Jazz Mben Senen: Musik Mahal Merakyat

Pemuda yang ikut bermain musik jazz secara impromptu.

Oleh: Ilma Kinasih

YOGYAKARTA—Senin (5/3) Jazz Mben Senen, komunitas bermusik dan berkesenian jazz yang berbasis di Yogyakarta, membuktikan bahwa musik jazz boleh dimiliki dan dimainkan oleh siapapun. Dengan konsep komunitas yang cair, terbuka, dan tidak dipungut biaya, Jazz Mben Senen konsisten mengenalkan musik jazz kepada warga Yogyakarta sejak tahun 2001.

Romo Sindhu dan Djaduk Ferianto merupakan dua sosok utama di balik berdirinya Jazz Mben Senen. Sebagai tokoh-tokoh besar di dunia musik Indonesia, mereka berdua prihatin melihat tidak adanya wadah untuk aktivitas musik jazz di Yogyakarta. Pada 2001, mereka mengumpulkan pemusik muda di Yogyakarta dan mengadakan kegiatan rutin jamming session tiap minggunya.

Munculnya komunitas tersebut mendapatkan sambutan yang cukup baik di kalangan masyarakat Yogyakarta. Banyak warga yang kemudian ikut bergabung agar dapat menikmati musik jazz. Meskipun pada saat itu, mereka belum bisa disebut sebagai komunitas yang konkrit—mengingat ketiadaan tempat tetap untuk berkegiatan, struktur yang jelas, bahkan nama pun belum dimunculkan. Namun setelah berjalan selama sekitar 9 tahun, komunitas tersebut lahir kembali dengan nama Jazz Mben Senen, sebuah nama dadakan yang dipatenkan oleh Djaduk.

Dengan lahirnya nama tersebut, lahir pula tempat tetap bagi mereka untuk melaksanakan kegiatan rutin jamming session. Djaduk meminta pada Romo Sindhu untuk mengosongkan  lapangan parkir Bentara Budaya pada tiap Senin malam agar para pemusik muda tersebut dapat memuaskan hasrat bermusik jazz mereka.

“Tidak ada peresmian secara formal sih, sebenarnya,” ucap Ikhwan Hastanto (22) yang kerap dipanggil Awan, anggota Jazz Mben Senen, saat ditemui di lapangan parkir Bentara Budaya pada Senin (12/3) lalu. “Yang jelas, di hari pertama dilakukannya kegiatan di lapangan parkir Bentara Budaya, itulah hari di mana Jazz Mben Senen resmi terbentuk.”

Menurut Awan, sejak berdiri pada tahun 2010, belum pernah ada hambatan signifikan yang membuat Jazz Mben Senen gagal dilaksanakan. Bahkan sampai saat ini, sudah ada lebih dari 300 jamming session yang diadakan, dengan penonton dan anggota yang selalu ramai pada tiap sesinya. Menurutnya, yang membuat Jazz Mben Senen begitu cepat mendapatkan nama dan popularitas di masyarakat Yogyakarta—teruatama para pemuda dan mahasiswa—adalah karena tiap pertemuan yang gratis. Pada tiap sesinya memang diedarkan kotak donasi yang mereka sebuat sebagai “kotak kasih sayang” kepada para pengunjung. Di situ, pengunjung bebas menyumbang uang sejumlah berapapun, bahkan tidak menyumbang pun tidak apa-apa. Konsep musik yang merakyat inilah yang menurut Awan sangat menarik di mata warga Yogyakarta.

Kerendahan hati Jazz Mben Senen tidak hanya diterapkan pada urusan finansial. Mereka pun sangat terbuka bagi siapapun yang ingin tampil di kegiatan jamming session mingguan. Cukup datang dan bilang pada MC Jazz Mben Senen, dan siapapun bisa tampil di panggung kecil yang sudah disediakan.

Tidak hanya orang dewasa, grup musik jazz anak pun turut pentas di acara ini.

Jazz Mben Senen  sangat terbuka untuk siapapun yang ingin bergabung. Ketika ditanya mengenai perekrutan anggota, Awan hanya tertawa. “Tidak ada yang namanya rekrut anggota secara formal. Yang ingin bergabung cukup datang, senyum, dan berkenalan,” ucapnya.

Konsep komunitas yang cair dan terbuka ini mereka terapkan pada internal komunitas mereka sendiri. Menurut Fuad Noor Rahadyan (21), anggota Jazz Mben Senen, tidak terdapat struktur kepengurusan yang konkrit di dalam Jazz Mben Senen—bahkan ketua pun tidak ada. Pembagian tugas hanya mereka lakukan ketika menjelang kegiatan komunitas. Untuk jamming session, akan dibagi siapa yang mengurus sound, siapa yang mengurus peralatan, band apa yang akan tampil, dan lain sebagainya. Pun tidak jarang mereka ikut berpartisipasi di beberapa event jazz tahunan, salah satunya Ngayogjazz.

Penonton Jazz Mben Senen berasal dari berbagai latar belakang.

Selain kegiatan jamming session mingguan, Jazz Mben Senen juga memiliki beberapa kegiatan utama lainnya, seperti penggarapan Album Tahunan Kompilasi Komunitas Jazz Mben Senen, yang telah berjalan sejak 2009. Mereka juga mengadakan Jazz Sobo Ndalan, yang merupakan kegiatan kunjungan Jazz Mben Senen ke beberapa titik di sekitar Yogyakarta untuk menggelar open jam session, serta Tribute To Musisi Berpengaruh, yang masing-masing diadakan sebulan sekali.

Di luar kegiatan-kegiatan serius tersebut, mereka memiliki satu hari dalam seminggu yang biasa digunakan sebagai waktu berkumpul di markas besar mereka, Jaran Art Space  yang terletak di Jl. Ring Road Utara No. 4, Sawitsari, Condong Catur, Depok, Yogyakarta.

“Biasanya anak-anak komunitas sih, bilangnya nyelo. Nyelo itu bisa latihan, bisa datang sekadar ngobrol-ngobrol. Kalau mau latihan, di sana ada alat-alatnya juga, ada ruangan kecil yang biasa buat latihan band komunitas,” ucap Fuad saat ditemui di FISIPOL UGM pada Jumat (9/3) lalu.

Bentuk komunitas yang sangat cair ini membuat Jazz Mben Senen menjadi komunitas yang unik dan cukup mencuri perhatian dari warga Yogyakarta. Menurut Michael Raditya, anggota sekaligus pendiri LARAS – Studies of Music in Society, komunitas jazz dengan bentuk yang diusung oleh Jazz Mben Senen merupakan bentuk yang baru dan menarik.

“Bagi saya, komunitas ini sangat menarik, karena mereka melawan konstruksi jazz yang pada umumnya diperuntukkan bagi kalangan borjuis dan elitis, meskipun pada awalnya sendiri jazz lahir sebagai bentuk perlawanan kaum buruh. Konsep jazz yang dibawakan oleh Jazz Mben Senen ini sangat merakyat, mulai dari donasi uang seikhlasnya, angkringan untuk pengunjung, dan panggung yang selalu terbuka untuk siapapun,” ucap Mikel ketika ditemui di Filsafat UGM pada Rabu (7/3) lalu.

Untuk ke depannya, Awan dan Fuad, sebagai anggota Jazz Mben Senen, berharap agar Jazz Mben Senen dapat selalu hadir di tengah-tengah masyarakat Yogyakarta setiap Senin malam. Mereka berharap agar kegiatan ini bisa bermanfaat, bukan hanya untuk musisi yang ingin belajar musik ataupun bersilaturahmi, namun juga kepada warga non-musisi yang hadir dan turut merasakan keceriaan Jazz Mben Senen.

 

(Editor: Amalia Miftachul Chasanah)