian setelah kami melakukan riset, ternyata anak-anak di sana  tidak banyak mengetahui mengenai cita-cita mereka,” kata Zulfikar.

Selama berkegiatan, Saung Mimpi telah melakukan beberapa perubahan visi, yang sebelumnya membantu anak-anak (assisting child), namun setelah empat bulan berjalan, Saung Mimpi mengubah visi dengan hanya sebatas mengenalkan cita-cita itu sendiri dengan pendekatan yang intens.

Setelah mendapatkan hasil berupa kondisi ekonomi masyarakat sekitar, kondisi anak-anak di sana, hingga sarana dan prasarana sekolah, kemudian divisi Dewantara menyusun materi untuk disampaikan kepada anak-anak. Pendekatan yang digunakan Saung Mimpi dalam penyampaian materi pada anak-anak dilakukan dengan cara membuat kelompok berjumlah 5-10 anak dengan dua pembimbing di setiap kelompok.

“Dengan dua orang pembimbing dalam satu kelompok akan memudahkan kami untuk memantau setiap perkembangan anak,” kata Zulfikar.

Pertemuan akan dilakukan satu kali dalam seminggu selama tiga bulan. Pemberian materi mencakup visual, audio visual hingga bermain peran mengenai cita-cita itu sendiri.

Hasil laporan yang dikumpulkan selama tiga bulan itu akan diberikan kepada pihak sekolah sebagai bukti perkembangan dan potensi yang dimiliki setiap anak. Saung Mimpi berharap jika hasil laporan itu dapat dijadikan acuan untuk pengembangan diri setiap anak.

Kini anggota yang tergabung dalam komunitas Saung Mimpi telah mencapai 1000 orang, dengan domisili anggota yang tersebar hingga Negara Malaysia dan Mesir. Komunitas ini diharapkan mampu menjadi cerminan bahwa pergerakan untuk perubahan pendidikan anak di Indonesia masih terus berjalan dan berproses.

Saung Mimpi dalam kegiatan bersama anak-anak SD. (Sumber foto: Dokumen Pribadi Saung Mimpi)

(Editor: Nabila Hanum/*)